Kadang kita keliru
memahami makna ikhlas. Misal kita sebenarnya bisa sedekah Rp 20.000,-. Tapi,
kita berpikir, “Ah Rp 5.000,- saja cukup. Kan yang penting ikhlas.”
Peristiwa ini
sebenarnya bukan tentang keikhlasan. Kejadian ini menunjukkan kita pelit tapi
dengan dalih keikhlasan. Ini menunjukkan kita belum mengerti apa yang disebut
ikhlas.
Berbeda kasus bila
memang karena keperluan sehingga kita bisanya Rp 5.000,-. Maka, menyumbang Rp
5.000,- sudah cukup dan tidak perlu berkata apa-apa lagi. Bila ada yang
menyindir kita kok hanya menyumbang sedikit, tak perlu ditanggapi apalagi
membela diri, “Yang penting kan ikhlas!”
Komentar seperti
ini justru menunjukkan kita masih terpengaruh adanya pujian atau sindiran dalam
kebajikan. Ini berarti kita belum ikhlas beramal.
Lantas, bagaimana
dengan kasus kita bisa sedekah Rp 20.000,- tapi hanya sedekah Rp 5.000,-?
Yang harus kita
lakukan adalah menyadari kelemahan kita, yaitu kita masih memiliki sifat kikir.
Ini penting, karena kesadaran akan membawa kita menuju kebaikan.
Langkah selanjutnya,
kita tetap sedekah Rp 5.000,- tanpa berdalih apa pun, sambil senantiasa memohon
kepada Allah agar menerima amal kita dan menjauhkan kita dari sifat pelit.
Dengan istiqamah
beramal walau sedikit disertai doa, insya Allah akan membuat diri kita semakin hari
semakin banyak beramal.
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوْذُبِكَ
مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوْذُبِكَ
مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap ragu-ragu untuk
bertindak dan kesedihan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari lemah bertindak
(pesimis/putus asa) dan malas. Dan aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut
dan kikir. Dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan penindasan
(tindak semena-mena) orang-orang kepadaku.
(HR Abu Daud)
Lebih lanjut
tentang ikhlas, Imam Nawawi al-Bantani membagi keikhlasan menjadi tiga
tingkatan:
a. Beribadah Agar
Terhindar dari Neraka
Di kitab “Qawâ‘id
al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm” pasal “Penjelasan
Ikhlas dalam Ibadah dan Jenis-Jenis Ketaatan” Imam ‘Izzuddin bin Abdus Salam
juga menerangkan bahwa tingkatan pertama orang beribadah adalah karena takut
siksa.
مِنْهَا
أَنْ يَفْعَلَهَا خَوْفًا مِنْ عَذَابٍ
Di tingkat ini kita diibaratkan seperti budak yang
bekerja demi menjalankan perintah tuannya agar tidak dihukum. Untuk diketahui,
di zaman Jahiliah, yang dimaksud budak adalah seseorang yang tidak memiliki apa
pun. Ia hak milik mutlak tuannya. Bila ia punya uang, otomatis menjadi milik
tuannya. Bahkan dirinya sendiri dimiliki tuannya.
Dengan kondisi ini, seorang budak tidak mendapat upah
atas kerja keras yang dilakukan. Ia melaksanakan semua pekerjaan demi
menghindari hukuman dari sang pemilik.
Bila kita beramal/beribadah semata-mata agar terhindar
dari neraka, kemungkinan—sekali lagi kemungkinan, karena
pada prinsipnya tergantung pribadi masing-masing—ibadah yang kita lakukan sebatas memenuhi syarat dan rukun sehingga
gugur kewajiban (tidak berdosa). Ini terlihat dari enggannya kita memperbaiki
kualitas ibadah wajib. Kita merasa yang penting sudah shalat walau sendirian
(tidak berjamaah). Kita juga kurang gairah memperbanyak ibadah-ibadah sunnah.
Di buku “Ushul Fiqih” Prof. Muhammad Abu Zahrah
mengutip pendapat Imam Syathibi bahwa ibadah-ibadah sunnah merupakan latihan
jiwa yang dapat mendorong melaksanakan ibadah fardhu.
Siapa mau mengerjakan ibadah sunnah secara kontinyu, pasti
ia akan mau menjalankan ibadah fardhu yang wajib dikerjakan secara kontinyu.
Sebaliknya, orang yang malas mengerjakan ibadah sunnah, hal itu menunjukkan
kemalasan dalam menjalankan ibadah fardhu.
Beberapa pertanyaan sederhana berikut ini bisa
dijadikan salah satu tolok ukur apakah kita termasuk di level ini atau tidak:
“Apakah kita sudah fasih membaca Al-Qur’an? Bila
belum, apa kita masih tetap mengaji saat ini guna mencapai kefasihan dalam
membaca kalam Ilahi?”
“Apakah kita berusaha semampu kita menjalankan shalat
sunnah rawatib (Qabliyah/Ba’diyah) serta shalat sunnah lainnya?”
“Apakah kita senantiasa mengikuti pengajian rutin
dalam rangka memperdalam keilmuan? Dan di pengajian tersebut, kita bukan hanya
mendengar pasif, tapi juga membawa kitab dan mencatat layaknya seorang santri
di pesantren atau siswa di sekolah?”
b. Beribadah Supaya
Masuk Surga
Di posisi ini kita berlaku bak seorang pegawai yang
bekerja demi mendapat gaji/upah. Mari kita perhatikan bagaimana sikap pegawai.
Seorang pegawai mau diperintah melakukan hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaan karena ada imbalan (gaji) yang sudah disepakati.
Apabila ada hal-hal lain yang harus dikerjakan di luar kebiasaan, misalnya
lembur, harus ada upah tambahan.
“Kalau tidak ada uang lembur, itu namanya kerja
bakti!” Demikian ungkapan yang sering kita dengar.
Jika kita beramal/beribadah semata-mata supaya masuk
surga, biasanya—sekali lagi biasanya, karena pada
prinsipnya tergantung pribadi masing-masing—ibadah wajib telah kita lakukan dengan lebih baik, misalnya dengan
shalat berjamaah. Begitu pula dengan ibadah sunnah, kita sudah melaksanakan
shalat-shalat nafilah dan lainnya.
Hanya saja ibadah sunnah yang kita lakukan mengikuti
prinsip “secukupnya”. Misal kita sudah baca Al-Qur’an satu/dua maqra’ setiap
hari. Kita merasa sudah cukup baik dengan kondisi ini sehingga semangat untuk
meningkatkan kurang bahkan mungkin tidak ada. Alasan kita toh itu sudah baik
apalagi dibandingkan orang lain dan kita juga telah bersedekah serta
ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Misbahus Surur,
“Dahsyatnya Shalat Tasbih”, Qultum Media, 2009
M. Ma’shum Zainy Al-Hasyimiy, Drs. MA, “Pengantar Memahami Nadzom
Al-Faroidul Bahiyyah—Juz 1”, Penerbit Darul Hikmah, Cetakan
Pertama: Januari 2010
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment