3. Anak adalah ladang tempat beramal
Mendidik anak termasuk ibadah. Bila kita mengajari anak shalat, maka ketika ia shalat, ia mendapat pahala, kita mendapat pahala juga. Jika ia mengajar orang lain shalat, maka ketika orang itu shalat, ia mendapat pahala, anak kita mendapat pahala, begitu pula kita. Hal ini berlangsung selamanya (amal jariyah). Keadaan yang sama berlaku pula untuk berbagai macam aktivitas ibadah lainnya.
Siapa memberi contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Mencari nafkah lalu hasilnya untuk anak dan istri, serta diniati demi meraih keridhaan Allah berpahala sangat besar.
Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya. (HR Bukhari dan Muslim. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Bukhari)
Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap keridhaan Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu. (HR Muslim)
Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dinafkahkan untuk keluarganya, dan dinar yang dibelanjakan oleh seseorang untuk tunggangannya dalam jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dinar yang diinfakkan oleh seseorang untuk teman-temannya di jalan Allah. (HR. Muslim)
Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. (HR. Muslim)
4. Anak adalah guru kita
Telah dinasihatkan kepada kita,
“Perhatikan apa yang diucapkan, dan jangan melihat siapa yang bicara.”
Jika memang demikian adanya, mengapa kita harus malu belajar kepada anak sendiri? Mengapa kita harus gengsi berguru kepada anak sendiri? Mengapa kita harus enggan menimba ilmu dari anak kita sendiri? Mengapa kita harus ogah-ogahan memetik hikmah dari anak kita sendiri?
Kalimat-kalimat bijak pun telah disampaikan,
“Ambillah ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun harus memungutnya dari pinggir jalan.”
“Sebuah intan, walaupun keluar dari mulut binatang, tetaplah sebuah intan.”
“Ambillah hikmah/ilmu sekalipun keluar dari mulut binatang”
Mungkin kita bertanya, “Iya kalau anak kita sudah berpendidikan tinggi. Bagaimana bila ia belum sekolah? Bagaimana cara memetik pelajaran darinya?”
Mari bersama-sama belajar kepada balita.
Lihatlah balita! Betapa mereka senantiasa ceria tanpa peduli apakah pakaian yang dikenakan baru beli atau bekas pungutan di tempat sampah.
Lihatlah balita! Betapa mereka tak menaruh rasa dendam walau baru saja berselisih paham dengan teman sepermainan.
Lihatlah balita! Betapa mereka segera berdiri dan berlari ketika terjatuh. Bandingkan dengan kita yang setelah terjatuh, lalu meratap, menangis, menyesali keadaan, baru beranjak perlahan-lahan untuk berdiri.
Lihatlah balita! Betapa mereka mau dinasihati siapa pun, berbeda dengan kita yang kadang merasa lebih hebat dari orang lain sehingga tak selayaknya dinasihati.
Lihatlah balita! Wajah-wajah tanpa dosa, sedangkan kita berlumuran noda dan dosa.
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). (HR Abu Daud, Ahmad, Baihaqi, Bukhari, Ibnu Hibban, Malik, Muslim, Thabrani dan Tirmidzi)
5. Anak bisa menjadi penolong kita, baik di kehidupan ini maupun ketika kita sudah meninggal
Siapa sih yang bisa hidup sendirian di muka bumi ini?
Siapa sih yang tak memerlukan orang lain di kehidupan ini?
Siapa sih yang tidak membutuhkan pertolongan sesama di dunia ini?
Dengan kenyataan ini, anak bisa jadi penolong kita, baik di kehidupan ini maupun ketika kita sudah meninggal dunia.
Mungkin kita berargumen, “Bukankah sudah kewajiban seorang anak berbakti kepada orang tua? Bukankah itu berarti anak wajib menolong orang tua?”
Memang benar demikian adanya. Namun, itu semua berpulang kepada bagaimana cara kita mendidik anak kita—salah satu penolong kita.
Bukankah telah dikisahkan kepada kita tentang anak durhaka?
Bukankah telah kita saksikan dalam kenyataan hidup bagaimana seorang anak mendebat orang tuanya ketika dinasihati, padahal nyata-nyata sang anaklah yang bersalah?
Bukankah telah kita lihat dalam peristiwa sehari-hari bagaimana seorang anak tega melawan orang tuanya?
Sebagai salah satu bekal dalam menjaga dan mendidik buah hati—salah satu penolong kita, mari kita renungkan lagi sabda Rasulullah saw.
Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah budi pekertinya. (HR Ibnu Majah)
Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya. (HR. Muslim)
Daftar Pustaka:
Tulisan ini lanjutan dari : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (3 of 3)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
Mendidik anak termasuk ibadah. Bila kita mengajari anak shalat, maka ketika ia shalat, ia mendapat pahala, kita mendapat pahala juga. Jika ia mengajar orang lain shalat, maka ketika orang itu shalat, ia mendapat pahala, anak kita mendapat pahala, begitu pula kita. Hal ini berlangsung selamanya (amal jariyah). Keadaan yang sama berlaku pula untuk berbagai macam aktivitas ibadah lainnya.
مَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
Siapa memberi contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Mencari nafkah lalu hasilnya untuk anak dan istri, serta diniati demi meraih keridhaan Allah berpahala sangat besar.
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya. (HR Bukhari dan Muslim. Adapun lafazh hadits menurut riwayat Imam Bukhari)
وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى الْلُقْمَة تَجْعَلُهَا فِي فِيِّ امْرَأَتِكَ
Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap keridhaan Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu. (HR Muslim)
أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ
Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dinafkahkan untuk keluarganya, dan dinar yang dibelanjakan oleh seseorang untuk tunggangannya dalam jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dinar yang diinfakkan oleh seseorang untuk teman-temannya di jalan Allah. (HR. Muslim)
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. (HR. Muslim)
4. Anak adalah guru kita
Telah dinasihatkan kepada kita,
اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
“Perhatikan apa yang diucapkan, dan jangan melihat siapa yang bicara.”
Jika memang demikian adanya, mengapa kita harus malu belajar kepada anak sendiri? Mengapa kita harus gengsi berguru kepada anak sendiri? Mengapa kita harus enggan menimba ilmu dari anak kita sendiri? Mengapa kita harus ogah-ogahan memetik hikmah dari anak kita sendiri?
Kalimat-kalimat bijak pun telah disampaikan,
“Ambillah ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun harus memungutnya dari pinggir jalan.”
“Sebuah intan, walaupun keluar dari mulut binatang, tetaplah sebuah intan.”
خُذِ الْحِكْمَةَ وَلَوْ مِنْ فَهْمِ الْبَهَائِمِ
“Ambillah hikmah/ilmu sekalipun keluar dari mulut binatang”
Mungkin kita bertanya, “Iya kalau anak kita sudah berpendidikan tinggi. Bagaimana bila ia belum sekolah? Bagaimana cara memetik pelajaran darinya?”
Mari bersama-sama belajar kepada balita.
Lihatlah balita! Betapa mereka senantiasa ceria tanpa peduli apakah pakaian yang dikenakan baru beli atau bekas pungutan di tempat sampah.
Lihatlah balita! Betapa mereka tak menaruh rasa dendam walau baru saja berselisih paham dengan teman sepermainan.
Lihatlah balita! Betapa mereka segera berdiri dan berlari ketika terjatuh. Bandingkan dengan kita yang setelah terjatuh, lalu meratap, menangis, menyesali keadaan, baru beranjak perlahan-lahan untuk berdiri.
Lihatlah balita! Betapa mereka mau dinasihati siapa pun, berbeda dengan kita yang kadang merasa lebih hebat dari orang lain sehingga tak selayaknya dinasihati.
Lihatlah balita! Wajah-wajah tanpa dosa, sedangkan kita berlumuran noda dan dosa.
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). (HR Abu Daud, Ahmad, Baihaqi, Bukhari, Ibnu Hibban, Malik, Muslim, Thabrani dan Tirmidzi)
5. Anak bisa menjadi penolong kita, baik di kehidupan ini maupun ketika kita sudah meninggal
Siapa sih yang bisa hidup sendirian di muka bumi ini?
Siapa sih yang tak memerlukan orang lain di kehidupan ini?
Siapa sih yang tidak membutuhkan pertolongan sesama di dunia ini?
Dengan kenyataan ini, anak bisa jadi penolong kita, baik di kehidupan ini maupun ketika kita sudah meninggal dunia.
Mungkin kita berargumen, “Bukankah sudah kewajiban seorang anak berbakti kepada orang tua? Bukankah itu berarti anak wajib menolong orang tua?”
Memang benar demikian adanya. Namun, itu semua berpulang kepada bagaimana cara kita mendidik anak kita—salah satu penolong kita.
Bukankah telah dikisahkan kepada kita tentang anak durhaka?
Bukankah telah kita saksikan dalam kenyataan hidup bagaimana seorang anak mendebat orang tuanya ketika dinasihati, padahal nyata-nyata sang anaklah yang bersalah?
Bukankah telah kita lihat dalam peristiwa sehari-hari bagaimana seorang anak tega melawan orang tuanya?
Sebagai salah satu bekal dalam menjaga dan mendidik buah hati—salah satu penolong kita, mari kita renungkan lagi sabda Rasulullah saw.
أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا أَدَبَهُمْ
Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah budi pekertinya. (HR Ibnu Majah)
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya. (HR. Muslim)
Daftar Pustaka:
- I. Solihin, Drs, “Terjemah Nashaihul Ibad (karya Imam Nawawi al-Bantani)”, Pustaka Amani Jakarta, Cetakan ke-3 1427H/2006
- Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
Tulisan ini lanjutan dari : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (1 of 3)
Tulisan ini berlanjut ke : Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (3 of 3)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment