Mencari Data di Blog Ini :

Friday, October 8, 2010

Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (3 of 4)

“Taubat nashûhâ,” kata Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Wasithi, “tidak akan meninggalkan bekas kemaksiatan pada pemiliknya, baik yang bersifat samar maupun jelas.”


Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnul Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas‘ud serta Ubay bin Ka‘ab ra. bahwa pengertian taubat nashûhâ adalah seseorang yang bertaubat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan.


Allah memerintahkan kepada seluruh kaum mukmin untuk bertaubat kepada-Nya, tanpa perkecualian. Meskipun orang itu telah demikian taat menjalankan syariat, dan telah menanjak dalam barisan kaum muttaqin (orang-orang yang bertakwa), tetap memerlukan taubat.


Bahkan, Rasulullah sendiri masih melakukan taubat. Dari Sahabat Al-Aghar bin Yasar al-Muzni bahwa Rasulullah bersabda,


يَاأَ يُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلىَ اللهِ وَاسْـتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّيْ أَ تُوْبُ فىِ الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, dan mintalah ampun (istighfar). Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah tiap hari seratus kali.” (HR Muslim)


Mengenai taubat yang dilakukan Rasulullah saw., di buku “Tuntunan Bertaubat Kepada Allah (at-Taubah ilâ Allâh)”, Dr. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan, “Juga ada yang bertaubat dari maqam yang ia tempati yang seharusnya ia naik ke maqam yang lebih tinggi. Dan ini adalah taubat Nabi saw.”

Dari penjelasan di atas, apakah kita masih merasa tidak perlu bertaubat? Apa kita masih mengira bahwa kita melebihi tingkatan kaum muttaqin, sehingga tidak termasuk golongan yang harus bertaubat?


Kewajiban melakukan taubat dengan segera juga tidak perlu dipertanyakan lagi. Mengetahui keberadaan maksiat sebagai hal yang membinasakan merupakan bagian dari iman. Orang yang menyadari kewajibannya adalah orang yang mengetahuinya secara benar sehingga mampu mencegah diri dari perbuatan yang dibenci.


Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS an-Nisâ’ [4]: 17)

Abu Hamid al-Ghazali berpesan bahwa sangat berbahaya apabila kita menunda-nunda untuk bertaubat. Mungkin saja kita meninggal dunia sebelum melakukan taubat. Sedangkan apabila atas karunia dan rahmat Allah, kita diberikan kemampuan untuk bertaubat, maka kita akan memperoleh kemuliaan.


Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.” (QS an-Nisâ’ [4]: 18)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,


إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالمَ ْْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah tetap menerima taubat seorang hamba-Nya selama ruh (nyawanya) belum sampai di tenggorokan.” (HR Tirmidzi)

Lebih lanjut, al-Ghazali menasihatkan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, “Janganlah engkau menghina ketaatan sekecil apa pun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apa pun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata, ‘Apa manfaatnya satu benang itu? Kapan akan dapat menghasilkan satu baju?’ Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu benang dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini disusun dari atom-atom kecil. Maka, berdoa dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT.”


Sahal bin Abdullah at-Tustari memberi penjelasan, “Taubat adalah meninggalkan penundaan (tidak menunda-nunda taubat).”


Dalam buku “Tuntunan Bertaubat Kepada Allah (at-Taubah ilâ Allâh)”, Dr. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa di antara keutamaan menyegerakan taubat ialah membantu kita mencabut akar dosa sebelum menjadi kronis dan tertanam kuat dalam hati, kemudian tersebar dalam seluruh perbuatan. Apalagi bila setiap hari keburukan itu terus berkembang dari sumbernya, hingga mencakup seluruh perbuatan kita.


Orang yang selalu menunda-nunda taubat bisa diumpakan orang yang ingin mencabut sebuah pohon, namun dibatalkan. Kemudian ia berkata dalam dirinya, “Aku tunggu hingga satu tahun, baru aku datang kembali untuk mencabutnya.” Ini adalah logika yang keliru. Karena ia tahu, pohon dari hari-kehari akan makin kokoh dan besar, sementara dirinya semakin menua dan melemah.


Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata, “Segera bertaubat dari dosa adalah kewajiban yang harus dilakukan segera, dan tidak boleh ditunda. Ketika ia menundanya maka ia bertambah dosa dengan penundaannya itu. Dan jika ia telah bertaubat dari dosa, maka masih ada dosa yang harus ia pintakan ampunannya, yaitu dosa menunda bertaubat. Tentang ini sedikit sekali dipikirkan oleh orang yang telah bertaubat. Malah ia menyangka jika ia telah bertaubat dari dosanya maka ia tidak memiliki dosa lagi selain itu, padahal ia tetap memiliki dosa, yaitu menunda taubatnya itu.”


Di antara keutamaan orang yang bertaubat adalah Allah menugaskan para malaikat Muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdoa kepada-Nya agar Allah menyelamatkan mereka dari azab neraka, memasukkan mereka ke dalam surga, dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan para malaikat sibuk dengan urusan mereka di langit. Allah berfirman yang artinya:


(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala,


ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shaleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,


dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.”
(QS. al-Mu’min [40]: 7-9)

Daftar Pustaka:

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan lanjutan dari : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (2 of 4)
Tulisan ini berlanjut ke : Apakah Kita Termasuk Orang Yang Harus Bertaubat? (4 of 4)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment