Mencari Data di Blog Ini :

Friday, January 20, 2012

Walau Sedikit, yang Penting Ikhlas?! (1 of 4)

Terkadang kita berdalih, “Walau sedikit, yang penting kan ikhlas!” Entah apa maksud kita berkata seperti itu, apa sebagai penegasan bahwa kita memang sangat ikhlas ataukah cuma pembelaan diri karena ada orang menyindir kita.
Sejatinya, ikhlas tidak membutuhkan penegasan lisan, misalnya dengan ucapan,
“Saya ikhlas banget kok!”
“Bener, saya lakukan ini dari hati yang paling dalam!”
“Suwer, ngga ada udang di balik batu!”
“Sungguh, saya tak mengharap imbalan apa pun!”
“Saya tulus setulus-tulusnya!”
Semua ungkapan/ucapan di atas sama sekali tidak membuktikan keikhlasan kita.


Indah nian mawar merekah
Harum semerbak menggoda indra
Kalau memang niat sedekah
Jangan lagi hal itu dikata
Ikhlas itu antara kita dan Allah.
Ikhlas mengandung pengertian kita melupakan amal baik yang telah kita lakukan.
Ikhlas berarti tak ada perbedaan antara pujian dan makian.
Kalau kita masih bersilat lidah menjawab sindiran orang karena kita sedekah atau beramal sedikit, bisa jadi hal itu justru menunjukkan ketidakikhlasan kita. Kita masih terpengaruh adanya sindiran atau cacian.
Seharusnya, apa pun kata orang, tak perlu ditanggapi. Kita sedekah karena Allah, bukan untuk menyenangkan orang lain, agar terpandang di mata masyarakat, mendapat pujian, menghindari sindiran atau yang lain.
Timbul pertanyaan yang lazim dikemukakan, “Lebih baik mana, sedekah banyak tapi tidak ikhlas ataukah sedikit tapi ikhlas?”
Ada jawaban guyonan, “Banyak dan ikhlas lebih baik lagi.” J Tapi bukan ini jawaban yang diinginkan.
Mari kita ingat lagi hakikat hidup ini. Hidup ini antara kita dan Allah, antara hamba (âbid) dan Yang Disembah (Ma‘bûd). Allah memerintahkan kita agar ikhlas dalam pengabdian kepada-Nya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS al-Bayyinah [98]: 5)
Penulis kitab Bahjatun Nâzhirîn–syarah Riyadhush Shalihin–Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaly menguraikan:
اْلإِخْلاَصُ هُوَ أَنْ يُرَادَ بِاْلعَمَلِ وَجْهَ اللهِ تَعَالىَ لاَ غَيْرَهُ، وَذَلِكَ أَحَدُ شُرُوْطِ قَبُوْلِ اْلعَمَلِ
Ikhlas itu melaksanakan amal semata-mata mencari ridha Allah, bukan lainnya. Ikhlas termasuk salah satu syarat diterimanya amal.
Di kamus Lisânul ‘Arab karya Ibnu Manzhur dijelaskan:
وَاْلإِخْلاَصُ فِي الطَّاعَةِ تَرْكُ الرِّيَاءِ
Ikhlas dalam ketaatan yaitu meninggalkan riya
Ikhlas adalah ruh amal, karena itu harus terbebas dari penyakit-penyakit amal, yaitu riya’ & sumah. Riya’ berasal dari kata raa, yaitu menampakkan amal shaleh agar dilihat orang lain supaya mendapat penghargaan atau kedudukan. Adapun sum‘ah berasal dari kata sami‘a, artinya menceritakan amal shaleh agar didengar orang lain supaya dipuji.
Dengan demikian ikhlas harus diutamakan, bukan banyaknya uang sedekah. Tentu hal ini berbeda dengan zakat yang memang sudah ada prosentase perhitungannya.
Mungkin kita akan berargumen, “Misal kampung kita sedang membangun masjid. Kalau setiap orang berprinsip yang penting ikhlas, kapan dong selesainya? Yang penting masjid jadi dulu, masalah ikhlas atau tidak, itu urusan masing-masing.”
Mari kita kaji lagi tentang ikhlas.
Dzun Nun al-Mishri menerangkan, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang amal perbuatannya, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya—bahkan di kampung akhirat nanti.”
Ibnu Juraij menasihatkan, “Apabila kamu telah mengerjakan perbuatan baik, janganlah kamu katakan telah mengerjakannya.”
“Saya tidak pernah menganggap baik pada amal ibadah saya,” kata Abu Sulaiman, “saya cukup dengan berbuat saja.”
Ada pula sebagian ustadz yang menjelaskan bahwa ikhlas mirip seperti buang hajat. Adakah selesai buang hajat kita merasa menyesal? Senantiasa menyebut di setiap waktu atau saat berjumpa orang bahwa kita telah buang hajat? Tentu kita akan segera melupakan dan tak pernah mengingat-ingat lagi.
Dengan demikian, ikhlas berarti melupakan bahwa diri pernah beramal. Hal ini yang akan menjadi energi positif untuk terus beramal. Keikhlasan akan membimbing kita untuk malu kepada Allah kalau punya uang berlebih tapi sedikit sedekah.

Daftar Pustaka

Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, Riyâdhush Shâlihîn” 
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
Achmad Faisol, “Muhâsabah (Introspeksi Diri)Apakah Implementasi Keberagamaan (Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal Ula 1432 H
Salim bin ‘Id al-Hilaly, asy-Syaikh, Bahjatun Nâzhirîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn”

Software:
Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâlits


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...# 

0 comments:

Post a Comment