Mencari Data di Blog Ini :

Friday, May 18, 2012

Muslim Keturunan “vs” Muslim Pencarian (3 of 4)

b. Memperkuat Keimanan

Di kitab “Fathul Bâriy” yang ditulis oleh Imam Ibnu Rajab terdapat penjelasan bahwa dzikir dapat memperkuat keimanan.
قال بن مسعود: اَلذِّكْرُ يَنْبُتُ اْلإِيْمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يَنْبُتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ
Sahabat Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Dzikir menumbuhkan iman di hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman.”
Dengan demikian, dzikir dalam bentuk dan kalimat apa pun dapat memperkokoh keimanan. Lantas, apa kalimat dzikir yang paling utama?
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Seutama-utama dzikir adalah (kalimat) Lâ Ilâha Illallâh (Tiada Tuhan selain Allah). (HR Baihaqi, Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Nasa’i dan Tirmidzi)
Sebenarnya setiap hari kita senantiasa mengulang-ulang kalimat tahlil ini, baik berupa kalimat Lâ Ilâha Illallâh secara mandiri maupun terangkum ketika kita membaca syahadat. Bukankah dalam syahadat terkandung kalimat Lâ Ilâha Illallâh?
Mari kita ingat lagi shalat yang kita lakukan. Setiap tahiyyat kita pasti membaca syahadat. Dengan demikian, untuk shalat fardhu saja kita telah membaca 9 (sembilan) kali syahadat dengan rincian 2x waktu Zhuhur, 2x saat Ashar, 2x ketika Maghrib, 2x tatkala Isya’ dan 1x Subuh.
Perlu kita perhatikan juga bahwa waktu shalat fardhu berbeda-beda. Ini berarti keimanan kita terjaga dalam 24 jam. Subhânallâh. Hal ini termasuk salah satu hikmah mengapa shalat tidak dikerjakan dalam satu waktu saja langsung 17 rakaat.
Apalagi bila kita juga senantiasa mengerjakan shalat-shalat nafilah, misalnya shalat Dhuha, shalat Tahiyyatul Masjid, shalat rawatib (Qabliyah/Ba’diyah), shalat Tahajud, shalat Tasbih, shalat Hajat dan sebagainya. Otomatis, keimanan kita terjaga setiap saat.
Kesimpulannya, segala bentuk ketaatan kepada Allah dapat menumbuhkan dan menambah keimanan kita. Demikian uraian di Shahih Ibnu Hibban. Oleh karena itu, senantiasa beribadah—ibadah dalam bentuk apa pun—adalah solusi untuk memperkuat dan menambah keimanan.
أَنَّ اْلإِيْمَانَ يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ
 Sesungguhnya iman bertambah denagn ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
Ada sebuah pertanyaan, “Apa sebenarnya makna لا إله إلا الله yang sering diterjemahkan ‘Tiada Tuhan selain Allah’ itu?
Semasa pelajar, ketika penulis beserta santri lainnya mengaji kitab “Safînatun Najâh” karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami—kitab dasar untuk belajar fiqh Madzhab Syafi’i, biasanya untuk anak-anak SD/MI kelas IV/V—Ust. Damanhuri, guru penulis, menjelaskan sebagai berikut:
(لا إله) أَيْ لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ (إلا الله)
Dengan demikian makna لا إله إلا الله sesungguhnya adalah “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang berhak Disembah selain Allah.”
Di ebook “Sifat Dua Puluh” Habib ‘Utsman bin ‘Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya juga menerangkan hal yang sama ketika membahas makna syahadat pertama (kalimat tauhid).
(لا إله) لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ فِي الْوُجُوْدِ (إلا الله) إلا اللهُ الْمَعْبُوْدُ بِحَقٍّ
Bagaimana penjelasannya?
Berikut ini penjelasan detail pemahaman di atas. Uraian ini penulis ambil dari sebuah buku karya Prof. M. Quraish Shihab yang berjudul “Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an” bahasan pertama tentang asma “Allâh”.
Kata إله (Ilâh) mempunyai makna yang tergantung penggunaannya. Ada kalanya diartikan “Pengatur serta penguasa alam raya, yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya segala sesuatu”. Berikut ini contoh ayat yang menggunakan makna tersebut:

مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Ilâh (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Ilâh beserta-Nya, masing-masing Ilâh itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari Ilâh-Ilâh itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. (QS al-Mu’minûn [23]: 91)
Jika di ayat tersebut kata Ilâh diartikan dengan “Yang disembah” niscaya uraian yang dikehendaki oleh ayat itu akan sangat berbelit-belit, berbeda bila diartikan “Pengatur serta penguasa alam raya, yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya segala sesuatu”.
Arti lain kata Ilâh adalah “Yang disembah”. Kata Ilâh berakar dari kata Ilâhah, Ulûhah dan Ulûhiyyah yang kesemuanya bermakna ibadah atau penyembahan.
Di kamus al-Mu‘jam al-Wasîth dijelaskan bahwa kata Alaha atau Alihayang merupakan kata kerja dasar (fi‘il Mâdhi) kata Ilâhah, Ulûhah dan Ulûhiyyahsinonim dengan kata ‘abada yang berarti beribadah atau menyembah. Ilâh adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan maupun yang diperintahkan agama Islam. Contoh yang tidak dibenarkan misalnya menyembah matahari, bintang, bulan, berhala dan apa pun selain Allah. Adapun yang diperintahkan adalah menyembah Allah SWT.
Selain alasan kebahasaan tersebut, argumentasi arti kata Ilâh adalah “Yang disembah” ditunjang oleh satu qira’ah (bacaan) yang tidak populer (syadz) di QS al-A‘râf [7] ayat 127.

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ
Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Firaun (kepada Firaun), “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta sesembahan-sesembahanmu?” (QS al-A‘râf [7]: 127)
Di qira’ah yang tidak populer tersebut, kata Âlihataka dibaca Ilâhataka yang berarti ibadah. Dengan demikian Ilâh berarti “Yang disembah” atau “Yang kepada-Nya ibadah tertuju”. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa لا إله إلا الله berarti “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah”.
Timbul pertanyaan, “Jika demikian, berarti penyembah matahari bisa dong mengatakan bahwa matahari adalah Allah, demikian pula penyembah berhala dan lainnya.”
Kalimat “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah” adalah kalimat umum yang sudah jelas maksudnya bahwa hanya Allah yang haq disembah. Kalau mau ditulis secara eksplisit, maka terjemahnya menjadi “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang berhak Disembah selain Allah.” Jadi secara implisit ada kata “dengan haq” yang disisipkan ke dalam kalimat “Tidak ada Yang disembah kecuali Allah”.
Ada kaidah yang dirumuskan para pakar bahasa yang menyatakan bahwa penyisipan satu kata tidak diperlukan apabila redaksi kalimatnya dapat dipahami secara lurus tanpa penyisipan itu.
Kasus ini sama seperti keadaan kita sehari-hari. Misal kita berkata kepada penjual toko, “Pak, saya mau beli Aqua, Ades atau Club.” Kira-kira, apa yang akan diambilkan oleh penjual toko? Sudah pasti air mineral dengan merek yang kita sebutkan. Jadi, kita tidak perlu secara tersurat berkata, “Pak, saya mau beli air mineral merek Aqua, Ades atau Club”. Hal-hal seperti ini sudah dipahami bersama.
 Dengan demikian pada kalimat لا إله إلا الله ada sisipan antara kata إله dan إلا yang harus tersirat ketika mengucapkannya, yaitu بِحَقٍّ (yang berhak) sehingga maknanya menjadi “Tiada Yang Disembah dengan haq selain Allah” atau “Tiada yang berhak Disembah selain Allah.” Demikian penjelasannya, wallâhu alam bish-shawâb.

إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيْ
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (QS Thâhâ [20]: 14)

Daftar Pustaka

M. Quraish Shihab, Dr,Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
_______,Tafsir Al-Mishbâh—Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an—Volume 1”, Penerbit Lentera Hati, Edisi BaruCetakan II: Dzulqa’dah 1430/Nopember 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Web site:
http://badaronline.com/artikel/menilik-makna-yang-benar-dari-laa-ilaaha-illallah-dengan-kaidah-bahasa-arab.html, “Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaidah Bahasa Arab”


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

0 comments:

Post a Comment