Sudahkah kita menjawab pertanyaan di pembahasan sebelumnya, yaitu “Apakah kita memilih makna kembali fitrah/suci (fith-rah) ataukah kembali makan (fith-run)?”
Kemungkinan besar kita akan memilih kembali fitrah atau menggabungkan kedua makna yang ada, di mana tetap terdapat makna kembali fitrah, entah apa pun alasannya—apakah karena ikut-ikutan saja atau benar-benar dari lubuk sanubari.
Apa pun argumentasi kita, sah-sah saja jika kita berkata bahwa kita telah kembali kepada fitrah. Namun, jangan kita lupakan bahwa ucapan ini harus dipertanyakan atau diuji. Pertanyaan berikutnya adalah, “Apakah kita yakin bahwa puasa, tarawih, tadarrus dan segenap ibadah kita lainnya di bulan Ramadhan diterima Allah SWT?”
Kita memang bertabiat sering GR (Gede Rasa). Ketika ada pembahasan tentang kebaikan, entah dari guru, ustadz, kyai, ajengan, buya, tuan guru, syaikh, ulama, da‘i atau buku, kita merasa sudah melakukan itu semua.
Kita merasa sudah menjalankan puasa Ramadhan dengan sangat baik, bahkan khatam Al-Qur’an minimal sekali dalam bulan itu.
Kita merasa sudah melaksanakan shalat-shalat sunnah, yaitu Dhuha, Rawatib (Qabliyah dan Ba‘diyah), Ba‘dal Wudhu, Tahajud, Tahiyyatul Masjid, Tasbih, Witir dan shalat Mutlak yang tak ada batasan jumlah rakaatnya.
Kita merasa sudah banyak berdzikir menyebut asma Allah, juga membaca shalawat untuk junjungan kita Rasulullah Muhammad saw.
Kita merasa mendapatkan lailatul qadar karena kita senantiasa tarawih dan tidak lupa i‘tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Sebaliknya, tatkala ketidakbaikan diceritakan, serta merta kita berkata pada diri sendiri bahwa pelakunya bukanlah diri kita. Malah, kita sibuk mencari siapa yang melakukan ketidakbaikan itu. Sungguh, kita memang mudah terjangkit penyakit ‘ujub (membangga-banggakan amal ibadah sendiri). Na‘ûdzubillâh.
Seorang dokter mengatakan bahwa “merasa” itu menguatirkan. Seseorang yang merasa diri sehat, kemungkinan bisa terjangkit banyak penyakit, misalnya darah tinggi, kolesterol, asam urat, liver dan lainnya.
Kemungkinan besar kita akan memilih kembali fitrah atau menggabungkan kedua makna yang ada, di mana tetap terdapat makna kembali fitrah, entah apa pun alasannya—apakah karena ikut-ikutan saja atau benar-benar dari lubuk sanubari.
Apa pun argumentasi kita, sah-sah saja jika kita berkata bahwa kita telah kembali kepada fitrah. Namun, jangan kita lupakan bahwa ucapan ini harus dipertanyakan atau diuji. Pertanyaan berikutnya adalah, “Apakah kita yakin bahwa puasa, tarawih, tadarrus dan segenap ibadah kita lainnya di bulan Ramadhan diterima Allah SWT?”
Kita memang bertabiat sering GR (Gede Rasa). Ketika ada pembahasan tentang kebaikan, entah dari guru, ustadz, kyai, ajengan, buya, tuan guru, syaikh, ulama, da‘i atau buku, kita merasa sudah melakukan itu semua.
Kita merasa sudah menjalankan puasa Ramadhan dengan sangat baik, bahkan khatam Al-Qur’an minimal sekali dalam bulan itu.
Kita merasa sudah melaksanakan shalat-shalat sunnah, yaitu Dhuha, Rawatib (Qabliyah dan Ba‘diyah), Ba‘dal Wudhu, Tahajud, Tahiyyatul Masjid, Tasbih, Witir dan shalat Mutlak yang tak ada batasan jumlah rakaatnya.
Kita merasa sudah banyak berdzikir menyebut asma Allah, juga membaca shalawat untuk junjungan kita Rasulullah Muhammad saw.
Kita merasa mendapatkan lailatul qadar karena kita senantiasa tarawih dan tidak lupa i‘tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Sebaliknya, tatkala ketidakbaikan diceritakan, serta merta kita berkata pada diri sendiri bahwa pelakunya bukanlah diri kita. Malah, kita sibuk mencari siapa yang melakukan ketidakbaikan itu. Sungguh, kita memang mudah terjangkit penyakit ‘ujub (membangga-banggakan amal ibadah sendiri). Na‘ûdzubillâh.
Seorang dokter mengatakan bahwa “merasa” itu menguatirkan. Seseorang yang merasa diri sehat, kemungkinan bisa terjangkit banyak penyakit, misalnya darah tinggi, kolesterol, asam urat, liver dan lainnya.
Begitu pula jika kita merasa diri baik dan benar, bisa jadi di dalam diri kita justru banyak sekali pintu-pintu yang sudah dimasuki dan dihuni oleh setan dan kawan-kawannya.
Seorang ulama menasihatkan, “Kita sering menggunakan ruas-ruas jemari tangan, tasbih atau sejenisnya, untuk menghitung berapa banyak dzikir yang sudah kita lafalkan. Pernahkah dengan alat yang sama, kita menghitung berapa banyak kata-kata tidak berguna, tidak santun, kasar apalagi sia-sia yang telah kita ucapkan?”
Mungkin kita bertanya, “Jika kita tidak diperbolehkan merasa semua ibadah kita diterima, apakah kita harus merasa segala ibadah kita ditolak? Bukankah hal ini akan membuat kita malas beribadah bahkan bisa menjurus kepada keputus-asaan?”
Kita juga tidak diperkenankan merasa semua ibadah kita tidak diterima dan segala dosa kita tidak diampuni. Yang harus dimiliki adalah rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.
Abu Ali ar-Rudzabari menganalogikan rajâ’ dan khawf bagaikan dua sayap burung. Apabila dua sayap itu sama (seimbang), maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna (baik).
Tentang keseimbangan ini, diriwayatkan bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. pernah memberi nasihat kepada salah satu putera beliau,
Seorang ulama menasihatkan, “Kita sering menggunakan ruas-ruas jemari tangan, tasbih atau sejenisnya, untuk menghitung berapa banyak dzikir yang sudah kita lafalkan. Pernahkah dengan alat yang sama, kita menghitung berapa banyak kata-kata tidak berguna, tidak santun, kasar apalagi sia-sia yang telah kita ucapkan?”
Mungkin kita bertanya, “Jika kita tidak diperbolehkan merasa semua ibadah kita diterima, apakah kita harus merasa segala ibadah kita ditolak? Bukankah hal ini akan membuat kita malas beribadah bahkan bisa menjurus kepada keputus-asaan?”
Kita juga tidak diperkenankan merasa semua ibadah kita tidak diterima dan segala dosa kita tidak diampuni. Yang harus dimiliki adalah rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.
Abu Ali ar-Rudzabari menganalogikan rajâ’ dan khawf bagaikan dua sayap burung. Apabila dua sayap itu sama (seimbang), maka burung itu akan seimbang dan terbang dengan sempurna (baik).
Tentang keseimbangan ini, diriwayatkan bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. pernah memberi nasihat kepada salah satu putera beliau,
“Wahai anakku, takutlah kepada Allah, dengan menganggap bahwa Allah tidak akan menerima kebaikanmu walaupun kebaikanmu itu mencapai seluruh kebaikan penghuni bumi.
Berharaplah kepada Allah, dengan menganggap bahwa apabila dosa kamu sebesar dosa seluruh penghuni bumi dan memohon ampunan dari Allah, maka Allah akan mengampuninya.”
Lalu, apa barometer bahwa puasa kita diterima Allah? Ukuran yang pasti hanya Allah Yang Maha Tahu. Namun, salah satu hal yang bisa kita jadikan rujukan adalah keadaan kita kembali seperti bayi lagi.
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan ke-9 menurut kalender Hijriyah. Sebagaimana kehamilan, maka setelah melewati bulan ke-9 sang jabang bayi akan lahir. Oleh karena itu, setelah Ramadhan, kita harus mengupayakan diri seperti bayi lagi, sebagaimana sebagaimana tercantum dalam sebuah penggalan hadits :
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ احْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Maka siapa berpuasa dan qiyam Ramadhan karena iman dan semata-mata karena Allah, maka ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR Ahmad)
Apa pula parameter yang bisa kita jadikan ukuran bahwa kita kembali seperti bayi? Seorang Ibu Nyai menjelaskannya secara sederhana sekali, tidak perlu banyak atribut, aksioma maupun algoritma. Salah satu ciri utama yaitu, “Jika kita seperti bayi, maka apa pun yang kita ucapkan membuat orang lain bahagia mendengarnya.”
Tidakkah kita lihat bahwa apa pun celoteh bayi akan membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum, ceria, gemes dan bahagia? Sudahkah kita seperti ini?
Apa pula parameter yang bisa kita jadikan ukuran bahwa kita kembali seperti bayi? Seorang Ibu Nyai menjelaskannya secara sederhana sekali, tidak perlu banyak atribut, aksioma maupun algoritma. Salah satu ciri utama yaitu, “Jika kita seperti bayi, maka apa pun yang kita ucapkan membuat orang lain bahagia mendengarnya.”
Tidakkah kita lihat bahwa apa pun celoteh bayi akan membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum, ceria, gemes dan bahagia? Sudahkah kita seperti ini?
Daftar Pustaka :
- Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
- Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
- Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy
Tulisan ini lanjutan dari: Idul Fitri, Kembali Fith-rah ataukah Kembali Fith-run? (1 of 2)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
Assalamu'alaikum pak.....boleh tidak saya mencantumkan posting bapak yang ini diblog saya, tentunya dengan mencantumkan alamat blog bapak sebagai domain resminya......terima kasih atas jawabannya....wassalamu'alaikum....
ReplyDeletewa'alaykumus salam wr. wb, saudaraku surya yg baik...
ReplyDeletemonggo2 saja... semoga bisa jd ilmu yg bermanfaat & Multi Level Pahala (MLP) bg kita semua, amin...
salm kenal..pak saya pemain baru di dunia blogger..saya mohon kunjungi blog saya dan mohon dikritik..saya tunggu...
ReplyDeletesaudaraku pincurantujuah yg baik,
ReplyDeletesaya sdh mengunjungi blog sampean... tulisan sampean runtut & enak dibaca... saya jg sdh menulis sebuah saran u/ sampean...
mari kita tetap menebar kebaikan dengan cara-cara yg baik pula...
begitu dulu, saudaraku... semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin...
Terima kasih mas Faisol atas kunjungannya.
ReplyDeleteSemoga artikel kita bisa saling mengisi.
Salam
Ridwan Sanjaya
http://blogridwan.sanjaya.org
wew. AKu juga merasa kalo setelah lebaran kita kembali ke fith-run. Hehhee. Ya kadang ada dokter yang bilang. Orang kalo berpuasa itu bertambah sehat, tapi kalo abis lebaran itu, penyakit bermunculan. Terimakasih atas kunjungannya. Semoga hubungan silaturahmi kita terus berlanjut. AMin
ReplyDeleteSebuah uraian yang menyentuh. Semoga kita bisa meraup berkah ramadhan.
ReplyDeleteafwan.. mas, baru bisa berkunjung balik.. :D
ReplyDeleteya.. semoga hubungan silaturrahmi ini tetap berlanjut.
oiya, mohon bimbingan juga nih.. gimana tuh, pasang google search engine, n tulisan berjalan (marquee)
minta kritikan dan masukan juga dunk ;), syukron.
salam.
Nailunni'am
www.neilhoja.blogspot.com
Syukron saya ucapkan karena sudah diijinkan untuk memposting tulisan Bapak di Blog saya, tapi sebelumnya saya minta maaf karena judulnya saya ganti menjadi "Idul Fitri Kembali Suci atau Kembali makan" semoga anda tidak tersinggung karena niat saya hanya untuk memancing orang membaca dengan judul tersebut.
ReplyDeleteKalo diijinkan boleh tidak saya minta alamat email bapak?
saudaraku surya yg baik,
ReplyDeletegpp, saudaraku...
u/ email, ada di profile blog saya, yaitu : achmadfaisol@gmail.com
saudaraku neilhoja yg baik,
u/ membuat searh engine customized, buka link :
https://www.google.com/adsense/login/en_US/
-> buat account, lalu ikuti petunjuk yg ada...
u/ membuat tulisan berjalan :
tambahkan saja Gadget "HTML/Javascript"...
tulis sbb :
<marquee> <h2> <font color="magenta">Selamat Idul Fitri 1429H...</font> </h2> </marquee>
catatan : <marquee> -> yg membuat tulisan berjalan dr kanan ke kiri...
bila ingin dr kiri ke kanan : <marquee direction=right>
begitu dulu, saudaraku... semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua
umat Islam, amin...
bagus juga nih postingannya
ReplyDeletejelas kalo menurut saya kembali ke fitrah dan kembali makan
hahahah~~
makan opor juga penting lho
tp kembali ke fitrah juga lebih penting lagi
hhehehe
Kalau saya kembali fit setelah sebulan lamanya berpuasa.
ReplyDeleteamin..
ReplyDeleteassalamu'alaikum pak Faisol dan semuanya.
sebelumnya terimakasih sudah mengunjungi blog saya.
komentar mengenai postingan di atas, setuju sekali. Antara takut dengan harap perlu seimbang agar timbul husnudzon kepada Allah.
Dengan puasa ramadhan yang kemarin sungguh jauh dari sempurna. Namun, hanya kehendak Allah lah untuk melipatgandakan kebaikan yang kita kerjakan.
Semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang diampuni dosanya oleh Allah, saudara-saudariku semuanya..
sekian.
alhamdulillah... terima kasih mas faisol posting-annya. singkat namun mengena. Semoga Allah memberikan pahala atas tulisan Mas Faisol yang bermanfaat ini.. amiin.
ReplyDeletepuisiX keren??????????tp Q g bsa baca huruf arabX?????????mang Bwt ndiri ta?????????????
ReplyDeleteluar biasa..postinganya mampu menyejukkan hati..insya Allah kalau kita merenungi dengan hatii yang bersih,akan menjadi orang-orang yang ikhlas
ReplyDeleteWassalam
syukron mas... wuih, sudah dipraktekin... ;)
ReplyDelete