Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 19, 2009

Hitam dan Putih, di Manakah Warna Lainnya? (2 of 2)

Di kitab “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”, pada saat membasuh wajah ketika berwudhu, kita pun diajarkan untuk membaca doa,

اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ

“Ya Allah, putihkanlah wajah hamba pada hari ketika wajah-wajah tampak putih bersinar dan ada pula wajah-wajah yang terlihat hitam muram.”

Peribahasa juga mengatakan, “Hitam-hitam bendi, putih-putih sadah” yang artinya yang hina tetap hina meskipun kaya, sedangkan yang mulia tetap mulia walaupun miskin.

Karena perumpamaan-perumpamaan seperti di tulisan sebelumnya, peribahasa dan doa di ataslah maka analogi kebaikan dan kejahatan adalah warna putih dan hitam. Selain itu, warna putih disepakati sebagai lambang kesucian dan hitam adalah kegelapan. Bukankah warna bendera kita adalah Merah-Putih, adapun warna putih tersebut melambangkan kesucian?

Mungkin teman penulis terlalu kreatif, sehingga dia benar-benar menyandingkan semua warna dengan kebaikan atau tidak. Kalau memang warna putih adalah kebaikan, sedangkan hitam adalah kegelapan; lantas warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu (me-ji-ku-hi-bi-ni-u) itu diibaratkan apa? Apa yang bisa mewakili warna-warna tersebut dalam kehidupan? Kalau hanya ada hitam dan putih, lalu buat apa Tuhan menciptakan warna? Apakah kita tidak mengetahui bahwa banyaknya warna adalah sebuah keindahan?

“Bukankah warna putih dihasilkan dari perpaduan tujuh warna pelangi?,” tulis Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA pada saat menjabat Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya di sebuah surat kabar tentang training ESQ untuk mahasiswa baru ITS.

Jadi, kita tidak perlu merisaukan lagi di mana warna-warna yang lain, bukan? Warna-warna itu telah menyatu membentuk warna putih. Warna putih tidaklah berdiri sendiri, ia tercipta oleh kesatuan yang indah dari sekian banyak warna. Semua perilaku atau pekerjaan yang kita niatkan sebagai ibadah adalah warna-warna pembentuk warna putih. Semuanya tampak indah, karena sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Indah dan menyukai keindahan (Innallâha Jamîlun yuhibbul jamâl).

Dunia ini banyak pilihan, penuh rupa dan banyak warna. Tentang dongeng kepada anak-cucu, kiranya banyak sekali cerita kebaikan dan hikmah yang bisa kita kisahkan. Dan, sepanjang usia kita yang cuma sebentar, kisah-kisah itu tidak akan pernah habis diceritakan. Tak ada seorang pun di dunia ini yang mengetahui semua kisah baik dan bermanfaat. Semua itu karena keterbatasan hidup kita di negeri fana ini.

Jika kita bangga pada kemaksiatan yang pernah kita lakukan, lalu sekarang kita merasa sudah bertaubat, apakah kita yakin bahwa kita pasti masuk surga? Bukankah kita memang diciptakan untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya? Apakah ada perintah bahwa bertaubat itu kalau sudah tua? Sudah diberitahukah kita tentang kapan datangnya maut?

Janganlah kita mengejek orang yang berusaha lurus-lurus saja dalam hidup ini. Semua yang kita lakukan adalah untuk diri kita sendiri. Kalau Allah mau, Allah bisa saja menjadikan semua manusia sebagai satu umat, dan semuanya taat kepada-Nya. Atau, Allah menjadikan semua yang ada halal, tidak ada larangan dan perintah untuk berbakti kepada-Nya. Namun, bila itu yang terjadi, lantas buat apa ada akhirat? Kenapa Allah menciptakan surga dan neraka? Mengapa surga bertingkat-tingkat?

Allah menghendaki dunia ini sebagai tempat bertemunya dua hal yang saling berlawanan, dua jenis yang saling bertolak belakang, dua kubu yang saling berseberangan—yakni baik dan buruk. Setelah itu, Allah akan mengumpulkan semua kebaikan, kebagusan dan kebahagiaan di surga. Adapun yang buruk akan dikumpulkan di neraka.

Ada juga sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik—entah serius atau sekadar guyonan, “Jika nanti wajah-wajah berubah putih, bukankah menyeramkan? Jadi aneh, kan?”

Jawaban penulis sederhana saja, “Kalau kita ke warung atau rumah makan lalu pesan air putih, apakah kita dikasih air susu yang berwarna putih ataukah air bening?” Hakekat sesungguhnya makna wajah menjadi putih hanya Allah Yang Maha Tahu. Namun, secara umum bisa disimpulkan bahwa wajah menjadi berseri-seri dan bercahaya.

Sebagai penutup, supaya selalu di jalan-Nya yang lurus, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :

اللَّهُمَّ أَرِناَ الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْـتِنَابَهُ

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang salah itu salah, dan berilah kekuatan kepada kami untuk menjauhinya, amin.


Daftar Pustaka :
  • Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
  • Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Bahrun Abu Bakar, Lc, dan Anwar Abu Bakar, Lc, “Khasiat Zikir dan Doa – Terjemah Kitab Al-Adzkaarun Nawawiyyah”, Penerbit Sinar Baru Algensindo, Cetakan I : Rabiul Awal 1416/Agustus 1995

Tulisan lanjutan dari : Hitam dan Putih, di Manakah Warna Lainnya? (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

1 comment: