Mencari Data di Blog Ini :

Friday, May 11, 2012

Muslim Keturunan “vs” Muslim Pencarian (2 of 4)

Lantas, apa langkah-langkah menjaga keimanan agar tetap terpatri di dalam dada? Berikut ini penulis uraikan beberapa upaya demi menjaga iman kita.

a. Senantiasa Memohon Hidayah

Kita adalah makhluk lemah yang senantiasa membutuhkan Allah (faqîr ilâ Allâh). Oleh karena itu, sebagai hamba kita selalu bermunajat kepada Sang Khaliq. Agar tetap dalam keimanan, kita diajarkan berdoa agar Allah senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita. Setelah tasyahhud/tahiyyat akhir sebelum salam, misalnya, kita diajarkan berdoa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu. (HR Abu Nu’aim, Abu Ya’la, Ahmad, BukhariAdâbul Mufrad, Hakim, Ibnu Abi Syaibah, Nasa’i, Thabrani dan Tirmidzi)
Begitu pula di setiap rakaat shalat, baik fardhu maupun sunnah. Ketika membaca surah al-Fâtihah, kita senantiasa memohon:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS al-Fâtihah [1]: 6)
Apa yang disebut petunjuk (hidayah)?
Di tafsir Al-Mishbâh Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa petunjuk Allah bermacam-macam sesuai dengan peranan yang diharapkan dari makhluk.
  1. Naluri
Allah SWT menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dialah yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan benih ketika baru saja menetas. Dialah yang memberi hidayah kepada lebah untuk membuat sarang dalam bentuk segi enam karena bentuk tersebut lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya.
Naluri terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apa pun yang berada di luar tubuh pemilik naluri.
Pada saat datang kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang berada di luar diri, manusia membutuhkan petunjuk dan Allah menganugerahkan petunjuk berupa pancaindra.
  1. Pancaindra
Betapa pun tajam dan pekanya kemampuan indra manusia, seringkali hasil yang diperoleh tidak menggambarkan hakikat sebenarnya. Bagaimana pun tajam mata, ia akan melihat tongkat lurus menjadi bengkok di dalam air.
Yang meluruskan kesalahan pancaindra adalah petunjuk Allah ketiga yakni akal.
  1. Akal
Akal mengoordinasikan semua informasi yang diperoleh indra kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang sedikit/banyak dapat berbeda dengan hasil informasi indra.
Walau petunjuk akal sangat penting dan berharga, ternyata ia hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu dan tidak mampu menuntun manusia keluar jangkauan alam fisika.
Akal dapat diibaratkan pelampung. Ia dapat menyelamatkan seseorang yang tak pandai berenang dari kehanyutan di kolam renang atau bahkan di tengah laut yang tenang. Tapi, jka ombak dan gelombang telah membahana atau datang bertubi-tubi seperti gunung, ketika itu yang pandai dan yang tak pandai berenang keadaannya akan sama. Saat itu terjadi, semua tidak hanya butuh pelampung, tapi juga sesuatu yang melebihi pelampung.
Karena itu, manusia memerlukan petunjuk yang melebihi petunjuk akal sekaligus meluruskan kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah yang dimaksud adalah hidayah agama.
  1. Hidayah agama
Ulama membagi hidayah agama menjadi dua petunjuk, yaitu:
·         Petunjuk menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Kata hidayah yang pelakunya manusia adalah hidayah dalam bentuk ini. Cukup banyak ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna ini.
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS asy-Syûrâ [42]: 52)
وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk. (QS Fushhilat [41]: 17)
·   Petunjuk serta kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT.
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (QS al-Qashash [28]: 56)
Ada sebuah pertanyaan, “Mengapa di (QS al-Fâtihah [1]: 6) tanpa kata إِلَى berbeda dengan (QS asy-Syûrâ [42]: 52) yang terdapat kata إِلَى sebelum صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ? Bukankah keduanya berbicara tentang hidayah?”
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat lagi kedua ayat tersebut:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS al-Fâtihah [1]: 6)
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS asy-Syûrâ [42]: 52)
Di Tafsir Al-Mishbâh diuraikan sebagai berikut:
·         Bila disertai kata إِلَى (menuju/kepada), itu mengandung makna bahwa yang diberi petunjuk belum berada di jalan yang benar. Bila tidak menggunakan kata إِلَى, ini mengisyaratkan bahwa yang diberi petunjuk telah berada di jalan yang benar—kendati belum sampai pada tujuan—dan karena itu ia masih diberi petunjuk yang lebih jelas guna menjamin sampainya ke tujuan. Hal ini selaras dengan firman Allah yang terjemahnya:
Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. (QS Maryam [19]: 76)
·         Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa jika menggunakan kata إِلَى hanya mengandung makna pemberitahuan. Namun jika tanpa إِلَى yang bersangkutan tidak hanya diberi tahu jalan yang harus ditempuh, tetapi juga diantar ke jalan tersebut. Sebagai ilustrasi, bila kita bertanya kepada seseorang jalan menuju sebuah rumah, kita bukan hanya diberi tahu arah jalan menuju rumah tersebut, tapi sekaligus diantar ke rumah yang kita tuju. Demikian maknanya bila tanpa kata إِلَى.
Oleh karena itu, maksud ayat (QS al-Fâtihah [1]: 6) adalah permohonan yang diajukan bukan sekadar memohon diberi tahu atau dibimbing menuju ash-shirâth al-mustaqîm, tetapi juga mohon diantar masuk ke dalamnya.
Memang tidak jarang kita telah mengetahui petunjuk dan pesan agama, tapi ada saja hambatan sehingga petunjuk atau pesan itu tidak dapat kita laksanakan. Boleh jadi karena godaan nafsu atau setan, atau boleh jadi juga karena kurangnya kemampuan. Nah, di sini pertolongan yang dibutuhkan bukan sekadar bimbingan yang hanya terbatas pada informasi, tetapi juga kemampuan melaksanakannya. Demikianlah penjelasan di tafsir Al-Mishbâh.
Agar bisa istiqamah dalam beribadah pun, selain usaha sekuat-kuatnya kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah. Berikut ini beberapa contoh doa yang diajarkan kepada kita:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS Ibrâhîm [14]: 40)
اللَّهُمَّ أَعِـنَّا عَلىٰ ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِـبَادَتِكَ
Ya Allah, tolonglah kami dalam mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu, amin.

Daftar Pustaka


M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbâh—Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an—Volume 1”, Penerbit Lentera Hati, Edisi BaruCetakan II: Dzulqa’dah 1430/Nopember 2009

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment