Mencari Data di Blog Ini :

Friday, April 8, 2011

Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (1 of 3)

Sebuah rumus umum telah dikemukakan, “Bagaimana kita memperlakukan sesuatu tergantung dari bagaimana kita menganggapnya.”

Misal tentang pakaian.

Pegawai kantor yang sering berhubungan dengan pelanggan akan menganggap bahwa pakaian sangat penting bagi kepribadian, kelancaran bisnis dan kinerja. “Ajining raga ono ing busana,” kata pepatah Jawa. Tentu ia akan menggunakan pakaian yang sudah disetrika licin harum pula. Bahkan secara hiperbolik bisa dikatakan, “Andaikan ada lalat menempel di baju, ia akan tergelincir.” :)

Hal ini berbeda dengan tukang kayu/bangunan. Bagi mereka, yang penting sudah dicuci dan tidak najis. Oleh karena itu, belum pernah penulis temukan ada pekerja bangunan menggunakan kemeja lengan panjang yang disetrika licin. ;)

Begitu pula dengan anak. Bagaimana kita mendidiknya tergantung dari bagaimana kita menganggap anak bagi diri kita.

1. Anak adalah anugerah

Untuk mengetahui karunia anak, salah satunya kita bisa bertanya kepada pasutri yang lama belum diberi momongan. Seseorang pernah bercerita kepada penulis, “Saya cukup lama menunggu momongan, sekitar 8 tahun. Terasa gundah gulana. Lalu, saya ingat bahwa sebelum menikah saya pernah berkata agar nanti punya anak kalau sudah punya rumah. Mungkin omongan ini jadi doa sehingga setelah punya rumah sendiri—masa 8 tahun pernikahan—barulah saya punya buah hati.”

Kisah tersebut memberi pelajaran kepada kita betapa bahagianya memiliki putra/i. Kisah tersebut juga memberi nasihat kepada kita agar senantiasa menjaga ucapan. Namun, bila sudah terlanjur terucap, maka solusinya adalah memohon ampun (istighfar) kepada Allah atas ucapan tersebut.

Senantiasa memahami dan mengingat bahwa anak adalah anugerah akan membuat kita senantiasa bersyukur kepada-Nya.

Bersyukur adalah ikrar bahwa kita akan menggunakan semua nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya.

Bersyukur adalah keyakinan bahwa kita selalu berada dalam curahan rahmat dan kasih sayang-Nya; bahwa Allah tidak akan membiarkan kita sendirian.

Bersyukur merupakan tanda kebesaran jiwa, kesungguhan iman dan keagungan Islam yang bertahta dalam jiwa.

Bersyukur menunjukkan kepercayaan kita kepada Allah bahwa Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kita, seperti yang telah dijanjikan dalam Al-Qur’an al-Karim.

Bersyukur adalah jalan mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan dalam hidup.

Bersyukur termasuk kewajiban manusia, karena manusialah yang paling banyak menerima anugerah nikmat dari Ilahi.

رَبِّ أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْـكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْ أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰـهُ وَأَصْلِحْ ِليْ ِفيْ ذُرِّيَتِيْصلىإِنِّيْ تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Ya Tuhanku, perkenankanlah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan atasku dan atas kedua orang tuaku, dan bahwasanya aku hendak beramal shaleh yang Engkau ridhai, dan berilah kebaikan untukku dan untuk keturunanku, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan sesungguhnya aku dari (golongan) orang-orang yang telah menyerahkan diri (mengabdi kepada-Mu). (QS al-Ahqâf [46]: 15)

Telah dinasihatkan kepada kita, “Bersyukurlah atas yang sedikit agar engkau pandai mensyukuri yang banyak. Demikian juga, bersyukurlah atas yang kecil, agar Yang Maha Besar menerima syukurmu sebagai pujian.”

Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa yang tidak mengetahui begitu berharganya nikmat ketika kenikmatan itu besertanya, maka ia akan menyadari betapa berartinya nikmat itu setelah pergi meninggalkannya.”

As-Saqaty menerangkan, “Siapa yang tidak dapat menghargai nikmat, maka akan dicabutlah nikmat itu oleh Allah dalam keadaan tidak diketahuinya.”

Al-Fudhail mengingatkan, “Tetaplah kamu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Sebab, apabila nikmat itu telah hilang, tidak mungkin ia kembali. Sesungguhnya hanya orang-orang yang haus akan nikmat Allah sajalah yang lebih mengetahui akan nikmat yang ada di tangannya.” Seperti dikisahkan, hanya orang haus sajalah yang memahami nikmat air, hanya orang lapar sajalah yang mengetahui nikmat makan, serta hanya orang sakit yang memahami nikmat sehat.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur terdiri atas ilmu, hâl (kondisi spiritual) dan amal perbuatan.

• Ilmu
Mengetahui tiga hal, yaitu nikmat itu sendiri, segi keberadaannya sebagai nikmat baginya dan Dzat yang memberikan nikmat serta sifat-sifat-Nya. Maka, syukur dapat terlaksana apabila menyadari adanya nikmat, Pemberi nikmat dan penerima nikmat.

Hâl (kondisi spiritual)
Kegembiraan kepada Pemberi nikmat (Allah) yang disertai kepatuhan dan tawadhu‘.

• Amal perbuatan
Ungkapan kegembiraan atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah, Sang Pemberi Nikmat, kepadanya. Amal perbuatan ini mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota badan

2. Anak adalah amanah

Jika ada presiden/raja menitipkan putra/i-nya kepada kita agar diasuh, bagaimana cara kita mengasuhnya? Apa kita akan memarahinya tiap hari? Membentaknya bila ia tak mengerti ucapan kita? Memukulnya saat ia berbuat kesalahan?

Kita tentu menyadari sepenuhnya bahwa anak adalah amanah. Kalau terhadap anak presiden/raja saja kita berlaku sebaik-baiknya, lantas apa perlakuan kita terhadap amanah dari Allah SWT, yaitu anak kita? Mengapa kita terkadang bahkan seringkali kurang bijak dalam mendidik anak kita? Kurang telaten dalam mengajari? Kurang adil dalam memperlakukan?

Apa kita merasa toh itu anak kita sendiri, bukan anak orang lain?
Apa kita merasa toh itu darah daging kita?
Apa kita merasa toh itu keturunan kita?
Apa kita merasa toh kita orang tuanya?
Apa kita merasa bahwa anak adalah hak milik mutlak orang tuanya?

Anak kita, bahkan kita sendiri hakikatnya milik Allah.


إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhya kepada-Nya kami kembali (QS al-Baqarah[2]: 156)

Rasulullah saw. pun telah mengingatkan kita akan tanggung jawab kita.

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang kepala negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabann. Seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya serta terhadap anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang pembantu adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban. Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari dan Muslim )


Daftar Pustaka:
  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006

Tulisan ini berlanjut ke :
Kita Menganggap Anak Kita Sebagai Apa? (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment