Mencari Data di Blog Ini :

Friday, February 17, 2012

Provokasi dan Emosi (1 of 3)

“Provokator,” sebuah kata yang sering terucap saat ada kerusuhan. Apa itu provokasi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), provokasi berarti:
pro·vo·ka·si n perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan: sebaiknya mereka menyadari bahwa -- yg ditimbulkannya itu akan mengundang pertumpahan darah;
ter·pro·vo·ka·si v terpancing atau terpengaruh untuk melakukan perbuatan negatif, msl perusakan: pengunjuk rasa sempat ~
“Emosinal,” sebuah kata yang kerap kita sandangkan kepada siapa pun yang mudah naik pitam/panas hati. Apa sebenarnya arti emosi? Di KBBI, emosi berarti:
emo·si /émosi/ n 1 luapan perasaan yg berkembang dan surut dl waktu singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (spt kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yg bersifat subjektif); 3 cak marah;
-- keagamaan getaran jiwa yg menyebabkan manusia berlaku religius;
ke·e·mo·si·an n perihal emosi: kalau pendekatan ini yg dipakai, kita akan dapat menggambarkan derajat ~ seseorang
Berdasarkan penjelasan tersebut, provokasi memang berkonotasi negatif. Adapun emosi tergantung suasana, karena kegembiraan, keharuan dan kecintaan termasuk di dalamnya. Dengan demikian, emosi tidak selalu bermakna negatif.
Hanya saja, bila dua kata ini disandingkan, yaitu provokasi dan emosi, maka yang dimaksud adalah emosi kemarahan akibat terprovokasi oleh pihak lain. Emosi yang terjadi bisa mengakibatkan perkelahian, perusakan atau hal-hal lain yang tidak diinginkan bersama.
Sebenarnya kita sudah sama-sama mengerti bahwa kita tidak boleh terpancing emosi karena provokasi.
Sebenarnya kita sudah sama-sama paham bahwa kita dilarang memprovokasi orang.
Sebenarnya kita sudah sama-sama tahu bahwa baik secara adat, norma masyarakat, hukum negara maupun ajaran agama menjadi provokator tidak diperbolehkan.
Sebenarnya kita sudah sangat canggih berdalil, berteori, berpidato, berargumentasi maupun berdebat bahwa mudah terprovokasi itu tidak baik.
Namun, kenyataan membuktikan sebaliknya.
Kita mudah terbakar emosi ketika ada berita yang memerahkan dan memekikkan telinga.
Kita gampang merasa terhina tatkala mendengar desas-desus yang menyinggung harga diri.
Kita laksana secarik kertas tersulut puntung rokok waktu mengetahui ada isu yang merendahkan martabat.
Mengapa hal ini terjadi?
Sebuah rumus umum dikemukakan, “Praktik tidak semudah teori.” Kalimat ini terkesan “meremehkan” teori, namun maksud sebenarnya bukan seperti itu. Berikut ini contoh implementasi kalimat tersebut.
Misal kita belajar mengendarai mobil. Setelah tahu teori cara menjalankan mobil, bahkan di luar kepala, ketika praktik pertama kali tetap akan gugup dan gagap. Praktik membutuhkan latihan, belajar dari pengalaman, latihan lagi, belajar lagi, begitu seterusnya.
Praktik bukanlah sim salabim. Bahkan, seorang ahli pidato pun, jika lama tak berorasi (misal setahun), lalu tiba-tiba diminta bicara di atas podium, akan kurang fasih. Santri yang telah khatam Al-Qur’an tapi setelah itu tidak pernah mengaji, akan kurang lancar ketika membaca Al-Qur’an lagi. Demikianlah sifat praktik dalam hal apa pun.

Ke Surabaya naik kereta
Di stasiun bertemu teman
Meski paham tata cara
Berlatih harus dilakukan

 

Daftar Pustaka

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”, Balai Pustaka, Cetakan Ketiga 2005

Web site:

Tulisan ini berlanjut ke : Provokasi dan Emosi (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment