a. Agar Tidak Mudah
Terprovokasi
Tidak mudah terprovokasi, tidak gampang naik darah, menjadi bijak dan
sifat-sifat baik lannya bukanlah sulap. Semua itu membutuhkan latihan (riyâdhah). Bagaimana metode agar tak mudah diprovokasi?
- Senantiasa
memohon kepada Dzat Yang Membolak-balikkan hati (Muqallibal Qulûb) agar menjadikan jiwa kita tenang (nafsu al-muthma’innah).
- Bersahabat, berkumpul
atau bergaul dengan orang-orang yang lebih arif dan sabar.
Beberapa kali terjadi kasus seorang anak yang di rumah terlihat baik,
alim dan tidak suka bertengkar, ternyata di luar ikut-ikutan baku hantam.
Tak ada yang akan mengelak bahwa lingkungan ikut mempengaruhi tabiat
dan perbuatan.
Tak ada yang akan mendebat bahwa pertemanan sedikit/banyak
menyumbangkan kebiasaan.
Tak ada yang akan menolak bahwa pergaulan membawa dampak pada
kepribadian.
Tak ada yang akan membantah bahwa sifat baik/jelek akan menular. Lebih
cepat menular bila yang memiliki suatu sifat lebih banyak jumlahnya.
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ
مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang mengikuti agama
kawannya. Karena itu, lihatlah olehmu siapakah yang menjadi kawannya. (HR
Abu Daud dan Tirmidzi)
- Mengisi jiwa
dengan aktif mengaji serta mendengar nasihat bijak dari siapa pun asal
tidak bertentangan dengan syariat.
Di kitab “Ta‘lîm al-Muta‘allim” terdapat
sebuah nasihat:
أَفْضَلُ الْعِلْمِ عِلْمُ الْحَالِ * وَأَفْضَلُ الْفِعْلِ حِفْظُ الْحَالِ
Ilmu yang paling utama adalah ilmu yang
mengatur sikap perilaku
Dan perbuatan yang paling utama
adalah menjaga sikap perilaku
Sekian banyak motivator dan inspirator di negeri ini. Semua mengajarkan
dan menganjurkan kebaikan. Selama nasihat-nasihat yang disampaikan tidak
bertentangan dengan syariat, maka hikmah harus diambil dari mana pun asalnya.
Saat wawancara di sebuah televisi swasta acara “Just Alvin—Episode ‘The Motivators’” hari Minggu, 25 September 2011, Gede Prama—seorang motivator—menjelaskan bahwa
yang dia sampaikan adalah kebaikan universal. Itu mengapa dia kerap diundang oleh
berbagai kalangan dari perusahaan, golongan dan agama apa pun.
Nah, jika nasihat dari siapa pun dianjurkan untuk
ditaati, apalagi nasihat dari ulama. Saat ini kita sangat dimudahkan oleh
kemajuan ilmu dan teknologi.
Berbeda dengan ulama-ulama zaman dulu yang harus
berjalan kaki sekian kilo meter untuk mengaji, sekarang justru para ulama yang
mendatangi kita, via televisi, radio, CD/VCD, jejaring sosial, blog dan
berbagai ragam cara lainnya.
Bila memang demikian banyak pilihan mengaji, masa
kita masih malas mendengarkan nasihat ulama?
- Berkata “Tidak!”
bila ada ajakan tidak baik.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan (QS al-Mâidah [5]: 2)
Seorang Motivator, Mario Teguh, menasihatkan, “Kata ‘Tidak’ adalah
sebuah keindahan yang sederhana. Sebuah hidup bisa diubah dengan cepat, kuat
dan langsung berdampak hanya dengan menjadikan diri ini tegas mengatakan ‘Tidak’
kepada hal-hal yang tidak berguna, yang memboroskan waktu dan yang tidak
meninggikan orang lain.
Semua orang yang telah menerima kebaikan sebagai jalan hidup sangat
mengerti bahwa mengatakan ‘Ya’ adalah bagian termudah dari sebuah keimanan,
tetapi mengatakan ‘Tidak’ kepada yang menjadikan kita orang tidak baik adalah
warna peperangan sepanjang hidup.”
- Bila menerima
informasi, harus dicerna dulu. Berita belum tentu sama dengan fakta. Oleh
karena itu, cek dan ricek harus dilakukan agar terhindar dari kecerobohan
menerima dan mengolah informasi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu. (QS al-Hujurât [49]: 6)
Walau semua teori telah dipahami agar tak mudah terprovokasi, namun karena
sifat teori membutuhkan latihan agar benar-benar terpatri dalam jiwa, maka bisa
saja suatu saat kita agak terpengaruh atas provokasi yang menimpa kita.
Bila hal ini terjadi, maka prinsip pertama adalah jika sampai marah
harus dilakukan tanpa ada orang sehingga tidak melukai orang lain. Misal kita
masuk ke rumah/kamar.
Agar intensitas kemarahan cepat menurun, kita ambil air wudhu dengan
tenang lalu shalat dua rakaat, bisa shalat muthlaq, shalat hajat, atau shalat
apa pun yang memang pada saat itu dimungkinkan.
إِذَا غَضَبَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ بِالْمَاءِ فَإِنَّمَا الْغَضَبُ مِنَ النَّارِ
Apabila salah satu dari kalian dalam keadaan marah maka berwudhulah,
sesungguhnya marah itu berasal dari api. (HR Abu Daud)
Setelah kemarahan mereda, kita pikirkan/olah lagi informasi yang
diterima. Sebaiknya minta nasihat juga kepada orang yang telah dikenal sebagai
penyabar dan bijak.
Di buku “Kajian Lengkap
Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) –
Intisari Ihya ‘Ulumuddin” Syaikh Sa‘id Hawwa menjelaskan bahwa kemarahan yang
zhalim termasuk penyakit hati kesembilan.
Apabila sifat marah (yang batil) sudah menjadi tabiat kita, akan lebih
banyak timbul kehancuran daripada kemakmuran. Oleh karena itu harus ada usaha
keras untuk menghadapi sifat ini demi tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat, karena kita bisa masuk neraka karena sifat marah. Bukan hanya itu, hal
ini juga menghancurkan kehidupan kita.
Suri teladan terbaik dalam masalah marah dan pemaaf adalah Rasulullah
saw. Beliau tidak pernah marah untuk diri beliau sendiri, walaupun ada orang
yang menyakiti, beliau tetap bersikap lemah lembut.
Rasulullah saw. marah hanya ketika melihat umat beliau melanggar
larangan-larangan Allah. Selain itu, beliau tidak pernah marah. Marah seperti inilah
yang diperintah Allah kepada manusia dalam mencegah kemungkaran.
Berikut ini intisari perkataan Imam Ghazali mengenai marah.
Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah ra.:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ
مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Sesungguhnya seseorang berkata kepada Nabi
saw., “Berilah saya nasihat.” Rasululla saw. menjawab, “Jangan marah.” Lalu
orang itu mengulang lagi perkataannya, dan beliau saw. menjawab, “Jangan
marah.” (HR Bukhari)
Hasan al-Bashri menasihatkan,
“Wahai anak keturunan Adam, setiap kamu marah dan tidak terkendali, takutlah
apabila dirimu yang tidak terkendali terperosok ke neraka.”
Salah satu orang Anshar berkata,
“Puncak kebodohan adalah kekejaman, dan pemimpinnya adalah kemarahan.”
Seorang ulama memberi petuah
bijak, “Jauhilah kemarahan karena kemarahan itu akan menjadikanmu merasa
terhina untuk minta maaf (gengsi meminta maaf).”
Ulama lain menuturkan,
“Hati-hatilah dengan kemarahan. Sesungguhnya ia akan merusak keimanan seperti
pohon yang buahnya pahit merusak manisnya madu.”
Seorang ayah menasihati anaknya,
“Wahai anakku, akal tidak dapat berpikir jernih ketika marah, sebagaimana ular
tidak dapat merayap di atas tungkupanas. Orang yang paling sedikit marah adalah
orang yang paling cerdas.”
Urwah bin Muhammad ra. dinasihati
ayahnya, “Apabila kamu marah, maka lihatlah ke langit dan ke bumi, muliakanlah
Tuhanmu.”
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Az-Zarnuji,
asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
Mario Teguh,
“One Million 2nd Chances [Personal Excellence Series]”, Penerbit
Progressio, November 2006
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fî Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan
IV : November 2006
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment