Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 17, 2011

Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (3 of 7)

Seorang teman bertanya, “Jika memang baju bergambar bisa berdampak seperti itu pada diri Rasulullah saw., bagaimana dengan sajadah yang kita pakai? Bukankah di sajadah terdapat gambar, biasanya masjid atau ka‘bah? Apakah itu tidak berarti mengurangi kekhusyu’an kita?”


Sebelum membahas sajadah, penulis akan menerangkan tentang sarung, sebuah perlengkapan ibadah yang lazim digunakan oleh kaum muslim Indonesia dan sekitarnya. Ada apa dengan sarung?


Biasanya, di sebuah sarung ada bagian yang agak berbeda—lebih gelap atau lebih terang daripada bagian lain—dengan tujuan agar diletakkan di bagian belakang tubuh. Di bagian bawahnya terdapat semacam kain stiker atau tulisan tanda merk. Sejak penulis sekolah, ayah penulis rahimahullâh mengajarkan agar meletakkan tanda merk sarung di atas (bagian yang dilipat), sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Tujuannya untuk menghindari fitnah.

Jika ada orang melihat merk sarung kita, sedangkan orang itu memakai sarung yang lebih mahal, dikuatirkan akan timbul sifat meremehkan di sisi orang itu, dan rendah diri di sisi kita. Namun, jika yang melihat memakai sarung yang merknya berharga lebih murah, dikuatirkan akan menimbulkan iri hati pada yang memandang dan sifat sombong pada diri kita. Alasan kedua yaitu agar tanda merk tersebut tidak terbaca orang yang sedang shalat di shaf belakang kita. Dengan demikian ketika menundukkan pandangannya ke arah sujud, ia tidak akan terganggu. Oleh karena itu, maka bagian bawah sarung dijadikan bagian atas, begitu pula sebaliknya. Nasihat tersebut penulis jalankan terus sampai sekarang.


Lucunya, ada sarung yang merknya bukanlah stiker atau kain dijahit, melainkan sebuah tulisan dan berada di sisi atas serta bawah sarung. Sungguh kreatif sekali. Dengan begitu, tidak bisa ditentukan mana bagian atas, dan mana bagian bawah. Akhirnya, penulis punya inisiatif sendiri, bagian belakang sarung diletakkan di depan dan dilipat sehingga tidak terlihat. Dengan demikian, yang tampak adalah bagian yang semuanya sama. Bukankah kreativitas harus ditandingi dengan kreativitas pula? :)

Tentang sajadah, kalau Rasulullah saja terganggu dengan adanya gambar, apakah kita akan mengatakan tidak? Sebuah kesombongan bila kita merasa bisa lebih khusyu’ dibandingkan Rasulullah. Kalaupun kita mengatakan tetap bisa khusyu’, paling-paling khusyu’ di level kita, yaitu khusyu’ level bawah. Bukankah khusyu’ memang bertingkat-tingkat? Untuk itu, kita ambil jalan tengah saja. Biasanya, sesuatu akan menarik perhatian jika sesuatu itu baru atau berbeda. Oleh karena itu, jika kita ke masjid, janganlah kita membawa sajadah dari rumah. Bukankah sudah ada karpet di masjid? Kalau kita membawa sajadah dari rumah, berarti akan tampak beda, dan dikuatirkan akan menarik perhatian jamaah lain ketika shalat. Tentunya kita tidak ingin menyebabkan ibadah orang lain terganggu, kan?

Kalau shalat di rumah, sebaiknya tetap dihindari menggunakan sajadah bergambar. Berhati-hati tetap lebih diutamakan. Bila tidak bisa karena hanya punya sajadah bergambar, ya bagaimana lagi. Untungnya, bila terbiasa melihat sesuatu, umumnya kita tidak akan tertarik lagi dengan sesuatu itu. Semoga Allah menolong kita, sehingga kita bisa memperbaiki dan menyempurnakan shalat kita, amin.

Berkenaan dengan khusyu’, Rasulullah berdoa memohon perlindungan dari Allah dari hati yang tidak khusyu’. Doa beliau yaitu:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَيَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَيَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَتَشْـبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَيُسْـتَجَابُ لَهَا
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tak pernah puas dan dari permohonan yang tidak dikabulkan. (HR Muslim)

Khusyu’ adalah pekerjaan hati, dan jika seseorang hatinya khusyu’ maka akan khusyu’ pula anggota badannya. Secara ringkas, kalangan alim ulama memberikan sejumlah rekomendasi agar bisa khusyu’ dalam shalat, yaitu:

1.Berjalan menuju shalat dengan tenang dan mantap.

Bukhari dalam Shahihnya, meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya, dia berkata, “Pada suatu saat kami melaksanakan shalat bersama Nabi saw. Ketika itu beliau mendengar gemuruh beberapa orang laki-laki. Tatkala beliau hendak mengerjakan shalat, beliau bertanya,

‘Bagaimana keadaan kalian?’

Mereka menjawab,
‘Kami cepat-cepat hendak menunaikan shalat.’

Nabi bersabda,
‘Janganlah kalian lakukan itu. Jika kalian mendatangi shalat, maka kalian wajib bersikap tenang. Suatu rakaat yang kalian temukan, maka shalatlah kalian. Suatu rakaat yang telah meninggalkan kalian, maka sempurnakanlah shalat itu dengan menggenapi rakaat setelah imam salam’.”

Abu Hurairah juga meriwayatkan hadits dengan matan (isi) yang sama.


2. Ketika shalat, hendaklah merenungkan bahwa kita sedang di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam pikiran dan hati
3. Menghayati makna apa yang sedang dibaca
4. Memasukkan arti tersebut ke dalam hati

5. Tidak tergesa-gesa dalam ucapan dan amalan shalat (thuma’ninah)
6. Menundukkan muka ke tempat sujud
7. Menjauhkan diri dari segala hal yang dapat mengusik ketenangan hati.
8. Menganggap bahwa itulah shalat terakhir yang dilakukan, karena bisa saja malaikat maut sebentar lagi akan datang menjemput nyawa milik-Nya yang dipinjamkan kepada kita.

Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا قُمْتَ فِيْ صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ
Jika engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan (dunia). (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Dalam sebuah syairnya, Ibnu Hazm al-Andalusi berpesan:

Hidup di negeri fana janganlah terlena
Maut terus ingatkan kita niscaya binasa
Yang tunduk perintah ‘Azza wa Jalla
Ikuti akal, singkirkan hawa nafsu pula

Kan ia raih kemenangan di sisi-Nya, niscaya
Ia kan dapatkan segala nikmat swargaloka
Yang paham hakikat perintah ‘Azza wa Jalla
Kan lihat keelokan yang tak dimiliki siapa saja


Daftar Pustaka:
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V: Maret 2007
  • Mohammad Sholeh, Prof, “Pelatihan Sholat Khusyuk”, Makalah, April 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV: November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (2 of 7)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Sebenarnya Bisa Khusyu’ Tapi Enggan (4 of 7)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment