Kala menulis komentar, entah
di forum, jejaring sosial, media online atau apa pun dan tidak ada yang tahu
identitas kita sebenarnya, apakah komentar kita tetap merdu di telinga ataukah
sembarangan bahkan sah-sah saja merendahkan komentator lain?
Ketika menulis sebuah
posting atau artikel, apakah isi yang dikandung bebas dari sindiran, cemoohan,
caci-maki dan kalimat-kalimat bernada “permusuhan”?
Boleh jadi kita berargumen, “Ah, itu kan hanya sekedar pelampiasan
kekesalan. Orang lain juga begitu, kok! Boleh dong saya berlaku sepadan. Toh
saya juga senantiasa shalat, puasa, baca Al-Qur’an, sedekah, rajin mengaji
ilmu-ilmu agama serta ibadah lainnya.”
Untuk menjawab argumentasi
di atas, mari kita perhatikan, resapi dan renungi dua hadits berikut ini:
كَفَى بِالْمَرْءِ شَرًّا أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمُ
Cukuplah dikatakan buruk akhlaknya ketika ia
menghina (merendahkan) saudara sesama muslim. (HR Muslim)
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ. قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا
مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي
يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ
هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى
مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Tahukah kalian siapakah
orang bangkrut? Para sahabat menjawab, “Orang bangkrut di antara kami adalah
orang yang tidak memiliki dirham (uang) dan harta.” Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
orang yang bangkrut di antara umatku ialah orang yang pada hari
kiamat datang dengan membawa (pahala) shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia
selalu mencaci-maki, menuduh (berzina), dan makan harta orang lain serta
menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa haq). (Untuk menegakkan
keadilan) pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka
hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi.
Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka (yang dizhalimi)
diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan
ke neraka.” (HR. Muslim)
Apa kita mau disebut
memiliki akhlak buruk? Bagaimana bila kita bermimpi bertemu Rasulullah saw lalu
beliau menyebut kita berakhlak buruk? Tidak malukah kita?
Apa kita mau pahala ibadah
yang kita lakukan dengan segenap pikiran, tenaga bahkan biaya ternyata di
akhirat kelak hampa karena habis dibagi-bagikan kepada orang lain? Kita yang
ibadah tak mendapat apa-apa, justru orang lain menikmati pahalanya. Sungguh
sebuah kebangkrutan nyata!
Apa kita mau menerima
limpahan dosa orang lain di akhirat kelak? Kita senantiasa berdoa agar dosa
kita terhapus, tapi ini malah kita mendapat ”hibah” dosa orang lain. Tak ada
kerugian melebihi kerugian seperti ini!
Kita sangat pandai berteori
tentang keagamaan, tapi pada praktiknya NOL BESAR. Tidak terasakah kita dengan
kondisi diri seperti ini?
Tentang perlakukan sepadan,
apa ucapan kasar harus dibalas hinaan, cacian dibalas makian, ketidaksopanan
dibalas arogansi serta ketidakbaikan dibalas kejahatan? Apa seperti ini
tuntunan agama kita?
Rasulullah saw. bahkan
melarang memaki orang-orang musyrik yang terbunuh dalam perang Badar. Di buku “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”
dicantumkan sebuah hadits:
لاَ تَسُبُّوْا هَؤُلاَءِ فَإِنَّهُ لاَ يَخْلُصُ إِلَيْهِمْ شَيْئٌ مِمَّا
تَقُوْلُوْنَ وَتُؤْذُوْنَ اْلأَحْيَاءَ أَلاَ إِنَّ الْبَذَاءَ لُؤْمٌ
Janganlah
kamu mencaci-maki mereka, karena tidak ada yang dapat membersihkan kata-kata
yang kamu ucapkan terhadap mereka (maksudnya orang yang terbunuh di perang
Badar), dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ingatlah sesungguhnya lidah
yang kotor (kata-kata kasar) itu tercela". (HR Ibnu Abi Dunya
secara mursal, sedangkan rijalnya dapat dipercaya (tsiqah))
Betapa indahnya ajaran Ilahi
yang dibawa Rasulullah saw. Betapa agungnya ajaran agama ini dalam ber-mu‘âsyarah (pergaulan) maupun mu‘âmalah (hubungan
transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Betapa luhurnya ajaran Islam dalam
berperilaku.
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ
الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِيءِ
Seorang mukmin tidak akan menyakiti, melaknat,
berkata keji dan berkata kasar.
(HR Abu Ya’la, Baihaqi, Bukhari di Adâbul
Mufrad, Hakim, Ibnu Abi
Syaibah, Ibnu Hibban, Thabrani dan Tirmidzi. Adapun lafazh hadits menurut
riwayat Imam Tirmidzi)
KH. Asrori al-Ishaqi rahimahullâh—pendiri Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah
menasihatkan bahwa buah dari dzikir, baca Al-Qur’an dan ibadah yang kita
kerjakan adalah akhlak mulia. Siapa senantiasa berdzikir tapi belum berakhlak
baik dalam keseharian, maka dzikir yang dilakukan belum berbuah. Demikian
petuah bijak beliau.
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحَاسِنُهُمْ أَخْلاَقًا
Orang mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang terbaik akhlaknya. (HR Thabrani)
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
MA. Sahal Mahfudh, KH, “Nuansa Fiqih Sosial”, LKiS, Cetakan VI:
Maret 2007
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan
IV : November 2006
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Web
site:
http://abumuthi.multiply.com/reviews/item/84,
“Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik”
Tulisan ini
lanjutan dari : Bicara Baik atau Diam (1 of 2)
0 comments:
Post a Comment