Mencari Data di Blog Ini :

Friday, April 22, 2011

Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (3 of 3)

Di tulisan ini penulis tak akan membahas detail pendidikan anak. Penulis hanya mengulas hal-hal yang terkadang bahkan mungkin sering terlupakan, yaitu:

1. Mengajar anak mengaji, meskipun telah khatam Al-Qur'an.

Alhamdulillâh, saat ini bertebaran TPQ (Taman Pendidikan al-Qur’an) atau kadang bernama TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dengan berbagai metode mengaji, misalnya Qira’ati, Qira’ah, Iqra’, al-Barqi, at-Tartil dan al-Bayan.

Dengan metode-metode tersebut, biasanya paling lambat kelas VI, para santri sudah tamat mengaji 30 juz sesuai tajwid, juga pelajaran doa sehari-hari dan shalat. Pertanyaannya, “Ke manakah para santri (anak-anak kita) setelah tamat mengaji di TPQ?”

Kalau sekolah, setelah SD tentu masuk SMP. Sayangnya, jenjang pendidikan mengaji hanya tampak jelas di pesantren. Di luar pesantren? Entahlah. Hal inilah yang membuat banyak santri setelah tamat mengaji di TPQ tidak mengaji lagi, kecuali bagi mereka yang melanjutkan mondok di pesantren.

Praktis, kegiatan-kegiatan mengaji hanya berdasarkan jam pelajaran agama di sekolah, aktivitas OSIS—dalam hal ini SKI (Seksi Kerohanian Islam) atau di beberapa sekolah disebut Rohis—dan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam).

Barangkali kita berkata, “Sudah cukuplah mengaji sampai bisa membaca Al-Qur’an dan khatam. Selanjutnya anak-anak kita biar konsentrasi sekolah, les/kursus dan kegiatan ekstrakulikuler yang lagi trend. Masak semua jadi ustadz!”

Mari kita kembali ke prinsip dasar, “Bagaimana kita mendidik anak tergantung dari bagaimana kita menganggap anak bagi diri kita.”

Semua berpulang ke diri kita sendiri. Kalau kita merasa mengaji itu tidak perlu dengan dalih tidak mungkin semua jadi ustadz, ya itu terserah kita.

Namun, sebaiknya kita baca dan resapi lagi artikel ini mulai dari awal. Perlu kita ingat juga bahwa mengaji bukan untuk menjadi ustadz, kyai, ajengan, buya, tuan guru, syaikh, ulama atau sebutan apa pun. Mengaji untuk memahami agama kita. Dengan demikian, mengaji diperintahkan Rasulullah saw. Adakah kita hendak menolak perintah Allah dan rasul-Nya?

Ada beberapa cara mengajar anak mengaji setelah tamat TPQ, ketika mereka sudah duduk di bangku SMP/SMA, yaitu:

a. Mendatangkan ustadz ke rumah dengan jadwal rutin. Tidak harus yang sudah sarjana, mahasiswa/i cukup. Toh beliau-beliau sudah mengenyam pendidikan pesantren, jadi sudah tahu kurikulum mengaji yang harus diajarkan setelah anak kita khatam Al-Qur’an.

b. Bila rumah kita dekat pesantren, kita bisa menitipkan anak ke pesantren untuk mengaji walau tidak harus mondok (menginap). Jadi, pesantren tidak hanya menerima santri yang mondok, tapi juga masyarakat sekitar yang hendak mengaji, lalu pulang ke rumah masing-masing.

c. Kita ajar sendiri. Tapi, hal ini jarang terjadi karena keadaan, kesibukan kerja, aktivitas organisasi dan berbagai alasan lain.

Bagaimana ketika anak kita kuliah? Masihkah perlu mengaji?

Mengaji tidak dibatasi oleh kegiatan akademik, gelar, kedudukan bahkan usia.
Mengaji menunjukkan keseriusan kita mendalami ajaran agama.
Mengaji termasuk salah satu wujud pengabdian kita kepada Allah.

2. Senantiasa mendoakan anak walaupun kita rasa mereka sudah besar

Terkadang kita lupa mendoakan anak dengan alasan mereka sudah 17 tahun ke atas. Apalagi kalau sudah disibukkan berbagai urusan. “Anak kita kan sudah besar. Sudah mengerti benar dan salah. Mereka bisa menjaga diri sendiri,” argumen kita.

Mari kita pelajari lagi ta‘awwudz.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.

Mari kita dalami lagi ta‘awwudz. Kepada Siapakah kita berlindung?. Dengan begitu, Siapakah yang melindungi kita?.

Jadi, jangankan anak kita, kita sendiri pun hakekatnya tidak bisa menjaga diri sendiri. Hanya kepada Allah-lah kita memohon perlindungan. Apalagi, tidak mungkin 24 jam penuh kita bisa senantiasa mengetahui gerak-gerik anak kita. Jika memang demikian adanya, apakah kita masih merasa mendoakan anak tidak perlu dengan dalih anak kita sudah dewasa?

Agar lebih memantapkan hati, mari kita baca dan resapi lagi surah mu‘awwidzatayn, yaitu QS al-Falaq [113] dan QS an-Nâs [114]. Doa orang tua terhadap anak termasuk doa yang manjur/mujarab/dikabulkan Allah.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ : دُعَاءُ اْلوَالِدِ عَلىَ وَلَدِهِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

Tiga doa yang dikabulkan oleh Allah, yaitu doa orang tua untuk anaknya, doa orang yang dizhalimi dan doa musafir. (HR Baihaqi)


3. Mendidik anak menghormati guru.

Guru, baik guru les, kursus, sekolah, mengaji maupun kuliah termasuk orang tua. Jadi, dosen di kampus atau ustadz yang mengajar mengaji adalah guru. Entah mengapa saat ini sebagian kecil kita menganggap hubungan murid dan guru sebagai transaksi bisnis. Guru penyedia jasa sedangkan murid (dalam hal ini orang tua murid) sebagai pengguna jasa. Orang tua murid membayar, guru dibayar. Selesai.

Sayyidina Ali kw. mengungkapkan betapa agungnya seorang guru sebagaimana tercantum di kitab Ta‘lîm al-Muta‘allim:

أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِيْ حَرْفًا

Aku adalah budak (sahaya) orang yang mengajariku satu huruf.

Al-Ghazali menukil perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya.

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Keutamaan seorang alim dari seorang abid seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian, kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya Allah, MalaikatNya serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. Tirmidzi. Hadits hasan gharib shahih)

Di sisi lain, seorang guru juga harus senantiasa introspeksi diri. Ya, sama-sama introspeksi dirilah.

Salah satu contoh menghormati guru yaitu saat lebaran, anak diminta silaturrahim ke rumah guru.

Bukankah sudah seharusnya yang lebih muda mendatangi yang lebih tua?
Bukankah sudah semestinya murid meminta maaf terlebih dahulu kepada guru?

Hanya saja, bila memang keadaan tidak memungkinkan, misalnya karena sang guru mudik sehingga hanya bisa bersua saat sekolah/kuliah/mengaji dimulai, boleh-boleh saja meminta maaf saat bertemu. Namun sebaiknya, tetap bersilaturrahim ke kediaman guru setelah itu.

Wallâhu a‘lam.


Daftar Pustaka:

  • Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits

Tulisan ini lanjutan dari : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

1 comment: