Mencari Data di Blog Ini :

Friday, February 10, 2012

Walau Sedikit, yang Penting Ikhlas?! (4 of 4)

Tentang keikhlasan, ada yang mengajukan pertanyaan, “Bila kita sedekah dengan tujuan agar gaji kita naik, dagangan laris, lulus ujian atau kepentingan duniawi lainnya, apa itu disebut ikhlas?”
Prinsipnya, kita beramal atau ibadah lainnya, misalnya shalat Dhuha atau shalat Hajat semata-mata karena Allah. Setelah itu, kita berdoa dengan wasilah amal kita tadi agar Allah mengabulkan hajat kita di dunia ini.
Di kitab Riyadhush Shalihin terdapat hadits ke-12 Bab “Ikhlas dan Niat” tentang doa dengan wasilah amal shaleh. Berikut ini redaksi (matan) hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim tersebut:
وعن أبي عبدِ الرّحْمٰنِ عبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ بنِ الخطابِ رضيَ اللهُ عنهما قَالَ: سمعتُ رسولَ الله - صلى الله عليه وسلم - يقول: انْطَلَقَ ثَلاثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمَبِيْتُ إِلى غَارٍ فَدَخلُوهُ، فانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الغَارَ، فَقالُوا: إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أنْ تَدْعُوا اللهَ بصَالِحِ أعْمَالِكُمْ.

قَالَ رجلٌ مِنْهُمْ: اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوانِ شَيْخَانِ كَبيرانِ، وكُنْتُ لا أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أهْلاً ولاَ مالاً، فَنَأَى بِي طَلَبُ الشَّجَرِ يَوْماً فلم أُرِحْ عَلَيْهمَا حَتَّى نَامَا، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُما نَائِمَيْنِ، فَكَرِهْتُ أنْ أُوقِظَهُمَا وَأَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أهْلاً أَوْ مالاً، فَلَبِثْتُ - والْقَدَحُ عَلَى يَدِي - أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُما حَتَّى بَرِقَ الفَجْرُ والصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمِيَّ، فاسْتَيْقَظَا فَشَرِبا غَبُوقَهُما. اللَّهُمَّ إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابِتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هذِهِ الصَّخْرَةِ، فانْفَرَجَتْ شَيْئاً لا يَسْتَطيعُونَ الخُروجَ مِنْهُ.

قَالَ الآخَرُ: اللَّهُمَّ إنَّهُ كانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ، كَانَتْ أَحَبَّ النّاسِ إلَيَّ - وفي رواية: كُنْتُ أُحِبُّها كأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النساءَ - فأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسِهَا فامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلَمَّتْ بها سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءتْنِي فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دينَارٍ عَلَى أنْ تُخَلِّيَ بَيْني وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفعَلَتْ، حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا - وفي رواية: فَلَمَّا قَعَدْتُ بَينَ رِجْلَيْهَا، قالتْ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفُضَّ الخَاتَمَ إلاّ بِحَقِّهِ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهيَ أَحَبُّ النَّاسِ إليَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُها. اللَّهُمَّ إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابْتِغاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فيهِ ، فانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا.

وَقَالَ الثَّالِثُ: اللَّهُمَّ اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ وأَعْطَيْتُهُمْ أجْرَهُمْ غيرَ رَجُلٍ واحدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهبَ، فَثَمَّرْتُ أجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنهُ الأمْوَالُ، فَجَاءنِي بَعدَ حِينٍ، فَقالَ: يَا عبدَ اللهِ، أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي، فَقُلْتُ: كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ: مِنَ الإبِلِ وَالبَقَرِ والْغَنَمِ والرَّقيقِ، فقالَ: يَا عبدَ اللهِ، لاَ تَسْتَهْزِئْ بِيْ! فَقُلْتُ: لاَ أسْتَهْزِئ بِكَ، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنهُ شَيئاً. الَّلهُمَّ إنْ كُنتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحنُ فِيهِ، فانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ


Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Dulu, ada tiga orang sebelum kalian yang berjalan hingga akhirnya mereka mendapatkan sebuah gua yang dapat mereka manfaatkan untuk menginap. Kemudian mereka mamasuki gua tersebut. Tiba-tiba ada sebuah batu besar yang menggelinding dari atas bukit dan menutupi pintu gua sehingga mereka tidak dapat keluar. Kemudian mereka berkata,
‘Sesungguhnya tidak ada yang dapat menyelamatkan dari batu besar ini kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan berbagai amal shaleh kalian.’
Lalu ada salah seorang di antara mereka berdoa,
‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai orang tua yang sudah lanjut usia. Aku terbiasa tidak memberi minum susu pada keluarga dan sahaya sebelum menyuguhkan kepada beliau berdua. Pada suatu hari aku terlambat pulang mencari kayu dan ketika aku kembali menemuinya, beliau berdua telah tidur. Lalu aku memerah susu untuk beliau berdua, dan aku mendapatkan beliau berdua masih terlelap tidur. Aku enggan membangunkan beliau berdua dan (enggan) memerah susu untuk keluarga atau sahaya sebelum aku memberikannya untuk kedua orang tua hamba. Dengan mangkuk yang masih berada di tangan hamba, hamba masih terus menunggu beliau berdua terbangun hingga terbit fajar. Adapun anak-anak hamba merengek di kedua kai hamba. Setelah beliau berdua bangun, hamba meminumkan susu kepada mereka. Ya Allah, jika hamba melakukan hal tersebut karena mengharap ridha-Mu, maka berikanlah jalan keluar kepada kami dari batu besar yang menutupi ini.’
Maka batu itu pun bergeser sedikit, namun mereka belum bisa keluar dari gua. Kemudian yang lain berdoa,
 ‘Ya Allah, sesungguhnya paman hamba mempunyai seorang anak perempuan yang sangat hamba cintai (Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Hamba mencintainya seperti lazimnya laki-laki mencintai wanita.’). Hamba bermaksud mencampurinya tapi ia selalu menolak. Setelah beberapa tahun berlalu, ia mendapat kesulitan sehingga memaksanya datang kepada hamba. Hamba memberinya seratus dua puluh dinar dan setelah itu ia akan membiarkan diri hamba berbuat apa saja terhadapnya. Maka hamba pun melakukan apa yang menjadi kehendak hamba, hingga ketika hamba hendak mencampurinya (dalam riwayat lain disebutkan, ‘Ketika hamba duduk di antara kedua kakinya), ia berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, janganlah engkau memecah cincin kecuali dengan haq.’ Maka hamba pun berpaling darinya, padahal ia adalah orang yang paling hamba cintai. Hamba pun meninggalkan emas yang telah hamba berikan kepadanya. Ya Allah, jika hamba melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka berikanlah jalan keluar bagi kami dari keadaan yang kami alami ini.’
Maka batu besar itu pun bergeser, namun mereka tetap belum dapat keluar dari tempat itu. Kemudian orang ketiga berdoa,
‘Ya Allah, hamba mempekerjakan beberapa orang dan hamba telah memberikan upah masing-masing kecuali satu orang saja tersisa. Ia meninggalkan bagiannya kemudian pergi. Kemudian hamba mengembahkan upahnya hingga dari upah itu berkembang menjadi harta benda yang banyak. Setelah beberapa lama, ia mendatangi hamba seraya berkata, ‘Hai hamba Allah, berikanlah upahku.’ Hamba katakan, ‘Semua yang engkau saksikan ini upahmu, baik berupa unta, sapi, kambing maupun budak-budak.’ Lalu ia berkata, ‘Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokku.’ ‘Aku sama sekali tidak memperolok-olokmu,’ sahut hamba. Kemudian ia mengambil dan membawa semuanya tanpa menyisakan sedikit pun. Ya Allah, jika hamba melakukan hal tersebut karena mengharap ridha-Mu, maka berikanlah jalan keluar kepada kami dari tempat ini.’
Maka batu besar itu pun akhirnya bergeser, sehingga mereka semua dapat keluar dengan berjalan kaki.” (Muttafaq ‘alayh)
Karena uraian seperti ini sering kita dengar, maka ada kalanya kita berucap, “Saya beribadah semata-mata demi menggapai ridha Allah, bukan takut neraka ataupun ingin masuk surga.” Kita berkata demikian padahal ibadah yang kita lakukan termasuk kategori kurang semangat. Mengaji ala kadarnya, shalat sunnah tidak rutin, sedekah secukupnya dan ibadah-ibadah lain pun jauh dari yang dilakukan para ulama.
Memang, karena kita belum pernah disiksa di neraka atau menikmati fasilitas surga, maka surga dan neraka seolah-olah abstrak, sehingga mudah sekali kita berkata tak takut neraka atau tak mengharap surga kala beribadah.
Untuk mengetahui apa benar kita tak takut neraka, mari kita jawab contoh pertanyaan ini, “Apa setiap hari kita shalat Dhuha minimal empat rakaat? Baca Al-Qur’an minimal satu juz? Bila belum, bagaimana bila ada penguasa yang akan menghukum cambuk kita seribu kali bila kita tidak shalat Dhuha empat rakaat dan baca Al-Qur’an satu juz setiap hari?”
Apakah dengan ancaman hukuman cambuk tersebut kita jadi rajin beribadah? Jika ya, berarti kita sangat takut masuk neraka, hanya saja karena kita belum pernah disiksa, maka dengan mudahnya kita berkata bahwa kita ibadah bukan karena takut neraka.
Lantas benarkah kita ibadah bukan mengharap surga? Jika ya, apa kita meraih setinggi-tingginya setiap ibadah yang kita lakukan? Untuk mengetahuinya, mari kita jawab contoh pertanyaan ini, “Apa setiap hari kita istiqamah shalat Dhuha delapan rakaat? shalat Tahajud delapan rakaat? Shalat witir tiga rakaat? Baca Al-Qur’an sepuluh juz? Shalat sunnah rawatib baik yang mu’akkad maupun ghayru mu’akkad?”
Bila belum, mengapa? Bagaimana bila ada seorang triliuner lagi dermawan yang akan memberi hadiah sebuah mobil mewah keluaran terbaru serta uang tunai Rp 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah) bila kita dalam satu bulan saja melaksanakan jenis-jenis ibadah di atas? Apa kita mau dalam sebulan itu setiap hari shalat Tahajud, shalat Dhuha, shalat Witir, baca Al-Qur’an dan permintaan lainnya?
Jika ya, berarti kita ibadah sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan. Kalau mendapat mobil dan uang saja membuat kita semangat dalam beribadah, bagaimana bisa kita mengatakan beribadah tak mengharap surga? Sungguh, pernyataan kita jauh panggang dari sate!
KH. Asrori al-Ishaqi rahimahullâh—pendiri Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah memberi nasihat yang intinya bahwa surga dan neraka memang kelihatan masih jauh. Itu kenapa kita lebih takut miskin daripada neraka. Kita lebih senang dapat rumah dan banyak uang daripada surga.

Daftar Pustaka

Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, Riyâdhush Shâlihîn 
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Misbahus Surur, “Dahsyatnya Shalat Tasbih”, Qultum Media, 2009
Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

0 comments:

Post a Comment