Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 10, 2011

Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (2 of 7)

Tentang kewajiban shalat bagi kita dan khusyu’ di dalamnya, Allah SWT berfirman yang artinya:

Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(QS Thâhâ [20]: 14)


Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.
(QS al-Mu’minûn [23]: 1-2)


…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
(QS al-A‘râf [7]: 205)


Rasulullah mengingatkan akan khusyu’ dalam sebuah hadits:

أَوَّلُ عِلْمٍ يُرْفَعُ مِنَ اْلأَرْضِ الْخُشُوْعُ
Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyu’an.
(HR Thabrani)

Khusyu’ merupakan manivestasi tertinggi dari hati yang sehat. Hilangnya khusyu’ merupakan tanda bahwa hati telah kehilangan kehidupan dan vitalitasnya. Nasihat bisa jadi tidak berpengaruh lagi dan ambisi buruk mudah menguasainya.

Dengan nasihat dari Nabi saw. tersebut, marilah kita bersama-sama berusaha untuk bisa khusyu’ dalam shalat. Dan, sebagaimana umumnya sebuah amal, khusyu’ pun bertingkat-tingkat. Memang, ini bukanlah sulap, tapi berlatih dan memohon pertolongan Allah adalah cara untuk mencapainya. 

Abu Bakar ar-Razi berkata, “Khusyu’ adalah untaian/rangkaian makna semua hal ini, yaitu tenang dalam mengerjakan shalat, merendahkan diri, tidak menoleh-noleh atau bergerak-gerak dan merasa takut kepada Allah.”

Imam al-Junaid pernah ditanya tentang khusyu’. Dia menjawab, “Rendah hati karena Allah.” Sedangkan menurut Hasan al-Bashri, yang dimaksud khusyu’ adalah takut secara konsisten untuk kepentingan hati. Pendapat yang lain menjelaskan, “Khusyu’ adalah mencari keselamatan diri untuk kebenaran (Allah).”

Imam al-Ghazali menyimpulkan pendapat yang berkembang untuk menjelaskan hakikat khusyu’, yaitu mencakup kehadiran hati, mengerti apa yang dibaca serta diperbuat, penghormatan (ta‘zhîm) kepada Allah, merasa takut yang bersumber dari rasa hormat terhadap-Nya (haybah), penuh harap kepada-Nya dan malu terhadap-Nya.

Kehadiran hati adalah ruh shalat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Kurang dari batas minimal bisa dikatakan sia-sia, walaupun secara fiqh tetap sah. Semakin bertambah kehadiran hati, semakin tersebar pula ruh itu dalam bagian-bagian shalat.

Penyebab kehadiran hati adalah adanya keinginan yang keras, karena kondisi hati mengikuti keinginan kita. Keinginan tidak hadir kecuali pada hal-hal yang benar-benar kita inginkan. Jika suatu perkara menjadi keinginan kita, maka mau tidak mau, dengan sendirinya hati kita akan hadir. Begitulah ia tercipta.

Jika hati tidak hadir dalam shalat, tidak berarti ia hanya berdiam diri, melainkan berkeliaran pada urusan-urusan lain yang menjadi keinginan kita. Jadi tidak ada cara atau terapi yang dapat menghadirkan hati kecuali dengan mengalihkan keinginan kita kepada shalat.

Sementara itu, keinginan tersebut tidak teralih kepada shalat selama belum jelas bahwa tujuan yang dicari itu tergantung pada shalat. Tujuan yang dicari itu adalah keyakinan bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal, dan shalatlah sarana untuk menggapainya. Apabila hal ini digabungkan dengan pengetahuan sebenarnya akan fananya dunia, maka terjadilah kehadiran hati dalam shalat.

Allah bertanya, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?”

Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.”

Allah berfirman, “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.”

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?

Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (Yang Mempunyai) ‘Arsy yang mulia.
(QS al-Mu’minûn [23]: 112-116)

Pemahaman terhadap apa yang diucapkan dan diperbuat merupakan pengetahuan hati tentangnya, bukan sekadar makna lahir. Berawal dari sinilah kemudian shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Sesungguhnya shalat itu memahami banyak hal. Hal-hal itulah yang pasti dapat mencegah perbuatan keji.

Penghormatan (ta‘zhîm) bersumber dari dua pengetahuan. Pertama, mengetahui kemuliaan dan keagungan Allah. Hal ini termasuk dasar-dasar keimanan. Siapa yang tidak meyakini keagungan Allah, jiwanya tidak akan tunduk kepada keagungan-Nya. Kedua, mengetahui kehinaan jiwa dan keberadaannya sebagai hamba yang ditundukkan, sehingga timbul kepasrahan, ketidakberdayaan dan kekhusyu’an kepada Allah.

Haybah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat terhadap-Nya) merupakan keadaan jiwa yang lahir dari pengetahuan akan kekuasaan Allah dan pengaruh kehendak-Nya pada diri setiap insan.

Pengharapan terwujud karena mengetahui kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasan nikmat-Nya, keindahan ciptaan-Nya dan mengetahui kebenaran janji-Nya, yaitu surga bagi orang yang mengerjakan shalat. Keyakinan tentang semua itu akan menumbuhkan harapan.

Rasa malu akan terwujud karena perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan karena mengetahui kelemahan diri dalam melaksanakan hak Allah Yang Maha Agung. Rasa malu akan lebih kuat dengan adanya kesadaran bahwa Allah mengetahui apa yang terdetik dalam hati sekalipun kecil dan tersembunyi.

Diriwayatkan dari Ibnu Mubarak bahwa Rasulullah saw. pernah menyuruh penggantian tali terompah, kemudian beliau melihat tali itu dalam shalatnya karena masih baru. Lalu beliau memerintahkan agar tali itu dilepas dan dipasang lagi tali yang lama.

Siti Aisyah ra. menceritakan bahwa bahwa Rasulullah pernah shalat memakai khamishah (jenis pakaian dari bulu) pemberian Abu Jaham yang bergambar. Seusai shalat beliau menanggalkannya seraya bersabda,

اِِذْهَبُوْا بِهَا إِلَى أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي وَائْتُوْنِي بِأَنْبِجَانِيَـةِ أَبىِ جَهْمٍ
“Bawalah kain itu pada Abu Jaham karena kain itu baru saja melalaikan aku dari shalatku, dan bawakanlah kepadaku anbijaniah (baju tebal yang tidak bergambar) Abu Jaham.” (Muttafaq ‘alayh)


Daftar Pustaka:
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I: September 1998/Jumadil Ula 1419
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama: Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV: November 2006


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment