Ketika pertama kali penulis mau mengikuti tadarrus Ramadhan di masjid Roudhotul Jannah dekat rumah, Ibu penulis (beliau sudah almarhumah) berpesan dalam bahasa Jawa yang terjemahnya,
“Kalau nanti ada orang salah membaca, ngga usah ditegur... Ulangi saja sendiri bacaan yang salah tadi... Tidak setiap orang mau diingatkan bahwa bacaannya kurang tepat... Dikuatirkan nanti dia malu lalu ngambek, ngga mau tadarrus lagi...”
Bertahun-tahun nasihat ini penulis taati. Suatu ketika, penulis agak “gemes” karena ada seorang jamaah yang sejak awal Ramadhan selalu membaca lama sekali padahal yang lain sudah antri. Jamaah lain sungkan menegur karena tidak akrab.
Di hari kesekian puasa, akhirnya penulis menegurnya setiap kali salah baca. Maksud penulis agar dia sadar bahwa bacaannya masih banyak kesalahan, juga supaya dia menyadari sendiri tidak perlu membaca melebihi jamaah lain. Ternyata yang diungkapkan Ibu penulis terbukti. Esoknya orang tersebut tidak lagi terlihat tadarrus sampai akhir Ramadhan, bahkan Ramadhan berikutnya.
Dari peristiwa itu penulis mengambil kesimpulan bahwa kita harus menjaga perasaan orang lain. Salah satu contohnya, jika ingin mengingatkan orang lain harus dengan cara yang hati-hati, santun, ramah dan indah. Setiap orang ditakdirkan berbeda-beda, tapi sopan santun (akhlâq al-karîmah) adalah metode yang insya Allah bisa diterima dan disukai insan mana pun.
Sebenarnya, topik akhlâq al-karîmah sudah sering dibahas oleh para ustadz. Bahkan, dalam sebuah hadits Rasul saw. bersabda :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. (HR Malik)
Namun, entah kenapa konsep ini tidak banyak kita praktekkan. Mungkinkah kita hanya paham dan canggih dari sisi dalil? Mungkinkah pola pengajaran kita hanya menekankan segi hapalan dan kemampuan berdebat? Mungkinkah kita baru merasa hebat bila berhasil mengungguli ilmu orang lain dengan bukti keberhasilan kita mengalahkannya dalam adu argumentasi? Wallâhu a‘lam.
KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah mengkritik jamaah haji yang cenderung egois dan mau “menang sendiri” dengan alasan agar mendapat kemabruran.
Gus Mus menulis,
“Lihatlah mereka yang berusaha mencium Hajar Aswad itu, misalnya. Alangkah ironis! Mencium Hajar Aswad paling tinggi hukumnya adalah sunnah, tapi mereka sampai tega menyikut saudara-saudara mereka sendiri kanan-kiri.
Bagimana berusaha melakukan sunnah dengan berbuat yang haram? Jangan-jangan, dalam banyak hal lain, kita juga hanya mengandalkan semangat menggebu dan mengabaikan pemahaman. Masya Allah.”
Gus Mus menulis lagi,
“Berkenaan dengan hadits tentang kemabruran haji, ada riwayat yang menyebutkan adanya pertanyaan para sahabat saat Nabi Muhammad saw. menyebut-nyebut tentang haji mabrur itu, ‘Wa mâ birrul hajji yâ Rasûlallâh? (Apa kemabruran haji itu, ya Rasul?)’
Ternyata jawaban Rasulullah saw. tidak berhubungan dengan thawaf, sa‘i dan sebagainya. Tetapi, justru yang ada hubungannya dengan pergaulan sesama jamaah yang sama-sama beribadah, seperti menebarkan salam dan memberikan pertolongan.
Bila riwayat ini dianggap dha‘if, kita masih bisa menyimak sunnah Rasul saat melakukan ibadah haji. Bagaimana sikap tawadhu‘, kemurahan, kelembutan dan hal-hal lain yang menunjukkan penyerahan diri beliau sebagai hamba kepada Tuhan dan tepo seliro beliau terhadap sesama hamba-Nya.”
Salah seorang ipar penulis pernah berkisah,
“Sekarang ada semacam jasa body guard (laki-laki) yang bisa disewa untuk mengawal kita mencium Hajar Aswad. Badan mereka memang cukup besar untuk melindungi kita. Namun, untuk jamaah haji wanita, apalagi cantik, sebaiknya jangan menggunakan jasa ini. Kenapa?
Seorang jamaah wanita bercerita bahwa ketika dia menggunakan jasa orang-orang ini, tubuh mereka terkadang bahkan seringkali bersentuhan dengan tubuhnya. Bahkan, tangan mereka pun terkadang memegang tubuhnya, mungkin tujuannya sebagai perlindungan. Tapi, siapa yang tahu bahwa itu bukan kesengajaan untuk memegang tubuh jamaah wanita tersebut, karena ternyata jamaah itu memang cantik? Wallâhu a‘lam.”
Bukankah begitu memilukan dan memalukan kondisi seperti ini? Tidakkah ironi karena hal ini terjadi pada umat Islam yang katanya menjunjung tinggi akhlak? Mengapa harus ada “body guard” untuk mencium Hajar Aswad? Tidakkah kita rela antri dengan tertib dan sabar supaya semua saudara kita bisa menciumnya?
Rasulullah saw. telah bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ فىِ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذاَ اشْـتَكَى عُضْوٌ مِنْهُ تَدَاعَى سَائِرُهُ بِالْحُمَى وَالسَّهْرِ
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakannya, yaitu (sakit) demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaq ‘alayh)
إِنَّ أَحَدَكُمْ مِرْآةُ أَخِيْهِ فَإِذَا رَأَى فِيْهِ شَيْـئًا فَلْيُمِطُهُ عَنْهُ
Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin bagi saudaranya. Jika ia melihat sesuatu pada saudaranya, maka hendaklah ia membersihkannya. (HR Abu Daud dan Tirmidzi—hadits hasan)
Bukankah sudah nyata bahwa kita adalah cermin saudara kita? Bukankah kita ingin diperlakukan dengan lembut, santun dan ramah, sebagaimana saudara-saudara kita pun ingin diperlakukan sama? Jika memang demikian adanya, lalu mengapa kita tidak mau memulainya terlebih dahulu? Bukankah sudah jelas kaidah yang ada, “Mulailah dari dirimu sendiri (ibda’ binafsika)”?
Timbul pertanyaan, “Bukankah berlomba-lomba dalam kebaikan dianjurkan bahkan diperintahkan? Bukankah untuk melaksanakan kebaikan tidak perlu mendahulukan orang lain? Bagaimana caranya kita tahu bahwa perbuatan kita kurang mencerminkan akhlâq al-karîmah?”
Kita gunakan saja metode standar, yaitu “Istafti qalbak (mintalah fatwa/bertanyalah kepada hati nuranimu.” Bukankah untuk meraih kebaikan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula?
Seorang sahabat Nabi saw. bernama Wabishah bin Ma‘bad berkunjung kepada Nabi saw, lalu beliau menyapanya dengan bersabda,
“Engkau datang menanyakan kebaikan?”
“Benar, wahai Rasul,” jawab Wabishah.
“Tanyalah hatimu (istafti qalbak)! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa dan tentram terhadap hati. Adapun dosa adalah yang mengacaukan dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.”
(HR Ahmad dan ad-Darimi)
Daftar Pustaka :
- A. Mustofa Bisri, Kyai, “Membuka Pintu Langit”, Penerbit Buku Kompas, Cetakan kedua : November 2007
- M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini berlanjut ke : "Sudahkah Kita Mengindahkan Perasaan Orang Lain? (2 of 2)"
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
Assalamu'alaikum, senang rasanya diri ini bisa berkunjung dan membaca tulisan dari bapak faisol, sangat indah dan sungguh membuat bertanya dalam hati, Apakah diri ini demikian?
ReplyDeleteTerima kasih atas bahasannya ternyata memang kalo kita mau bercermin terlalu banyak kekurangan dan hanya seatom kebaikan.
Boleh tanya gak pak, email saya masuk gak pak? Saya mohon penjelasan atas apa yang saya tanyakan dan kiranya emailnya belum masuk akan saya kirim lagi. Afwan pak......Semoga Allah melembutkan hati seluruh ummat islam, amiiiinnnn
Salam, M. surya Ikhsanudin
Menegur orang secara langsung tanpa melihat cara dan kondisi yang ada bisa membuat orang kapok untuk beribadah. Pernah di tempat saya ada orang yang lama sekali tidak pernah shalat, suatu saat datang ke masjid untuk berjamaah. Ada yang menegurnya "kok tumben datang ke masjid". Besoknya orang yang ditegur tak pernah datang lagi walau hanya sekedar shalat berjamaah. Banyak yang kapok karena teguran orang sama termasuk imam dan muadzin, karena cara menegurnya langsung di hadapan banyak orang.
ReplyDeleteAssalaamu'alaykum warahmatullahi wa bara kaatuh
ReplyDeleteAgaknya, memang harus melakukan teguran sesuai dengan kondisi yang baik, yakni tanpa ada orang lain yang mengetahui,serta dipraktikkan dengan cara lemah lembut.
Pernah suatu kali saya mencoba menegur orang tua saya sendiri mengenai suatu perbuatan beliau, karena 'menurut saya' amat tidak berkenan. Waktu itu saya masih kelas 2-3 SMP, dan teknik saya dalam menegur tuh langsung to the point saja, tanpa tedheng aling2 berupa tata krama yang sudah seharusnya dilakukan oleh orang yang lebih muda umurnya, apalagi terhadap orang tua, yang dari dalilnya memang tidak diperbolehkan untuk berkata2 kasar, meskipun hanya dengan kata "cih" saja.
Yah..akibatnya..sudah bisa diduga..orang tua tidak mengindahkan..dan akhirnya malah saya dan beliau keparkali bertengkar hanya karena masalah agama-fikih maksud saya.
Hingga akhirnya saya sadar, itu juga setelah kuliah..walaupun saya sudah mengetahui dalilnya tentang perkataan kasar thd ortu sejak kelas I SMP! Astaghfirullah..
Akhirnya, satu hal yang selalu saya pegang mulai saat itu-koreksi terlebih dahulu apa2 yang hendak kita katakan terhadap orang lain, terlebih ortu kita sendiri, dan sudah seharusnyalah kita saling mengingatkan dalam kebaikan, dan pasti dengan cara yang ma'ruf pula.
Taqabbalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiyamakum.
Wassalaamu'alaykum warahmatullahi wa bara kaatuh
terima kasih untuk kunjungannya. tulisannya boleh juga untuk saling mengingatkan :)
ReplyDeleteBenar bahwa dosa itu mengacaukan dada...
ReplyDeleteMembuat hati tak tenang
iya dosa juga bisa bikin sial
ReplyDeletemakanya kita harus banyak2 minta ampun
Banyakkan berdoa.
ReplyDeleteSalam kasih dari Malaysia..
assalammu'laikum.............................
ReplyDeletemungkin belum, terlalu egois mungkin.............,,,
AFWAN
Assalammu`alaikum...
ReplyDeletepertama, saya ngucapin terima kasih udah berkunjung di blog saya dan udh kasih komentar...
kedua, tulisan nya boleh juga...qt saling mengingatkan aja ya...
ketiga, lam kenal aja ya...btw, tau blog saya dari mana ya?
terima kasih...(www.ancha-ary.co.cc)
u/ semua saudara/i-ku sekalian,
ReplyDeleteterima kasih saya haturkan atas komentarnya...
mohon maaf krn tdk bisa menanggapi satu per satu karena 2 minggu kemarin saya begitu sibuk...
semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin...
saya cadangkan baca itu tanbihul ghafilin...dalam bab amar ma'ruf nahi mungkar...ad membicarakan hal ini....
ReplyDeleteterima kasih banyak atas komentarnya. nggak nyangka ada orang asing yang nengok blog saya. tadinya saya kira cuma teman-teman saya saja. tapi komentar mas jadi jawaban Allah atas pertanyaan saya. Alhamdulillah. beberapa hari ini saya berselisih paham dengan teman untuk masalah ini. terus terang, komentar dan tulisan di blog mas jadi jawaban buat saya. dan sebenarnya memang ini yang sedang saya pikirkan, pertanyakan. sekali lagi terima kasih banyak, ya..mari terus saling mengingatkan sebagai saudara seiman.
ReplyDeleteAssalamualaikum..Terima kasih atas kunjungan ke blog saya..semuga ianya dapat di manafaatkan bersama..Jazakallah..
ReplyDeletesubhanallah ... mas ini benar benar hebat deh ... terimakasih sudah membaca blog saya yg saya tulis berdasar kisah nyata yg ad di lingkungan saya, krna aku g akn nulis sesuatu tnpa aku ikut alami sndiri hal itu. klo mau mau silakan kunjungi FS saya, add saja email saya, diana_kepompong@yahoo.co.id
ReplyDeletemakasih mas ... jangan kaget kalo melihat foto saya ... thnks ...
wa'alaykumus salam wr. wb, saudariku wesiati husodo, rose & diana yg baik...
ReplyDeleteterima kasih juga saya haturkan...
mungkin hati memang tempat paling tepat untuk menanyakan apakah sesuatu itu baik atau tidak. masalahnya, hati juga merupakan tempat yang paling mudah dibolak-balik setan, sehingga kadang si pemilik hati jadi ga jelas lagi apakah suatu perbuatan yang sedang dipertimbangkannya adalah perbuatan baik atau buruk.
ReplyDeleteapalagi konon kabarnya hati yang tertutup 'selaput' setipis lapisan embun pagi pun kadang ga bisa lagi membedakan mana perbuatan baik mana perbuatan buruk.
Subhanaallaaah..
ReplyDeleteIndahnya kebersamaan ini. Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam.. Aamiin. Salam Ta'dziem.