مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ (قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح)
“Siapa memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa, maka
baginya pahala yang semisal orang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala
orang berpuasa itu sedikit pun.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Majah dan Tirmidzi.
Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Tirmidzi)
Berkemah
kegiatan Pramuka
Mencari
jejak tantangan yang lazim
Berbagi
makanan saat berbuka
Berpahala sama dengan sang sha’im
Sebagian pemuda mempertanyakan, “Masa, pahala memberi makanan bagi orang berbuka puasa seperti itu…? Kalau begitu, mending memberi makan orang berpuasa saja tapi tidak puasa. Toh pahalanya sama!”
Pernyataan tersebut sebenarnya permainan logika semata. Oleh karena itu
cukup kita jawab dengan logika pula, tak perlu dijelaskan bahwa hadits tersebut
hasan-shahih, diriwayatkan banyak imam dan sebagainya. Coba kita ajukan
pertanyaan ini kepada yang meragukan hadits di atas:
- Shalat Maghrib 3 rakaat, sedangkan Zhuhur 4
rakaat. Apakah pahala shalat Maghrib lebih sedikit dibanding Zhuhur?
- Satu malam Lailatul Qadar lebih baik
dibandingkan seribu bulan (83 tahun 4 bulan) tanpa Lailatul Qadar. Masa, satu
malam lebih baik daripada seribu bulan? Kalau begitu, ibadah Ramadhan
sungguh-sungguh saja, tapi selain Ramadhan tidak usah ibadah. Bukankah
masih berlebih pahala yang dimiliki?
Kira-kira, bisakah yang meragukan hadits di atas menjawab pertanyaan pertama saja? Menurut penulis, permainan logika akan mentok kalau berusaha menjawabnya berdasarkan logika semata. Dari keadaan tersebut, bisa kita ambil pelajaran:
- Janganlah membatasi rahmat Allah yang begitu
luas.
وَرَحْمَتِي
وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
dan rahmat-Ku
meliputi segala sesuatu (QS al-A‘râf
[7]: 156)
قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي صَلاَةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ اللَّهُمَّ
ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلاَ تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا فَلَمَّا سَلَّمَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْأَعْرَابِيِّ لَقَدْ حَجَّرْتَ وَاسِعًا
يُرِيدُ رَحْمَةَ اللهِ
Rasulullah saw berdiri shalat, kami berdiri bersamanya. Lalu seorang a’rabiy (Arab Badui) berdoa dalam shalatnya, “Ya Allah ampunilah saya dan Muhammad, dan jangan seorang pun Engkau ampuni bersama kami.” Ketika Nabi saw salam (selesai shalat), beliau berkata kepada a’rabiy tersebut, “Sesungguhnya engkau telah mempersempit yang luas.” Maksudnya adalah rahmat Allah. (HR Bukhari)
لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ
اللهِ مِنْ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ وَلَوْ يَعْلَمُ
الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنْ الرَّحْمَةِ مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
Seandainya orang mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang mukmin pun yang akan menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui luasnya rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang kafir pun yang akan berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya. (HR. Muslim)
- Janganlah membatasi kekuasaan Allah dengan mempunyai
anggapan bila tidak sesuai kemampuan logika kita maka dikatakan tidak
mungkin terjadi.
Coba
kita jawab pertanyaan ini jika memang kita berasumsi yang tidak bisa dibuktikan
secara logika tidak mungkin terjadi, “Bagaimana bisa Nabi Isa as. lahir tanpa
ayah?”
Ia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku ini
hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang
suci.”
Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang
anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku
bukan (pula) seorang pezina!”
Jibril berkata, “Demikianlah. Tuhanmu berfirman, ‘Hal
itu mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannnya suatu tanda bagi
manusiadan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang
sudah diputuskan’.”
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan
diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. (QS Maryam [19]: 19-22)
- Jangan melogika semua hal, apalagi masalah
keimanan.
Agama
Islam tidak semata-mata berdasarkan kemampuan logika. Akal diciptakan untuk
mengokohkan keimanan. Di kitab “Bulûghul
Marâm – Min Adillatil Ahkâm” terdapat hadits ke-65:
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه
قَالَ: لَوْ كَانَ اَلدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى
بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Dari Ali bin Abi
Thalib berkata, “Seandainya
agama semata-mata berdasarkan akal maka maka bagian bawah sepatu lebih
utama untuk diusap daripada bagian atas. Sungguh aku telah
melihat Rasulullah saw. mengusap bagian atas kedua sepatunya. (HR
Abu Daud)
- Kita tidak pernah tahu apakah ibadah kita
telah diterima atau tidak. Jadi, tidak boleh bertekad hanya memberi makan
orang berbuka sebanyak-banyaknya tapi kita sediri tak mau berpuasa.
Ulama
berpesan bahwa salah satu tanda ibadah diterima adalah meningkatnya ibadah. Itu
berarti, memberi makanan berbuka tidak boleh menyurutkan semangat ibadah
sedikit pun, tapi malah harus meningkatkan energi positif dalam mengabdi
kepada-Nya.
Daftar Pustaka
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi
Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Faishol bin Abdul ‘Aziz Âlu Mubarok, asy-Syaikh, “Tathrîz Riyâdhish Shâlihîn”
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul
Marâm – Min
Adillatil Ahkâm”
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
Web
site:
http://muslim.or.id/ramadhan/dahsyatnya-sedekah-di-bulan-ramadhan.html,
“Dahsyatnya Sedekah di Bulan Ramadhan”
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati
semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment