Pada tulisan terdahulu, kita telah membahas metode dzikir dengan pikiran (taffakur). Sekarang kita akan mengulas teknik berdzikir yang kedua, yaitu :
b. Dzikir dengan telinga
Dzikir dengan telinga merupakan salah satu bentuk dzikir dengan perbuatan (af‘âl). Dzikir dengan telinga artinya kita mendengarkan kalimat-kalimat baik atau nasihat-nasihat bijak yang mengingatkan kita kepada Allah. Saat ini banyak sekali da‘i dengan metode masing-masing. Mungkin tidak semua mengena dengan kondisi kita. Oleh karena itu mendengarkan berbagai nasihat dari banyak ulama akan sangat membantu. Hal ini bisa dimaklumi karena setiap juru dakwah mempunyai teknik pidato (retorika) masing-masing. Ada yang menggunakan Langgam Agama, Langgam Agitasi, Langgam Konservatif, Langgam Didaktik, Langgam Sentimentil, Langgam Teater, Langgam Statistik atau gabungan beberapa langgam. Begitu pula pemilihan kata, intonasi, tempo dan ciri khas suara, setiap da‘i berbeda antara satu dengan lainnya.
Mendengarkan seorang motivator dan inspirator yang notabene bukan da‘i juga diperbolehkan, selama apa yang disampaikan adalah kebaikan dan tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam. Sama halnya dengan dzikir, hal ini harus dilakukan terus-menerus secara istiqamah. Menurut seorang motivator, nasihat-nasihat bijak ibarat mandi. Setelah mendengarkan nasihat, maka orang akan tenang dan bersemangat seperti habis mandi, badan segar-bugar dan pikiran pun penuh inspirasi. Namun, setelah melakukan aktivitas, maka badan terasa lelah, tubuh dan wajah kotor serta pikiran ruwet. Karena itu harus mandi lagi untuk mengembalikan ke kondisi semula.
Dzikir dengan telinga bisa juga dilakukan dengan mendengarkan nasyid, shalawat atau mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dibacakan oleh seorang qari’. Dengan ilmunya, qari’ akan membaca dengan penuh penghayatan (tadabbur). Lagu-lagu qira’ah sudah pasti dikuasainya dengan baik, misalnya bayâtî, bayâtî sûrî, bayâtî qarâr, husayni, rasta ‘alâ an-nawâ, nahawân, shabâ, sîkâ, hijâz dan lagu-lagu lainnya. Walaupun kita belum mengerti arti ayat-ayat yang dibaca, cara ini tetap akan membuat pikiran dan jiwa kita tenang. Apalagi bila kita sudah memahaminya, sehingga bisa ikut larut dalam penghayatan sang qari’.
Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik dapat menghibur perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah, melunakkan hati yang keras serta mendatangkan petunjuk. Itulah yang dimaksudkan dengan rahmat Allah, yang diberikan kepada orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik.
وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ ُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّـكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah (baik-baik) dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat. (QS al-A‘râf [7] : 204)
Demikian besar mukjizat Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi, sehingga takkan bosan orang yang membaca dan mendengarkannya. Semakin sering orang membaca dan mendengarkannya, semakin terpikat hatinya kepada Al-Qur’an. Bila Al-Qur’an dibaca dengan lidah yang fasih, dengan suara yang baik juga merdu, akan lebih memberi pengaruh kepada jiwa orang yang mendengarkan dan bertambah pula imannya.
Dr. Masaru Emoto dari Jepang sudah membuktikan secara ilmiah bahwa air yang dibacakan doa atau kalimat baik akan membentuk struktur molekul yang sangat indah. Bukankah 70% tubuh kita terdiri dari air? Bukankah itu berarti ketika kita mendengarkan wahyu Ilahi dibacakan, maka air di tubuh kita akan membentuk susunan yang teratur dan sempurna? Subhânallâh.
‘Aidh al-Qarni menuturkan, “Riuhnya permasalahan hidup, kegelisahan orang-orang sekitar, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh orang lain sangat potensial untuk menggoyahkan jiwa, menguras kekuatan fisik dan mencabik-cabik ketenangan hati. Dalam suasana seperti itu, ketenangan hanya didapatkan dalam Kitab Allah dan berdzikir kepada-Nya.”
Sambil rebahan di atas tempat tidur, kita bisa mendengarkan kalâm Ilahi dibacakan. Jika qari’ membaca ayat-ayat yang menceritakan kegembiraan atau surga, maka irama dan suaranya akan membuat imajinasi kita terbang ke tempat-tempat sejuk—ke sebuah danau bening di tengah hutan yang penuh buah-buahan. Terkadang ke suasana senja yang indah, merah merona di tepi pantai yang menakjubkan. Bahkan bisa membawa kita ke dunia memesona di dalam laut, dengan ikan-ikan hias dan bebatuan yang seperti permata-permata di surga.
Suara qari’ yang merdu akan mengelus-elus saraf-saraf kita, terasa seperti hawa dingin turun dari langit, menetes deras ke dalam ubun-ubun kepala, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Apalagi jika kita mendengarkannya di saat malam. Di keheningan malam, suara syahdu yang melafal terasa seperti memecah sunyi, membelah dan mengiris hati. Membahana dalam ruas-ruas malam, berpadu dengan suara-suara malam, lindap dalam kesunyian. Lantunan ayat-ayat suci menelusup pada rongga-rongga telinga kita. Suara yang menyentuh gendang telinga itu terasa lembut bak kain sutra—mendayu merdu—seperti air yang mengalir dari sebuah muara hening, menjadikan gulana jiwa tertunduk, tanpa kata.
Tatkala ayat-ayat yang dibaca menceritakan penderitaan, penyesalan atau neraka, maka qari’ akan membacanya dengan irama yang menggambarkan penyesalan penuh, juga kesedihan karena takut tidak mendapat karunia dari Allah. Nada-nada itu akan memandikan hati dan mata kita dengan air mata yang penuh harap akan ampunan dan ridha-Nya. Membuat hati kita bergetar bagai terguncang badai, demi mendengar asma Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).
“Ya Allah, betapa malunya hamba. Betapa hamba telah menjadi manusia yang lalai dari tanggung jawab sebagai hamba-Mu. Hamba telah begitu jauh menapak dalam gelimang naif, meniti nikmat dalam wajah-wajah dosa. Yâ Hayyu yâ Qayyûm Lâ ilâha illâ Anta, Subhânaka innî kuntu minazh zhâlimîn. Ya Allah, jika engkau tidak mengampuni dosa-dosa hamba, maka hamba akan termasuk golongan orang-orang zhalim. Ampunilah dosa-dosa hamba. Terimalah taubat hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat, amin,” getir kita dalam hati.
Rasulullah sangat gemar mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan, bahwa Abdullah Ibnu Mas‘ud menceritakan sebagai berikut : Rasulullah berkata kepadaku,
“Wahai Ibnu Mas‘ud, bacakanlah Al-Qur’an untukku!”
Lalu aku menjawab,
“Apakah aku (pantas) membacakan Al-Qur’an untukmu, wahai Rasulullah, padahal Al-Qur’an itu diturunkan Tuhan kepadamu?”
“Apakah aku (pantas) membacakan Al-Qur’an untukmu, wahai Rasulullah, padahal Al-Qur’an itu diturunkan Tuhan kepadamu?”
“Aku senang mendengarkan bacaan Al-Qur’an itu dari orang lain.”
Kemudian Ibnu Mas‘ud dengan khusyu‘ membaca beberapa ayat dari QS an-Nisâ’ [4]. Bacaan Ibnu Mas‘ud itu sampai pada ayat ke-41 yang berbunyi :
فَكَيْفَ إِذَا جِئْـنَا مِنْ كُلِّ أُمَّـةٍ بِشَـهِيْدٍ وَجِئْـنَا بِكَ عَلىٰ هٰـۤؤُلآءِ شَهِيـْدًا
“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul dan nabi) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatankan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu).” (QS an-Nisâ’ [4] : 41)
Ayat itu sangat mengharukan hati Rasulullah, lalu beliau berkata,
“Cukuplah sekian saja, wahai Ibnu Mas‘ud!”
“Cukuplah sekian saja, wahai Ibnu Mas‘ud!”
Ibnu Mas‘ud melihat Rasulullah meneteskan air mata serta menundukkan kepala.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
(QS al-Anfâl [8] : 2)
KH. Abdurrahman Navis, Lc—Pengasuh Pesantren Nuruh Huda, Jl. Sencaki 64 Surabaya— menjelaskan bahwa Imam Ghazali menerangkan dengan detail tentang “hati”. Kata “hati” memang bermakna dua, yaitu majazi (metafora) dan keseluruhan yang ada di dalam dada (hati, nurani, ruhani, dan sirri). Namun, secara mudah, bila mau diterapkan dalam tataran fisik, “gemetarlah hati” berarti seluruh tubuh gemetar, termasuk tangan dan kaki.
Dari penjelasan beliau, penulis menyimpulkan bahwa gemetarnya seluruh tubuh berarti termasuk di dalamnya adalah berdegupnya jantung, yang dalam bahasa Arab disebut qalb. Wallâhu a‘lam. Bukankah jantung kita akan berdetak dengan lebih kencang tatkala orang yang kita hormati apalagi kita cintai disebut namanya? Apalagi yang disebut adalah Allah, Dzat Yang Menciptakan kita, Sang Kekasih Sejati. Bukankah kita diajarkan untuk mencintai Allah dan rasul-Nya?
Imam al-Ghazali memberi nasihat, “Yang berhak dicintai hanyalah Allah. Semua kecintaan kembali kepada-Nya.” Mencintai Allah tidak seperti mencintai manusia. Mencintai manusia terdapat prinsip memberi dan menerima (give and receive). Itulah jalan yang ada di dalam jalan hidup manusia. Kita mencintai dan menerima cinta seseorang berarti bersedia memberi kepadanya, karena ia mencintai kita. Demikian pula sebaliknya. Hal ini berbeda dengan mencintai Allah. Kita mencintai Allah, karena Allah patut dicintai.
Allah adalah Kekasih Sejati yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya walaupun kita tidak meminta.
Allah adalah Kekasih Sejati yang tak pernah memutuskan cinta-Nya kepada kita, justru kitalah yang melakukannya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang tak pernah pergi meninggalkan kita, malah kita sendiri yang meninggalkan-Nya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang senantiasa menunggu kita untuk kembali pada-Nya, walaupun kita telah pergi entah kemana.
Allah adalah Kekasih Sejati yang mendekat kepada kita, melebihi pendekatan kita pada-Nya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang selalu memaafkan semua kesalahan yang telah kita lakukan, meskipun itu kesalahan besar, asalkan tidak menyekutukan-Nya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang tetap mengampuni seorang anak manusia walaupun telah menduakan-Nya, asalkan bertaubat dan kembali ke jalan-Nya sebelum nyawa sampai di tenggorokan.
Bagaimana mungkin seseorang mencintai dirinya tapi dia tidak mencintai Tuhannya yang telah memberikan segenap karunia di kehidupan ini? Diumpamakan seperti seseorang yang terkena terik matahari, lalu ia bernaung di bawah pohon yang rindang. Kesenangannya pada naungan itu secara otomatis akan membawanya kepada kesenangan akan pohon, karena pohonlah yang memberikan naungan kepadanya.
Setiap makhluk hidup berkaitan dengan kekuasaan Allah, sebagaimana naungan berkaitan dengan pohon dan cahaya berkaitan dengan matahari. Maka sangat tidak masuk akal apabila kita mencintai semua anugerah yang kita nikmati, tetapi tidak mencintai Dzat yang telah memberikan itu semua.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, “Ibadah mengandung dua dasar, yaitu cinta dan penyembahan. Menyembah berarti merendahkan diri dan tunduk. Siapa mengaku cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa tunduk tapi tidak cinta, juga tidak dikategorikan orang yang menyembah.”
Dengan penjelasan di atas, bukankah dengan berdzikir kepada Allah Yang Maha Pengampun (Al-Ghaffâr), hati kita menjadi tentram?
Daftar Pustaka :
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
- Anam Khoirul Anam, “Dzikir-dizkir Cinta [Novel Inspiratif Penggugah Religiusitas]”, Diva Press, Cetakan XII : Maret 2007
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Habiburrahman El Shirazy, “Ayat-Ayat Cinta [Sebuah Novel Pembangun Jiwa]”, Penerbit Republika, Cetakan XX : April 2007
- Habiburrahman El Shirazy, “Ketika Cinta Bertasbih 1 [Novel Dwilogi Pembangun Jiwa]”, Penerbit Republika, Cetakan ke-3 : Maret 2007
- Kathur Suhardi, “Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah) – Penjabaran Kongkret Iyyâka na‘budu wa-Iyyâka nasta‘în (terjemah Madârij as-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah)”, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan Kedua : Agustus 1999
- Linna Teguh, MBA, “MT GMG HbH”, 2006
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
- Syaiful Ulum Nawawi, “Retorika”, Makalah, 1996
Tulisan ini lanjutan dari : "Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah? (2 of 5)"
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment