Mencari Data di Blog Ini :

Friday, May 25, 2012

Muslim Keturunan “vs” Muslim Pencarian (4 of 4)

c. Rajin Menuntut Ilmu

Belajar tajwid dan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hija’iyah dari mulut atau tenggorokan) agar tidak salah dalam membaca Al-Qur’an serta tidak merubah arti ketika membaca tulisan berbahasa Arab.
Belajar fiqh untuk mengetahui syarat, rukun dan batalnya ibadah sehari-hari.
Belajar sirah/tarikh untuk mengetahui dan mengambil pelajaran dari kehidupan Rasulullah saw, sahabat serta para ulama.
Belajar tafsir untuk memahami kandungan kalam Ilahi demi memperkokoh keimanan dan ketakwaan.
Belajar kedokteran untuk mengetahui betapa Allah menciptakan sistem tubuh kita begitu sempurna, juga untuk menolong sesama karena Allah.
Belajar telekomunikasi untuk mempererat silaturahmi, mendekatkan yang jauh sesuai perintah agama.
Belajar teknologi informasi untuk membuat aplikasi yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan serta penyebaran ajaran agama.
Intinya, ilmu harus membimbing pemiliknya semakin dekat kepada Ilahi. Namun kadangkala kita justru melupakan Sang Pemilik Kehidupan ketika keasyikan bergulat dengan ilmu.
Terkadang, tatkala sedang asyik-asyiknya membuat program, kita sebagai programmer kurang minat membaca Al-Qur’an.
Terkadang, saat sibuk belajar atau mengerjakan tugas, kita justru terlelap kala Subuh menyapa.
Terkadang, kita terbuai oleh praktikum yang sedang dikerjakan hingga shalat Dhuha tertinggalkan.
Terkadang, kita begitu semangat belajar hadits tapi hanya untuk berbantah-bantahan dan berbangga diri jika lawan debat kita kalah dan mengakui kehebatan kita.
Imam Ibnu Katsir menulis di tafsirnya:

وعن ابن مسعود رضي الله عنه، أنه قال: لَيْسَ الْعِلْمُ عَنْ كَثْرَةِ الْحَدِيْثِ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ عَنْ كَثْرَةِ الْخَشْيَةِ.
Dari Sahabat Ibnu Mas’ud ra. sesungguhnya beliau berkata, “Ilmu itu bukan banyaknya meriwayatkan hadits, tetapi ilmu itu banyaknya takut kepada Allah.”

وقال أحمد بن صالح المصري، عن ابن وهب، عن مالك قال: إِنَّ الْعِلْمِ لَيْسَ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَإِنَّمَا الْعِلْمُ نُوْرٌ يَجْعَلُهُ اللهُ فِي الْقَلْبِ.
Berkata Ahmad bin Shalih al-Mishri dari Ibnu Wahab dari Imam Malik, beliau berkata, “Sesungguhnya ilmu itu bukan dari banyaknya meriwayatkan hadits Nabi saw, akan tetapi ia merupakan nur yang Allah jadikan di dalam hati (bercahaya dalam hati).”
Manfaat ilmu harus mendekatkan manusia kepada Allah serta menjauhkannya dari kesombongan.

Daftar Pustaka


Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, May 18, 2012

Muslim Keturunan “vs” Muslim Pencarian (3 of 4)

b. Memperkuat Keimanan

Di kitab “Fathul Bâriy” yang ditulis oleh Imam Ibnu Rajab terdapat penjelasan bahwa dzikir dapat memperkuat keimanan.
قال بن مسعود: اَلذِّكْرُ يَنْبُتُ اْلإِيْمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يَنْبُتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ
Sahabat Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Dzikir menumbuhkan iman di hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.”
Dengan demikian, dzikir dalam bentuk dan kalimat apa pun dapat memperkokoh keimanan. Lantas, apa kalimat dzikir yang paling utama?
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Seutama-utama dzikir adalah (kalimat) Lâ Ilâha Illallâh (Tiada Tuhan selain Allah). (HR Baihaqi, Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Nasa’i dan Tirmidzi)
Sebenarnya setiap hari kita senantiasa mengulang-ulang kalimat tahlil ini, baik berupa kalimat Lâ Ilâha Illallâh secara mandiri maupun terangkum ketika kita membaca syahadat. Bukankah dalam syahadat terkandung kalimat Lâ Ilâha Illallâh?
Mari kita ingat lagi shalat yang kita lakukan. Setiap tahiyyat kita pasti membaca syahadat. Dengan demikian, untuk shalat fardhu saja kita telah membaca 9 (sembilan) kali syahadat dengan rincian 2x waktu Zhuhur, 2x saat Ashar, 2x ketika Maghrib, 2x tatkala Isya’ dan 1x Subuh.
Perlu kita perhatikan juga bahwa waktu shalat fardhu berbeda-beda. Ini berarti keimanan kita terjaga dalam 24 jam. Subhânallâh. Hal ini termasuk salah satu hikmah mengapa shalat tidak dikerjakan dalam satu waktu saja langsung 17 rakaat.
Apalagi bila kita juga senantiasa mengerjakan shalat-shalat nafilah, misalnya shalat Dhuha, shalat Tahiyyatul Masjid, shalat rawatib (Qabliyah/Ba’diyah), shalat Tahajud, shalat Tasbih, shalat Hajat dan sebagainya. Otomatis, keimanan kita terjaga setiap saat.
Kesimpulannya, segala bentuk ketaatan kepada Allah dapat menumbuhkan dan menambah keimanan kita. Demikian uraian di Shahih Ibnu Hibban. Oleh karena itu, senantiasa beribadah—ibadah dalam bentuk apa pun—adalah solusi untuk memperkuat dan menambah keimanan.
أَنَّ اْلإِيْمَانَ يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ
 Sesungguhnya iman bertambah denagn ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
Ada sebuah pertanyaan, “Apa sebenarnya makna لا إله إلا الله yang sering diterjemahkan ‘Tiada Tuhan selain Allah’ itu?
Semasa pelajar, ketika penulis beserta santri lainnya mengaji kitab “Safînatun Najâh” karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami—kitab dasar untuk belajar fiqh Madzhab Syafi’i, biasanya untuk anak-anak SD/MI kelas IV/V—Ust. Damanhuri, guru penulis, menjelaskan sebagai berikut:
(لا إله) أَيْ لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ (إلا الله)
Dengan demikian makna لا إله إلا الله sesungguhnya adalah “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang berhak Disembah selain Allah.”
Di ebook “Sifat Dua Puluh” Habib ‘Utsman bin ‘Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya juga menerangkan hal yang sama ketika membahas makna syahadat pertama (kalimat tauhid).
(لا إله) لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ فِي الْوُجُوْدِ (إلا الله) إلا اللهُ الْمَعْبُوْدُ بِحَقٍّ
Bagaimana penjelasannya?
Berikut ini penjelasan detail pemahaman di atas. Uraian ini penulis ambil dari sebuah buku karya Prof. M. Quraish Shihab yang berjudul “Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an” bahasan pertama tentang asma “Allâh”.
Kata إله (Ilâh) mempunyai makna yang tergantung penggunaannya. Ada kalanya diartikan “Pengatur serta penguasa alam raya, yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya segala sesuatu”. Berikut ini contoh ayat yang menggunakan makna tersebut:

مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Ilâh (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Ilâh beserta-Nya, masing-masing Ilâh itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari Ilâh-Ilâh itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. (QS al-Mu’minûn [23]: 91)
Jika di ayat tersebut kata Ilâh diartikan dengan “Yang disembah” niscaya uraian yang dikehendaki oleh ayat itu akan sangat berbelit-belit, berbeda bila diartikan “Pengatur serta penguasa alam raya, yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya segala sesuatu”.
Arti lain kata Ilâh adalah “Yang disembah”. Kata Ilâh berakar dari kata Ilâhah, Ulûhah dan Ulûhiyyah yang kesemuanya bermakna ibadah atau penyembahan.
Di kamus al-Mu‘jam al-Wasîth dijelaskan bahwa kata Alaha atau Alihayang merupakan kata kerja dasar (fi‘il Mâdhi) kata Ilâhah, Ulûhah dan Ulûhiyyahsinonim dengan kata ‘abada yang berarti beribadah atau menyembah. Ilâh adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan maupun yang diperintahkan agama Islam. Contoh yang tidak dibenarkan misalnya menyembah matahari, bintang, bulan, berhala dan apa pun selain Allah. Adapun yang diperintahkan adalah menyembah Allah SWT.
Selain alasan kebahasaan tersebut, argumentasi arti kata Ilâh adalah “Yang disembah” ditunjang oleh satu qira’ah (bacaan) yang tidak populer (syadz) di QS al-A‘râf [7] ayat 127.

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ
Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Firaun (kepada Firaun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta sesembahan-sesembahanmu?” (QS al-A‘râf [7]: 127)
Di qira’ah yang tidak populer tersebut, kata Âlihataka dibaca Ilâhataka yang berarti ibadah. Dengan demikian Ilâh berarti “Yang disembah” atau “Yang kepada-Nya ibadah tertuju”. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa لا إله إلا الله berarti “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah”.
Timbul pertanyaan, “Jika demikian, berarti penyembah matahari bisa dong mengatakan bahwa matahari adalah Allah, demikian pula penyembah berhala dan lainnya.”
Kalimat “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah” adalah kalimat umum yang sudah jelas maksudnya bahwa hanya Allah yang haq disembah. Kalau mau ditulis secara eksplisit, maka terjemahnya menjadi “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang berhak Disembah selain Allah.” Jadi secara implisit ada kata “dengan haq” yang disisipkan ke dalam kalimat “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah”.
Ada kaidah yang dirumuskan para pakar bahasa yang menyatakan bahwa penyisipan satu kata tidak diperlukan apabila redaksi kalimatnya dapat dipahami secara lurus tanpa penyisipan itu.
Kasus ini sama seperti keadaan kita sehari-hari. Misal kita berkata kepada penjual toko, “Pak, saya mau beli Aqua, Ades atau Club.” Kira-kira, apa yang akan diambilkan oleh penjual toko? Sudah pasti air mineral dengan merek yang kita sebutkan. Jadi, kita tidak perlu secara tersurat berkata, “Pak, saya mau beli air mineral merek Aqua, Ades atau Club”. Hal-hal seperti ini sudah dipahami bersama.
 Dengan demikian pada kalimat لا إله إلا الله ada sisipan antara kata إله dan إلا yang harus tersirat ketika mengucapkannya, yaitu بِحَقٍّ (yang berhak) sehingga maknanya menjadi “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang berhak Disembah selain Allah.” Demikian penjelasannya, wallâhu alam bish-shawâb.

إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيْ
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (QS Thâhâ [20]: 14)

Daftar Pustaka

M. Quraish Shihab, Dr,Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
_______,Tafsir Al-Mishbâh—Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an—Volume 1”, Penerbit Lentera Hati, Edisi BaruCetakan II: Dzulqa’dah 1430/Nopember 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Web site:
http://badaronline.com/artikel/menilik-makna-yang-benar-dari-laa-ilaaha-illallah-dengan-kaidah-bahasa-arab.html, “Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaidah Bahasa Arab”


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

Friday, May 11, 2012

Muslim Keturunan “vs” Muslim Pencarian (2 of 4)

Lantas, apa langkah-langkah menjaga keimanan agar tetap terpatri di dalam dada? Berikut ini penulis uraikan beberapa upaya demi menjaga iman kita.

a. Senantiasa Memohon Hidayah

Kita adalah makhluk lemah yang senantiasa membutuhkan Allah (faqîr ilâ Allâh). Oleh karena itu, sebagai hamba kita selalu bermunajat kepada Sang Khaliq. Agar tetap dalam keimanan, kita diajarkan berdoa agar Allah senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita. Setelah tasyahhud/tahiyyat akhir sebelum salam, misalnya, kita diajarkan berdoa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu. (HR Abu Nu’aim, Abu Ya’la, Ahmad, BukhariAdâbul Mufrad, Hakim, Ibnu Abi Syaibah, Nasa’i, Thabrani dan Tirmidzi)
Begitu pula di setiap rakaat shalat, baik fardhu maupun sunnah. Ketika membaca surah al-Fâtihah, kita senantiasa memohon:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS al-Fâtihah [1]: 6)
Apa yang disebut petunjuk (hidayah)?
Di tafsir Al-Mishbâh Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa petunjuk Allah bermacam-macam sesuai dengan peranan yang diharapkan dari makhluk.
  1. Naluri
Allah SWT menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dialah yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan benih ketika baru saja menetas. Dialah yang memberi hidayah kepada lebah untuk membuat sarang dalam bentuk segi enam karena bentuk tersebut lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya.
Naluri terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apa pun yang berada di luar tubuh pemilik naluri.
Pada saat datang kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang berada di luar diri, manusia membutuhkan petunjuk dan Allah menganugerahkan petunjuk berupa pancaindra.
  1. Pancaindra
Betapa pun tajam dan pekanya kemampuan indra manusia, seringkali hasil yang diperoleh tidak menggambarkan hakikat sebenarnya. Bagaimana pun tajam mata, ia akan melihat tongkat lurus menjadi bengkok di dalam air.
Yang meluruskan kesalahan pancaindra adalah petunjuk Allah ketiga yakni akal.
  1. Akal
Akal mengoordinasikan semua informasi yang diperoleh indra kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang sedikit/banyak dapat berbeda dengan hasil informasi indra.
Walau petunjuk akal sangat penting dan berharga, ternyata ia hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu dan tidak mampu menuntun manusia keluar jangkauan alam fisika.
Akal dapat diibaratkan pelampung. Ia dapat menyelamatkan seseorang yang tak pandai berenang dari kehanyutan di kolam renang atau bahkan di tengah laut yang tenang. Tapi, jka ombak dan gelombang telah membahana atau datang bertubi-tubi seperti gunung, ketika itu yang pandai dan yang tak pandai berenang keadaannya akan sama. Saat itu terjadi, semua tidak hanya butuh pelampung, tapi juga sesuatu yang melebihi pelampung.
Karena itu, manusia memerlukan petunjuk yang melebihi petunjuk akal sekaligus meluruskan kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah yang dimaksud adalah hidayah agama.
  1. Hidayah agama
Ulama membagi hidayah agama menjadi dua petunjuk, yaitu:
·         Petunjuk menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Kata hidayah yang pelakunya manusia adalah hidayah dalam bentuk ini. Cukup banyak ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna ini.
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS asy-Syûrâ [42]: 52)
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk. (QS Fushhilat [41]: 17)
·   Petunjuk serta kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT.
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (QS al-Qashash [28]: 56)
Ada sebuah pertanyaan, “Mengapa di (QS al-Fâtihah [1]: 6) tanpa kata إِلَى berbeda dengan (QS asy-Syûrâ [42]: 52) yang terdapat kata إِلَى sebelum صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ? Bukankah keduanya berbicara tentang hidayah?”
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat lagi kedua ayat tersebut:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS al-Fâtihah [1]: 6)
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS asy-Syûrâ [42]: 52)
Di Tafsir Al-Mishbâh diuraikan sebagai berikut:
·         Bila disertai kata إِلَى (menuju/kepada), itu mengandung makna bahwa yang diberi petunjuk belum berada di jalan yang benar. Bila tidak menggunakan kata إِلَى, ini mengisyaratkan bahwa yang diberi petunjuk telah berada di jalan yang benar—kendati belum sampai pada tujuan—dan karena itu ia masih diberi petunjuk yang lebih jelas guna menjamin sampainya ke tujuan. Hal ini selaras dengan firman Allah yang terjemahnya:
Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. (QS Maryam [19]: 76)
·         Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa jika menggunakan kata إِلَى hanya mengandung makna pemberitahuan. Namun jika tanpa إِلَى yang bersangkutan tidak hanya diberi tahu jalan yang harus ditempuh, tetapi juga diantar ke jalan tersebut. Sebagai ilustrasi, bila kita bertanya kepada seseorang jalan menuju sebuah rumah, kita bukan hanya diberi tahu arah jalan menuju rumah tersebut, tapi sekaligus diantar ke rumah yang kita tuju. Demikian maknanya bila tanpa kata إِلَى.
Oleh karena itu, maksud ayat (QS al-Fâtihah [1]: 6) adalah permohonan yang diajukan bukan sekadar memohon diberi tahu atau dibimbing menuju ash-shirâth al-mustaqîm, tetapi juga mohon diantar masuk ke dalamnya.
Memang tidak jarang kita telah mengetahui petunjuk dan pesan agama, tapi ada saja hambatan sehingga petunjuk atau pesan itu tidak dapat kita laksanakan. Boleh jadi karena godaan nafsu atau setan, atau boleh jadi juga karena kurangnya kemampuan. Nah, di sini pertolongan yang dibutuhkan bukan sekadar bimbingan yang hanya terbatas pada informasi, tetapi juga kemampuan melaksanakannya. Demikianlah penjelasan di tafsir Al-Mishbâh.
Agar bisa istiqamah dalam beribadah pun, selain usaha sekuat-kuatnya kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah. Berikut ini beberapa contoh doa yang diajarkan kepada kita:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS Ibrâhîm [14]: 40)
اللَّهُمَّ أَعِـنَّا عَلىٰ ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِـبَادَتِكَ
Ya Allah, tolonglah kami dalam mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu, amin.

Daftar Pustaka


M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbâh—Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an—Volume 1”, Penerbit Lentera Hati, Edisi BaruCetakan II: Dzulqa’dah 1430/Nopember 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, May 4, 2012

Muslim Keturunan “vs” Muslim Pencarian (1 of 4)

Entah dari mana asalnya sehingga muncul istilah baru, yaitu “Muslim Keturunan” dan “Muslim Pencarian”. “Muslim Keturunan” artinya otomatis beragama Islam sejak lahir karena orang tua beragama Islam. Adapun “Muslim Pencarian” maksudnya waktu lahir di KK tertulis non muslim, setelah dewasa mencari jati diri dan keyakinan diri, lalu meyakini Islam sebagai agama yang benar, kemudian masuk Islam.

Ada yang berkata bahwa “Muslim Pencarian” lebih rajin mendalami ajaran agama dibandingkan “Muslim Keturunan”. Diutarakan bahwa di negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia, terbukti banyak yang belum memahami ajaran agama secara mendalam, sedangkan muallaf lebih giat mengaji.

Benarkah tesis ini? Kesimpulan seperti ini tidaklah benar. Mengapa? Sekian banyak ulama yang karyanya sering kita pelajari terlahir dari orang tua muslim. Lantas, bagaimana dengan kasus yang diajukan di atas?

Sebuah kelaziman, bila di sebuah negara mayoritas penduduk beragama X, maka orang yang kurang memahami ajaran agama X jadi terlihat banyak. Bahkan, orang yang bermasalah, misalnya dengan hukum juga lebih banyak yang beragama X, dibandingkan pemeluk agama lain. Ini sebuah kewajaran dan termaklumi.

Secara mudah, prosentasi sama menghasilkan angka berbeda. Misal jumlah penduduk muslim 100.000.000 orang, sedangkan non muslim 10.000.000. Andaikata disebut 10% saja penduduk muslim kurang rajin beribadah, jumlahnya sama dengan keseluruhan penduduk non muslim, yaitu 10.000.000 orang.

Jadi, tidak bisa dikatakan jumlah penduduk muslim yang kurang beribadah jauh lebih banyak daripada jumlah penduduk non muslim yang kurang rajin beribadah. Kuantitas asal tetap harus dipertimbangkan.

Hal yang sama berlaku untuk semua bidang. Untuk kasus yang diajukan, karena jumlah orang yang terlahir dari keluarga muslim jauh lebih banyak, maka secara hitungan angka tentu jumlah yang kurang rajin mendalami ajaran agama terlihat banyak.

Apa pun alasannya, dikotomi “Muslim Keturunan” dan “Muslim Pencarian” seharusnya tak perlu terjadi. Menjadi muslim adalah karunia tak terhingga. 


Menuntut ilmu ke sekolah
Demi menggapai angan-angan
Syukurilah anugerah hidayah
Janganlah kita pertentangkan

Allah berfirman:


إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong. (QS Âli ‘Imrân [3]: 91)

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لِيَفْتَدُوا بِهِ مِنْ عَذَابِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَا تُقُبِّلَ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. (QS al-Mâidah [5]: 36)

Atas dasar ayat-ayat tersebut, Prof. Dr. HM Roem Rowi—guru besar ilmu Al-Qur’an IAIN Sunan Ampel Surabaya—menerangkan bahwa keimanan tidak bisa dibeli dengan apapun, misalnya ditukar dengan emas sepenuh bumi, ditambah lagi emas sepenuh bumi dan apa pun.

Sayangnya, kita cenderung kurang menjaga keimanan, misalnya malas mengaji, kurang tekun dalam ibadah-ibadah sunnah dan hal-hal lain demi mempertahankan dan meningkatkan stabilitas keimanan. Entah mengapa!

Misal kita punya emas, baik berbentuk perhiasan maupun batangan total seberat 10 ton (10.000 kg atau 10.000.000 gram). Wow! Bisa kita hitung sendiri bila 1 gram seharga Rp 400.000,- saja, maka yang kita miliki sejumlah Rp 4.000.000.000.000,- (4 triliun rupiah). Bayangkan!

Apa yang akan kita lakukan terhadap emas tersebut?
Apa akan kita biarkan saja?
Apa kita akan cuek bebek terhadap apa pun yang akan, sedang dan telah terjadi pada emas kita?
Apa kita akan membiarkan bila emas tersebut ada yang hilang sedikit dengan dalih toh hanya sedikit? Dan itu kita biarkan terus-menerus?
Apa kita akan enggan berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan emas kita?

Memang, kita lebih tertarik pada sesuatu yang tampak terlihat mata.
Memang, kita lebih menyukai sesuatu yang terjadi saat ini.
Memang, kita lebih bersemangat bila sesuatu itu bisa untuk membeli apa pun yang kita inginkan di dunia ini.

Namun, janganlah kita lupakan bahwa hidup ini bukan untuk mati. Hidup ini untuk hidup lagi yang langgeng, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita di kehidupan saat ini.

وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى
dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. (QS adh-Dhuhâ [93]: 4)

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS al-A‘lâ [87]: 17)

Daftar Pustaka


Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#