Sebagaimana konvensi tahun
baru, kita berlomba-lomba membuat janji/resolusi untuk perbaikan atau
peningkatan diri. Hal ini dilakukan dengan dalih sesuai nasihat agar hari ini
harus lebih baik daripada kemarin dan esok harus lebih baik daripada hari ini.
Seperti pepatah “Bisa Karena Biasa”, kita pun menjadi sangat ahli dalam menyusun rencana kerja.
Berbagai resolusi kita buat demi menyongsong datangnya tahun baru, fajar baru,
harapan baru de-el-el yang baru-baru.
Namun, keahlian kita dalam
membuat program kerja terkalahkan oleh keahlian kita yang lain, yaitu keahlian
dalam menunda pelaksanaannya serta keahlian dalam membuat beribu alasan sebagai
pembenaran kita tidak mengerjakan program/resolusi kita.
Entah sudah berapa banyak
resolusi yang kita buat di tahun-tahun sebelumnya. Entah sudah berapa resolusi
yang kita laksanakan sesuai agenda. Entah sudah berapa banyak pula penundaan
yang kita lakukan dengan berbagai argumentasi. Apakah resolusi dan semacamnya
hanya sebuah seremonial belaka?
Haruskah tahun ini kita membuat resolusi baru? Haruskah tahun ini kita
muhasabah lagi? Apakah poin-poin muhasabah tahun lalu sudah terlaksana? Apakah
muhasabah tahun lalu sudah berbuah?
Bila melihat hasil muhasabah tahun-tahun yang telah lewat, bisa jadi kita
belum melihat buahnya, bahkan kembang pun mungkin belum mekar. Namun demikian,
menjelang tahun baru ini muhasabah tetap harus dilakukan dengan memperbaiki
lagi cara kita, agar ke depan kita bisa melaksanakan sebagian besar resolusi
yang kita buat, bahkan jika bisa seluruhnya, amin.
Kita memang diperintahkan untuk
Muhâsabah (audit,
evaluasi atau introspeksi) diri. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat). (QS al-Hasyr
[59]: 18)
Ini adalah
isyarat agar kita melakukan muhâsabah terhadap amal perbuatan yang telah kita lakukan. Umar
bin Khaththab ra. menasihatkan,
حَاسِـبُوْا
أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَـبُوْا
“Hitunglah dirimu (amal perbuatanmu), sebelum engkau di hitung
(kelak di akhirat)!”
Diriwayatkan bahwa Maimun bin Mahran berkata, “Seorang hamba tidak termasuk golongan
orang-orang yang bertakwa hingga ia menghisab dirinya lebih keras ketimbang
penghisabannya terhadap mitra usahanya; sedangkan dua orang yang bersekutu
dalam suatu usaha saling menghisab setelah bekerja.”
“Seorang mukmin
bertanggung jawab terhadap dirinya. Ia harus menghisab dirinya karena Allah.
Sesungguhnya proses hisab di akhirat menjadi ringan bagi orang-orang yang telah
menghisab diri mereka di dunia, dan sebaliknya—menjadi berat bagi orang-orang
yang mengambil perkara ini tanpa muhâsabah,” pesan
al-Hasan.
Di akhirat kelak, kita akan ditanya dengan
serentetan pertanyaan yang diajukan oleh Allah dan kita menjawabnya sendirian,
tak seorang pun bisa mewakili. Di hadapan pertanyaan-pertanyaan itu, setiap
manusia dibuat lemah, fakir dan hina.
كَفٰى بِنَفْسِكَ ٱلْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِـيْبًا
Cukuplah
dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu. (QS al-Isrâ’ [17]: 14)
Berkaitan dengan muhasabah, Al-Ghazali
menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat—misalnya selesai
shalat Subuh—untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah).
Pada kondisi itu, katakanlah kepada jiwa,
“Aku
tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka
habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari
keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini,
memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.
Seandainya aku diwafatkan oleh-Nya, niscaya aku
berharap untuk dikembalikan ke dunia satu hari saja sehingga aku bisa beramal
shaleh. Anggaplah wahai jiwa, bahwa engkau telah wafat, kemudian engkau
dikembalikan ke dunia lagi, maka jangan sampai engkau menyia-yiakan hari ini
karena setiap nafas merupakan mutiara yang sangat berharga.
Ketahuilah wahai jiwa bahwa sehari-semalam adalah
dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah pada hari ini untuk mengisi
lemarimu. Jangan kau biarkan dia kosong tanpa barang-barang simpanan. Janganlah
engkau cenderung kepada kemalasan, kelesuan dan kesantaian sehingga engkau
tidak dapat meraih derajat tinggi (‘illiyyîn) yang dapat
diraih orang lain, lalu engkau penuh sesal.”
Sebelum terlambat, marilah kita bersama-sama melakukan introspeksi dan
perhitungan terhadap diri sendiri. Dengannya, kita bermohon kepada Allah agar
di akhirat kelak, kita dimudahkan dalam segala perhitungan yang dilakukan atas
diri kita, amin.
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
‘Aidh
al-Qarni, Dr,
“Sentuhan Spiritual ‘Aidh
al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan
Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i
atas Pelbagai Persoalan Umat”,
Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”,
Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
0 comments:
Post a Comment