Mencari Data di Blog Ini :

Thursday, August 14, 2008

Bagaimana Menjadi Khatib Efektif? (2of 2)

Pada pembahasan sebelumnya, yaitu "Bagaimana Menjadi Khatib Efektif? (1 of 2)" telah dikemukakan nasihat Dr. ‘Aidh al-Qarni tentang bagaimana menjadi khatib yang bagus. Dengannya, dapat diraih keberhasilan dalam berdakwah. Dakwah adalah serangkaian aktivitas metodologis (manhaji) untuk mengubah dari satu tahapan kondisi ke tahapan kondisi berikutnya. Dengan demikian, aktivitas dakwah Islamiyah adalah :
  • Merubah kondisi kebodohan maknawi kepada pengertian yang jelas dan terang tentang Islam
  • Merubah pengertian kepada pola pikir (fikrah)
  • Merubah pola pikir menjadi aktivitas (harakah)
  • Merubah aktivitas menjadi keberhasilan (natîjah)
  • Merubah keberhasilan menjadi tujuan (ghâyah)
  • Merubah tujuan menjadi ridha Allah (mardhâtillâh)

Seorang khatib, da‘i atau muballigh harus mampu menampilkan ajaran Islam dengan cara yang mengesankan. Bukankah telah dipahami bersama bahwa kita harus berbicara (berkhutbah) kepada orang sesuai dengan keadaan orang itu, baik situasi, kondisi, pendidikan, latar belakang dan pola pikirnya?

خَاطِبِ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ

Serulah (bicaralah kepada) manusia sesuai dengan akal (kapasitas atau kemampuan) mereka.


Oleh karena itu khatib harus mengetahui dan menguasai aneka gaya dan langgam pidato. Berikut ini macam-macam langgam pidato yang banyak dipelajari dan dipraktekkan oleh para orator :

  • Langgam Agama
    Suara kadang menaik, kemudian menurun dengan ucapan lambat. Nada naik untuk penekanan sebuah materi, sedangkan nada turun dengan tempo agak lambat bertujuan supaya pendengar merenungkan apa yang sedang disampaikan.
  • Langgam Agitasi
    Materi disampaikan secara agresif dan eksplosif. Nada yang digunakan adalah nada-nada tinggi. Jiwa massa dikuasai dan digiring ke arah tujuan tertentu. Biasanya untuk membangkitkan semangat dan mengobarkan nasionalisme atau keagamaan.
  • Langgam Konservatif
    Langgam ini paling tenang dan bebas, seperti orang bicara. Biasanya digunakan ketika menceritakan sebuah peristiwa dan terjadi dialog antar pelaku di dalam cerita.
  • Langgam Didaktik
    Langgam ini bersifat mendidik pendengar, seperti orang tua menasihati anak, guru mengajar murid atau dosen membimbing mahasiswa. Penggunaan langgam ini mensyaratkan khatib lebih tua dari pendengar atau lebih berpengalaman sehingga benar-benar dihormati dan didengar nasihatnya. Nada bicara tenang (cool, calm dan confident). Bila orator kurang disegani, penggunaan langgam ini akan membosankan.
  • Langgam Sentimentil
    Mengemukakan persolan dengan memakai bahan-bahan yang dapat mencetuskan sentimen (membakar hati setiap pendengarnya). Digunakan untuk sebuah sindiran keras, bila sindiran halus ternyata tidak berhasil. Sindiran bisa menggunakan sebuah tokoh dari kisah yang pernah terjadi atau penokohan sebuah watak/karakter.
  • Langgam Teater
    Langgam berpidato yang penuh dengan gaya dan mimik. Intonasi, tempo dan nada bicara seperti pemain teater. Biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu secara hiperbolik.
  • Langgam Statistik
    Digunakan bila mengemukakan sesuatu yang mengandung angka-angka atau statistik hasil penelitian. Langgam ini sangat cocok bila para pendengar adalah cerdik cendekia, yang lebih mengutamakan isi daripada bungkus. Biasanya para pendengar berusia agak lanjut.

Langgam-langgam di atas umumnya digunakan secara berkelompok (gabungan), tergantung situasi dan kondisi. Khatib harus meramu dan memasak dengan baik, sehingga ciri khas ditemukan dan pidato menjadi menarik, tidak membosankan. Dengan demikian, tujuan dakwah bisa dicapai lebih cepat dan lebih baik. Bahkan diharapkan tercipta langgam-langgam baru hasil kreatifitas para khatib atau da‘i.

Ketika penulis mengikuti Training Khuthaba' yang diselenggarakan oleh Yayasan Koordinasi Masjid Surabaya pada tanggal 15 Juni 2008, salah seorang nara sumber, Prof. H. Moh. Ali Aziz—Guru Besar Ilmu Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya; beliau juga salah seorang ustadz yang mengasuh penulis ketika mengaji di pesantren—memberikan tips-tips praktis dalam berkhutbah, yaitu :

  • Tetapkan waktu khutbah dan tepati, misalnya 15-20 menit.
  • Pada saat khutbah I, setelah pembukaan dengan bahasa Arab selesai, tidak perlu lagi mengulang puji syukur ke hadirat Allah SWT serta shalawat kepada Nabi saw. dalam bahasa Indonesia. Ketika memulai penyampaian dalam bahasa Indonesia, langsung saja membahas materi khutbah.
  • Jangan mengulang-ulang materi khutbah yang sedang trend. Misal sedang saatnya penerimaan siswa/mahasiswa baru. Jangan sampai semua khatib membahas tentang bagaimana memilih sekolah yang baik untuk anak. Hal ini membuat jamaah jenuh karena dalam beberapa Jum'at, setiap khatib mengulas hal yang sama.
  • Pada khutbah II tidak perlu membahas apa pun termasuk menyimpulkan isi khutbah I karena jamaah sudah bisa menyimpulkan sendiri materi khutbah yang telah disampaikan. Selain itu, juga agar waktu khutbah tidak terlalu lama mengingat bervariasinya pekerjaan atau kesibukan jamaah. Khutbah II cukup dalam bahasa Arab sampai dengan doa.

Selain mengetahui teknik berpidato yang baik, kaidah dakwah juga harus dimengerti, yaitu :

  • Al-Qudwah qabla da‘wah (memberikan teladan yang baik sebelum berdakwah)
  • Ta’lîf qabla ta‘rîf (memikat hati dan menumbuhkan rasa simpati sebelum mengenalkan misi)
  • Ta‘rîf qabla taklîf (memberikan pengertian sebelum memberi beban)
  • Tadarruj fî taklîf (bertahap dalam memberikan beban atau amal)
  • Al-ushûl qabla furû‘ (mendahulukan yang pokok/prinsip, baru kemudian disampaikan cabang atau perbedaan-perbedaan)
  • At-targhîb qabla tarhîb (memberi kabar gembira sebelum ancaman)
  • At-taysir lâ ta‘sîr (mempermudah, tidak mempersulit)
  • Al-awwaliyyât (ada skala prioritas)


Dengan semakin majunya pendidikan masyarakat, maka proses dakwah tidak sekadar menawarkan suatu metode klasik melalui pahala dan ancaman atau surga dan neraka; tetapi lebih dari itu, membutuhkan metodologi perencanaan komunikasi dan jaringan misi dakwah, dengan melihat atau menimbang semua indikator sosiokultural sasaran dakwah. Pesan-pesan dakwah tidak hanya ditujukan agar dapat disampaikan dan diterima oleh khalayak, tetapi hendaknya pesan tersebut mampu dimengerti, dihayati dan diamalkan. Bukankah ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak berbuah?

Timbul sebuah pertanyaan, “Apakah sudah cukup bila sebagai khatib, kita menguasai teknik retorika dan dakwah? Bagaimana supaya pesan/nasihat agama yang kita sampaikan tidak hanya menjadi ilmu bagi para jamaah? Bagaimana caranya agar nasihat tersebut tidak sekadar masuk telinga yang satu dan keluar dari telinga pasangannya?”

Syaikh Ibnu Athaillah mengingatkan, “Setiap kalimat yang keluar dari lisan menunjukkan isi hati orang yang menuturkannya.” Pesan yang keluar dari bibir seorang khatib harus bersumber dari lubuk hati.

Lisan adalah penerjemah kata hati. Setiap kalimat yang diucapkan oleh seorang khatib atau da‘i harus keluar dari hatinya sendiri dengan hidayah Allah. Dengannya, maka yang mendengar akan menerima dengan hati nuraninya. Manusia ketika mendengar nasihat dan tutur kata seseorang, tidak semata-mata menginginkan ilmu yang akan disampaikan, akan tetapi lebih dari sekadar ilmu, yaitu sentuhan dan getaran ruhani yang mampu menggerakkan dan menyadarkan jiwa, perilaku dan pikiran.

Tutur kata yang dikeluarkan oleh hati akan masuk dan diterima oleh hati pula. Sebaliknya, ucapan yang disampaikan bukan dari cahaya hati, maka ucapan seperti itu akan sampai di telinga belaka, tidak mengendap masuk ke dalam hati.

Seseorang bertanya kepada Muhammad bin Wasi‘, “Mengapa ucapan muballigh, banyak yang tidak dirasakan oleh kalbu umat?” Ia menjawab, “Mungkin ucapan yang keluar hanya dari kerongkongan dan mulut, tidak keluar dari nurani serta tidak tulus.”

Jika tutur kata hanya sekadar daya pikir dan imajinasi belaka, maka itu tetap menjadi susunan kata, tidak memberi makna bagi jiwa dan tidak menyentuh hati. Kalimat yang keluar adalah kalimat gersang.

“Tutur kata itu ibarat hidangan bagi pendengar. Kalian tidak mendapatkan sesuatu pun kecuali apa yang kalian makan,” nasihat Ibnu Athaillah lebih lanjut.

Berkenaan dengan upaya menjadi khatib yang baik, bagaimana Rasulullah mencontohkan cara berkhutbah? Dalam kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” terdapat sebuah hadits ke-475 yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdulllah. Jabir berkata, “Adalah Rasulullah saw. apabila berkhutbah, merah kedua matanya dan tinggi suaranya dan sangat marahnya, hingga seolah-olah ia sebagai pengancam tentara yang berseru, ‘(Musuh) akan mendatangi kamu pagi-pagi dan petang-petang’.”

Daftar Pustaka :

  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm”
  • Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
  • Syaiful Ulum Nawawi, “Retorika”, Makalah, 1990
  • Syaiful Ulum Nawawi, “Retorika dan Pengembangan Dakwah Islam”, Makalah, September 1997

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

4 comments:

  1. Subhanalah, tulisan ini sangat-sangat membantu dan menambah wawasan. Jazakallah atas comment ke web site ana sehingga ana bisa menengok tulisan ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Subhanalah, tulisan ini sangat-sangat bagus

      Delete
  2. saudaraku Agus LukmanulHakim yg baik,

    jazaakallaah atas kunjungan sampean... semoga ilmu ini bs menjadi ilmu yg bermanfaat & Multi Level Pahala (MLP) bg kita semua, amin...

    ReplyDelete