“Provokator,” sebuah kata yang sering terucap saat ada kerusuhan. Apa
itu provokasi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), provokasi berarti:
pro·vo·ka·si n
perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan;
pancingan: sebaiknya mereka menyadari bahwa -- yg ditimbulkannya itu akan
mengundang pertumpahan darah;
ter·pro·vo·ka·si v
terpancing atau terpengaruh untuk melakukan perbuatan negatif, msl perusakan: pengunjuk
rasa sempat ~
“Emosinal,” sebuah kata yang kerap kita sandangkan kepada siapa pun
yang mudah naik pitam/panas hati. Apa sebenarnya arti emosi? Di KBBI, emosi
berarti:
emo·si /émosi/ n 1
luapan perasaan yg berkembang dan surut dl waktu singkat; 2 keadaan dan
reaksi psikologis dan fisiologis (spt kegembiraan, kesedihan, keharuan,
kecintaan); keberanian yg bersifat subjektif); 3 cak marah;
-- keagamaan getaran jiwa yg
menyebabkan manusia berlaku religius;
ke·e·mo·si·an n
perihal emosi: kalau pendekatan ini yg dipakai, kita akan dapat
menggambarkan derajat ~ seseorang
Berdasarkan penjelasan tersebut, provokasi memang berkonotasi negatif.
Adapun emosi tergantung suasana, karena kegembiraan, keharuan dan kecintaan
termasuk di dalamnya. Dengan demikian, emosi tidak selalu bermakna negatif.
Hanya saja, bila dua kata ini disandingkan, yaitu provokasi dan emosi,
maka yang dimaksud adalah emosi kemarahan akibat terprovokasi oleh pihak lain.
Emosi yang terjadi bisa mengakibatkan perkelahian, perusakan atau hal-hal lain
yang tidak diinginkan bersama.
Sebenarnya kita sudah sama-sama mengerti bahwa kita tidak boleh
terpancing emosi karena provokasi.
Sebenarnya kita sudah sama-sama paham bahwa kita dilarang memprovokasi
orang.
Sebenarnya kita sudah sama-sama tahu bahwa baik secara adat, norma
masyarakat, hukum negara maupun ajaran agama menjadi provokator tidak
diperbolehkan.
Sebenarnya kita sudah sangat canggih berdalil, berteori, berpidato, berargumentasi
maupun berdebat bahwa mudah terprovokasi itu tidak baik.
Namun, kenyataan membuktikan sebaliknya.
Kita mudah terbakar emosi ketika ada berita yang memerahkan dan
memekikkan telinga.
Kita gampang merasa terhina tatkala mendengar desas-desus yang menyinggung
harga diri.
Kita laksana secarik kertas tersulut puntung rokok waktu mengetahui ada
isu yang merendahkan martabat.
Mengapa hal ini terjadi?
Sebuah rumus umum dikemukakan, “Praktik tidak semudah teori.” Kalimat
ini terkesan “meremehkan” teori, namun maksud sebenarnya bukan seperti itu.
Berikut ini contoh implementasi kalimat tersebut.
Misal kita belajar mengendarai mobil. Setelah tahu teori cara
menjalankan mobil, bahkan di luar kepala, ketika praktik pertama kali tetap
akan gugup dan gagap. Praktik membutuhkan latihan, belajar dari pengalaman,
latihan lagi, belajar lagi, begitu seterusnya.
Praktik bukanlah sim salabim. Bahkan, seorang ahli pidato pun, jika
lama tak berorasi (misal setahun), lalu tiba-tiba diminta bicara di atas podium,
akan kurang fasih. Santri yang telah khatam Al-Qur’an tapi setelah itu tidak
pernah mengaji, akan kurang lancar ketika membaca Al-Qur’an lagi. Demikianlah
sifat praktik dalam hal apa pun.
Ke
Surabaya naik kereta
Di
stasiun bertemu teman
Meski
paham tata cara
Berlatih harus dilakukan
Daftar Pustaka
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005
Web
site:
0 comments:
Post a Comment