Di kitab “Fathul Bâriy” yang ditulis oleh Imam Ibnu Rajab terdapat penjelasan bahwa dzikir dapat memperkuat keimanan.
قال
بن مسعود: اَلذِّكْرُ يَنْبُتُ اْلإِيْمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يَنْبُتُ الْمَاءُ
الزَّرْعَ
Sahabat Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Dzikir
menumbuhkan iman di hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.”
Dengan demikian, dzikir
dalam bentuk dan kalimat apa pun dapat memperkokoh keimanan. Lantas, apa
kalimat dzikir yang paling utama?
أَفْضَلُ الذِّكْرِ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Seutama-utama
dzikir adalah (kalimat) Lâ
Ilâha Illallâh (Tiada Tuhan selain Allah). (HR Baihaqi, Hakim,
Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Nasa’i dan Tirmidzi)
Sebenarnya setiap hari kita senantiasa mengulang-ulang
kalimat tahlil ini, baik berupa kalimat Lâ Ilâha Illallâh secara mandiri maupun terangkum ketika kita
membaca syahadat. Bukankah dalam syahadat terkandung kalimat Lâ
Ilâha Illallâh?
Mari kita ingat lagi shalat yang kita lakukan. Setiap
tahiyyat kita pasti membaca syahadat. Dengan demikian, untuk shalat fardhu saja
kita telah membaca 9 (sembilan) kali syahadat dengan rincian 2x waktu Zhuhur,
2x saat Ashar, 2x ketika Maghrib, 2x tatkala Isya’ dan 1x Subuh.
Perlu kita perhatikan juga bahwa waktu shalat fardhu
berbeda-beda. Ini berarti keimanan kita terjaga dalam 24 jam. Subhânallâh. Hal ini termasuk salah satu hikmah
mengapa shalat tidak dikerjakan dalam satu waktu saja langsung 17 rakaat.
Apalagi
bila kita juga senantiasa mengerjakan shalat-shalat nafilah, misalnya shalat
Dhuha, shalat Tahiyyatul Masjid, shalat rawatib (Qabliyah/Ba’diyah), shalat
Tahajud, shalat Tasbih, shalat Hajat dan sebagainya. Otomatis, keimanan kita
terjaga setiap saat.
Kesimpulannya,
segala bentuk ketaatan kepada Allah dapat menumbuhkan dan menambah keimanan
kita. Demikian uraian di Shahih Ibnu Hibban. Oleh karena itu, senantiasa
beribadah—ibadah dalam bentuk
apa pun—adalah solusi untuk memperkuat dan menambah keimanan.
أَنَّ اْلإِيْمَانَ
يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ
Sesungguhnya iman bertambah denagn
ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
Ada sebuah pertanyaan, “Apa sebenarnya makna لا إله إلا الله yang sering
diterjemahkan ‘Tiada Tuhan selain Allah’ itu?”
Semasa pelajar, ketika penulis beserta santri
lainnya mengaji kitab “Safînatun
Najâh” karya Syaikh Salim
bin Sumair Al-Hadhrami—kitab
dasar untuk belajar fiqh Madzhab Syafi’i, biasanya untuk anak-anak SD/MI kelas
IV/V—Ust. Damanhuri, guru penulis, menjelaskan sebagai
berikut:
(لا إله) أَيْ لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ (إلا الله)
Dengan demikian makna لا إله إلا الله sesungguhnya adalah
“Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang berhak Disembah
selain Allah.”
Di ebook “Sifat Dua Puluh” Habib ‘Utsman bin ‘Abdullah bin ‘Aqil bin
Yahya juga menerangkan hal yang sama ketika membahas makna syahadat pertama
(kalimat tauhid).
(لا إله) لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ فِي
الْوُجُوْدِ (إلا الله) إلا اللهُ الْمَعْبُوْدُ بِحَقٍّ
Bagaimana penjelasannya?
Berikut ini penjelasan detail pemahaman di atas. Uraian ini penulis
ambil dari sebuah buku karya Prof. M. Quraish Shihab yang berjudul “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an” bahasan pertama tentang
asma “Allâh”.
Kata إله (Ilâh) mempunyai makna yang tergantung penggunaannya. Ada
kalanya diartikan “Pengatur serta penguasa alam raya, yang di dalam genggaman
kekuasaan-Nya segala sesuatu”. Berikut ini contoh ayat yang menggunakan makna
tersebut:
مَا
اتَّخَذَ اللهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ
بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Ilâh (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Ilâh beserta-Nya, masing-masing Ilâh itu akan membawa makhluk yang diciptakannya,
dan sebagian dari Ilâh-Ilâh itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. (QS al-Mu’minûn [23]: 91)
Jika di ayat tersebut kata
Ilâh diartikan dengan “Yang disembah” niscaya uraian yang dikehendaki oleh ayat
itu akan sangat berbelit-belit, berbeda bila diartikan “Pengatur serta penguasa
alam raya, yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya segala sesuatu”.
Arti lain kata Ilâh adalah “Yang
disembah”. Kata Ilâh berakar dari kata Ilâhah, Ulûhah
dan Ulûhiyyah yang kesemuanya
bermakna ibadah atau penyembahan.
Di kamus al-Mu‘jam
al-Wasîth dijelaskan
bahwa kata Alaha atau Aliha—yang merupakan kata
kerja dasar (fi‘il Mâdhi) kata Ilâhah, Ulûhah dan Ulûhiyyah—sinonim dengan kata ‘abada yang berarti beribadah atau menyembah. Ilâh adalah segala
sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan maupun yang
diperintahkan agama Islam. Contoh yang tidak dibenarkan misalnya menyembah
matahari, bintang, bulan, berhala dan apa pun selain Allah. Adapun yang
diperintahkan adalah menyembah Allah SWT.
Selain alasan kebahasaan tersebut, argumentasi
arti kata Ilâh adalah “Yang disembah” ditunjang oleh satu qira’ah (bacaan) yang tidak
populer (syadz) di QS al-A‘râf [7] ayat 127.
وَقَالَ
الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ
Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum
Firaun (kepada Firaun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk
membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta sesembahan-sesembahanmu?” (QS al-A‘râf [7]: 127)
Di qira’ah yang tidak populer tersebut, kata Âlihataka
dibaca Ilâhataka yang berarti ibadah. Dengan demikian Ilâh berarti “Yang
disembah” atau “Yang kepada-Nya ibadah tertuju”. Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa لا إله إلا الله berarti “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah”.
Timbul pertanyaan, “Jika demikian, berarti
penyembah matahari bisa dong mengatakan bahwa matahari adalah Allah, demikian
pula penyembah berhala dan lainnya.”
Kalimat “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah”
adalah kalimat umum yang sudah jelas maksudnya bahwa hanya Allah yang haq
disembah. Kalau mau ditulis secara eksplisit, maka terjemahnya menjadi “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah”
atau “Tiada yang berhak Disembah selain Allah.” Jadi secara implisit ada kata
“dengan haq” yang disisipkan ke dalam kalimat “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah”.
Ada kaidah yang dirumuskan para pakar bahasa yang menyatakan bahwa
penyisipan satu kata tidak diperlukan apabila redaksi kalimatnya dapat dipahami
secara lurus tanpa penyisipan itu.
Kasus ini sama seperti
keadaan kita sehari-hari. Misal kita berkata kepada penjual toko, “Pak, saya
mau beli Aqua, Ades atau Club.” Kira-kira, apa yang akan diambilkan oleh
penjual toko? Sudah pasti air mineral dengan merek yang kita sebutkan. Jadi,
kita tidak perlu secara tersurat berkata, “Pak, saya mau beli air mineral
merek Aqua, Ades atau Club”. Hal-hal seperti ini sudah dipahami bersama.
Dengan demikian pada kalimat لا إله إلا الله ada sisipan antara kata إله dan إلا yang harus
tersirat ketika mengucapkannya, yaitu بِحَقٍّ (yang berhak) sehingga
maknanya menjadi “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang
berhak Disembah selain Allah.” Demikian penjelasannya, wallâhu a‘lam
bish-shawâb.
إِنَّنِيْ أَنَا
اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيْ
Sesungguhnya Aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (QS
Thâhâ [20]: 14)
Daftar Pustaka
M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’
Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ
dalam Perspektif Al-Qur’an”,
Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
_______,
“Tafsir Al-Mishbâh—Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an—Volume 1”, Penerbit Lentera Hati, Edisi
Baru—Cetakan II: Dzulqa’dah 1430/Nopember
2009
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Web
site:
http://badaronline.com/artikel/menilik-makna-yang-benar-dari-laa-ilaaha-illallah-dengan-kaidah-bahasa-arab.html,
“Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaidah Bahasa Arab”
0 comments:
Post a Comment