Lantas, apa langkah-langkah menjaga keimanan agar tetap terpatri di
dalam dada? Berikut ini penulis uraikan beberapa upaya demi menjaga iman kita.
Kita adalah makhluk lemah yang senantiasa membutuhkan Allah (faqîr ilâ Allâh). Oleh karena itu, sebagai hamba kita selalu bermunajat kepada Sang Khaliq. Agar tetap dalam keimanan, kita diajarkan berdoa agar Allah senantiasa memberi hidayah dan pertolongan kepada kita. Setelah tasyahhud/tahiyyat akhir sebelum salam, misalnya, kita diajarkan berdoa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Wahai
Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu. (HR Abu Nu’aim, Abu Ya’la, Ahmad,
Bukhari—Adâbul Mufrad, Hakim, Ibnu Abi Syaibah, Nasa’i,
Thabrani dan Tirmidzi)
Begitu pula di setiap rakaat shalat, baik fardhu
maupun sunnah. Ketika membaca surah al-Fâtihah, kita senantiasa memohon:
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS al-Fâtihah [1]: 6)
Apa yang disebut petunjuk (hidayah)?
Di tafsir Al-Mishbâh Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa petunjuk Allah bermacam-macam sesuai dengan peranan yang diharapkan dari
makhluk.
- Naluri
Allah
SWT menuntun setiap makhluk kepada apa yang perlu dimilikinya dalam rangka
memenuhi kebutuhannya. Dialah yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan
benih ketika baru saja menetas. Dialah yang memberi hidayah kepada lebah untuk
membuat sarang dalam bentuk segi enam karena bentuk tersebut lebih sesuai
dengan bentuk badan dan kondisinya.
Naluri
terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri
tidak mampu mencapai apa pun yang berada di luar tubuh pemilik naluri.
Pada
saat datang kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang berada di luar diri, manusia
membutuhkan petunjuk dan Allah menganugerahkan petunjuk berupa pancaindra.
- Pancaindra
Betapa
pun tajam dan pekanya kemampuan indra manusia, seringkali hasil yang diperoleh
tidak menggambarkan hakikat sebenarnya. Bagaimana pun tajam mata, ia akan
melihat tongkat lurus menjadi bengkok di dalam air.
Yang
meluruskan kesalahan pancaindra adalah petunjuk Allah ketiga yakni akal.
- Akal
Akal
mengoordinasikan semua informasi yang diperoleh indra kemudian membuat
kesimpulan-kesimpulan yang sedikit/banyak dapat berbeda dengan hasil informasi
indra.
Walau
petunjuk akal sangat penting dan berharga, ternyata ia hanya berfungsi dalam
batas-batas tertentu dan tidak mampu menuntun manusia keluar jangkauan alam
fisika.
Akal
dapat diibaratkan pelampung. Ia dapat menyelamatkan seseorang yang tak pandai
berenang dari kehanyutan di kolam renang atau bahkan di tengah laut yang
tenang. Tapi, jka ombak dan gelombang telah membahana atau datang bertubi-tubi
seperti gunung, ketika itu yang pandai dan yang tak pandai berenang keadaannya
akan sama. Saat itu terjadi, semua tidak hanya butuh pelampung, tapi juga
sesuatu yang melebihi pelampung.
Karena
itu, manusia memerlukan petunjuk yang melebihi petunjuk akal sekaligus
meluruskan kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah
yang dimaksud adalah hidayah agama.
- Hidayah agama
Ulama
membagi hidayah agama menjadi dua petunjuk, yaitu:
·
Petunjuk menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Kata
hidayah yang pelakunya manusia adalah hidayah dalam bentuk ini. Cukup
banyak ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna
ini.
وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS
asy-Syûrâ [42]:
52)
وَأَمَّا
ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah
Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada
petunjuk. (QS Fushhilat [41]: 17)
· Petunjuk serta
kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Ini tidak dapat dilakukan kecuali
oleh Allah SWT.
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya. (QS
al-Qashash [28]: 56)
Ada sebuah pertanyaan, “Mengapa di (QS al-Fâtihah [1]: 6) tanpa kata إِلَى berbeda dengan (QS asy-Syûrâ [42]: 52) yang terdapat kata إِلَى
sebelum صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ? Bukankah keduanya berbicara
tentang hidayah?”
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat lagi kedua
ayat tersebut:
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS al-Fâtihah [1]: 6)
وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS asy-Syûrâ [42]: 52)
Di Tafsir Al-Mishbâh diuraikan sebagai berikut:
·
Bila disertai
kata إِلَى
(menuju/kepada), itu mengandung makna bahwa yang diberi petunjuk belum berada
di jalan yang benar. Bila tidak menggunakan kata إِلَى, ini
mengisyaratkan bahwa yang diberi petunjuk telah berada di jalan yang benar—kendati belum sampai pada tujuan—dan
karena itu ia masih diberi petunjuk yang lebih jelas guna menjamin sampainya ke
tujuan. Hal ini selaras dengan firman Allah yang terjemahnya:
Dan Allah akan menambah petunjuk kepada
mereka yang telah mendapat petunjuk. (QS
Maryam [19]: 76)
·
Ada juga
pendapat yang menjelaskan bahwa jika menggunakan kata إِلَى hanya mengandung makna
pemberitahuan. Namun jika tanpa إِلَى yang bersangkutan tidak hanya
diberi tahu jalan yang harus ditempuh, tetapi juga diantar ke jalan tersebut. Sebagai
ilustrasi, bila kita bertanya kepada seseorang jalan menuju sebuah rumah, kita
bukan hanya diberi tahu arah jalan menuju rumah tersebut, tapi sekaligus
diantar ke rumah yang kita tuju. Demikian maknanya bila tanpa kata إِلَى.
Oleh karena
itu, maksud ayat (QS al-Fâtihah
[1]: 6) adalah permohonan yang diajukan bukan sekadar memohon diberi tahu atau
dibimbing menuju ash-shirâth
al-mustaqîm, tetapi juga mohon diantar
masuk ke dalamnya.
Memang tidak jarang
kita telah mengetahui petunjuk dan pesan agama, tapi ada saja hambatan sehingga
petunjuk atau pesan itu tidak dapat kita laksanakan. Boleh jadi karena godaan
nafsu atau setan, atau boleh jadi juga karena kurangnya kemampuan. Nah, di sini
pertolongan yang dibutuhkan bukan sekadar bimbingan yang hanya terbatas pada
informasi, tetapi juga kemampuan melaksanakannya. Demikianlah penjelasan di
tafsir Al-Mishbâh.
Agar bisa istiqamah dalam beribadah pun, selain
usaha sekuat-kuatnya kita juga diajarkan untuk memohon kepada Allah. Berikut
ini beberapa contoh doa yang diajarkan kepada kita:
رَبِّ اجْعَلْنِي
مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang
yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS Ibrâhîm [14]: 40)
اللَّهُمَّ أَعِـنَّا عَلىٰ ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِـبَادَتِكَ
Ya Allah, tolonglah kami dalam
mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu, amin.
Daftar Pustaka
M. Quraish Shihab,
“Tafsir Al-Mishbâh—Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an—Volume 1”, Penerbit Lentera Hati, Edisi
Baru—Cetakan II: Dzulqa’dah 1430/Nopember
2009
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment