Mencari Data di Blog Ini :

Friday, July 6, 2012

Memberi Makanan Berbuka=Puasa (1 of 3)


مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ (قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح)
“Siapa memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal orang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang berpuasa itu sedikit pun.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Tirmidzi)

Berkemah kegiatan Pramuka
Mencari jejak tantangan yang lazim
Berbagi makanan saat berbuka
Berpahala sama dengan sang sha’im

Sebagian pemuda mempertanyakan, “Masa, pahala memberi makanan bagi orang berbuka puasa seperti itu…? Kalau begitu, mending memberi makan orang berpuasa saja tapi tidak puasa. Toh pahalanya sama!”

Pernyataan tersebut sebenarnya permainan logika semata. Oleh karena itu cukup kita jawab dengan logika pula, tak perlu dijelaskan bahwa hadits tersebut hasan-shahih, diriwayatkan banyak imam dan sebagainya. Coba kita ajukan pertanyaan ini kepada yang meragukan hadits di atas:

  • Shalat Maghrib 3 rakaat, sedangkan Zhuhur 4 rakaat. Apakah pahala shalat Maghrib lebih sedikit dibanding Zhuhur?
  • Satu malam Lailatul Qadar lebih baik dibandingkan seribu bulan (83 tahun 4 bulan) tanpa Lailatul Qadar. Masa, satu malam lebih baik daripada seribu bulan? Kalau begitu, ibadah Ramadhan sungguh-sungguh saja, tapi selain Ramadhan tidak usah ibadah. Bukankah masih berlebih pahala yang dimiliki?

Kira-kira, bisakah yang meragukan hadits di atas menjawab pertanyaan pertama saja? Menurut penulis, permainan logika akan mentok kalau berusaha menjawabnya berdasarkan logika semata. Dari keadaan tersebut, bisa kita ambil pelajaran:
  • Janganlah membatasi rahmat Allah yang begitu luas.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu (QS al-Arâf [7]: 156)


قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلاَ تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا فَلَمَّا سَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْأَعْرَابِيِّ لَقَدْ حَجَّرْتَ وَاسِعًا يُرِيدُ رَحْمَةَ اللهِ

Rasulullah saw berdiri shalat, kami berdiri bersamanya. Lalu seorang a’rabiy (Arab Badui) berdoa dalam shalatnya, “Ya Allah ampunilah saya dan Muhammad, dan jangan seorang pun Engkau ampuni bersama kami.” Ketika Nabi saw salam (selesai shalat), beliau berkata kepada a’rabiy tersebut, “Sesungguhnya engkau telah mempersempit yang luas.” Maksudnya adalah rahmat Allah. (HR Bukhari)

لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنْ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنْ الرَّحْمَةِ مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ

Seandainya orang mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang mukmin pun yang akan menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui luasnya rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang kafir pun yang akan berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya. (HR. Muslim)

  • Janganlah membatasi kekuasaan Allah dengan mempunyai anggapan bila tidak sesuai kemampuan logika kita maka dikatakan tidak mungkin terjadi.
Coba kita jawab pertanyaan ini jika memang kita berasumsi yang tidak bisa dibuktikan secara logika tidak mungkin terjadi, “Bagaimana bisa Nabi Isa as. lahir tanpa ayah?”

Ia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.”
Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”
Jibril berkata, “Demikianlah. Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannnya suatu tanda bagi manusiadan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan’.”
Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. (QS Maryam [19]: 19-22)

  • Jangan melogika semua hal, apalagi masalah keimanan.
Agama Islam tidak semata-mata berdasarkan kemampuan logika. Akal diciptakan untuk mengokohkan keimanan. Di kitab “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm” terdapat hadits ke-65:
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: لَوْ كَانَ اَلدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ 
Dari Ali bin Abi Thalib berkata, Seandainya agama semata-mata berdasarkan akal maka maka bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atas. Sungguh aku telah melihat Rasulullah saw. mengusap bagian atas kedua sepatunya. (HR Abu Daud)

  • Kita tidak pernah tahu apakah ibadah kita telah diterima atau tidak. Jadi, tidak boleh bertekad hanya memberi makan orang berbuka sebanyak-banyaknya tapi kita sediri tak mau berpuasa.
Ulama berpesan bahwa salah satu tanda ibadah diterima adalah meningkatnya ibadah. Itu berarti, memberi makanan berbuka tidak boleh menyurutkan semangat ibadah sedikit pun, tapi malah harus meningkatkan energi positif dalam mengabdi kepada-Nya.

Daftar Pustaka


Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Faishol bin Abdul ‘Aziz Âlu Mubarok, asy-Syaikh, Tathrîz Riyâdhish Shâlihîn 
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm”

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Web site:

Tulisan ini berlanjut ke: Memberi Makanan Berbuka=Puasa (2 of 3)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

0 comments:

Post a Comment