Mencari Data di Blog Ini :

Friday, July 2, 2010

Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (2 of 12)

b. Doa adalah visi dan misi

Dengan berdoa berarti kita menetapkan visi dan misi dalam kehidupan kita. Kita harus memiliki keinginan yang kuat (‘azam) untuk mewujudkan permohonan visi dan misi itu.

“Seseorang yang memiliki cita-cita, akan dengan senang hati tidur lebih akhir dan bangun lebih awal untuk mewujudkannya. Dia juga tidak akan membiarkan tubuh meminta istirahat sebelum waktunya. Dia akan memastikan tubuhnya patuh pada pikirannya dan tidak sebaliknya.” Demikianlah nasihat seorang motivator, Mario Teguh.


Kita adalah hamba Allah dengan derajat umum, bukan khusus. Jika kita mengharapkan kesejahteraan hidup, janganlah mengira tiba-tiba akan turun dari langit, satu peti berisi emas berkilauan, intan, berlian, zamrud dan permata. Semua itu harus sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk kita, yang oleh kebanyakan orang diterjemahkan sebagai hukum alam. Menurut Prof. M. Quraish Shihab, adalah salah kaprah jika sunnatullah diartikan hukum alam. Apa pun itu, kita tidak akan memperdebatkannya. Anggap saja bahwa apa yang terjadi di alam ini memang ada hukumnya.

Dan ternyata, sebagian mukjizat para Nabi dan karamah para wali juga bisa dijelaskan sesuai hukum yang berlaku, walaupun tidak sesempurna karunia Allah untuk para kekasih-Nya.

Mukjizat Nabi Isa as. yang bisa menyembuhkan orang sakit lepra atau orang buta, saat ini sudah dapat dilakukan oleh para dokter. Penyakit lepra sudah bisa diobati. Untuk orang buta, memang dengan transplantasi mata, tidak bisa langsung sembuh seketika seperti yang dilakukan Nabi Isa atas ijin Allah SWT.

Bagaimana Nabi saw. menuju ke Masjid al-Aqsha di Palestina dari Masjid al-Haram di Mekah dalam waktu yang singkat, bisa dijelaskan dengan adanya pesawat terbang atau roket.

Mukjizat lain yang dimiliki Nabi Muhammad saw. yaitu dari tangan beliau bisa keluar aliran air yang cukup deras. Mukjizat ini terdapat di sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas bin Malik ra.. Anas berkata, “Saya telah melihat Rasulullah saw. ketika tiba waktu shalat ashar, sedang orang-orang mencari air untuk wudhu dan tidak dapat. Kemudian dibawakanlah kepada Nabi saw. air wudhu sedikit dalam bejana. Lalu Nabi saw. meletakkan tangannya di dalam bejana, dan menyuruh orang-orang supaya wudhu dari air itu.”


Anas melanjutkan lagi, “Aku melihat air yang menyumber dari bawah jari-jari Nabi saw. sehingga semuanya selesai wudhu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagaimana tercantum dalam kitab “Al-Lu’lu’ wal-Marjân – fî mâ Ittafaqa ‘Alayhi asy-Syaykhân”. Hadits dengan muatan yang sama tercantum juga dalam kitab “Mukhtashar Shahîh al-Bukhârî”.

Hukum alam sudah menjelaskan bahwa jika udara didinginkan, maka akan mengembun, sehingga menjadi air. Itulah yang menjelaskan kenapa es batu di dalam gelas bisa menghasilkan embun (air) yang menempel di luar gelas. Hal yang sama terjadi dengan AC (Air Conditioner), yang akan menghasilkan air sebagai akibat dari pendinginan yang terjadi. Berarti, bisa jadi waktu itu tangan Rasulullah menjadi dingin sehingga udara mengembun. Namun, karena yang beliau miliki adalah mukjizat, maka air memancar dengan deras. Wallâhu a‘lam. Sampai saat ini, derasnya pancaran air dari tangan Nabi belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Ini menunjukkan bahwa kita adalah hamba Allah yang bodoh, yang hanya mempunyai ilmu sedikit sekali.

Ada orang sakit diobati dengan lantaran air yang telah dibacakan doa. Dr. Masaru Emoto telah menguji dan membuktikan bahwa air yang dibacakan doa membentuk struktur molekul yang sangat bagus dan kokoh. Itulah hukum alamnya.

Jika ada yang shalat istisqa’ kemudian Allah menurunkan hujan, hal ini juga bisa diimplementasikan dengan konsep hujan buatan.

Cerita tentang Sahabat Ali bin Abi Thalib yang terkena panah, kemudian anak panah itu dicabut saat beliau shalat dan tidak terasa sakit; dalam dunia kedokteran sudah terbukti secara ilmiah. Pembiusan (anestesi) bisa dilakukan tidak hanya dengan obat-obat kimiawi. Rasa senang, bahagia dan cinta juga bisa digunakan untuk pembiusan. Bukankah kalau kita sedang bahagia melakukan sesuatu, waktu pun terasa begitu cepat berlalu? Tubuh juga tidak terasa lelah? Dicubit orang yang kita cintai juga tidak akan terasa sakit, malah minta dicubit lagi J. Beda sekali kalau dicubit oleh orang lain yang tidak kita kasihi, apalagi jika orang itu kita benci. Itulah anestesi non kimiawi, berdasarkan penjelasan Prof. Dr. Moh. Sholeh, PNI (PsychoNeuroImmunolog).

Bahkan, sekarang telah ditemukan sebuah cara atau terapi agar para ibu tidak sakit ketika melahirkan sang jabang bayi, buah hati yang didamba-dambakan. Salah satu caranya dengan hipnosis/hipnoterapi (orang yang ahli hipnosis disebut hipnotis), yang memanfaatkan gelombang otak, biasanya pada gelombang Teta. Dan ini ilmiah, bukan khurafat atau klenik. Jadi, cerita Ali bin Abi Thalib kw. di atas semakin masuk akal.

Timbul pertanyaan baru, “Apakah ini berarti kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tua, terutama sang ibu jadi berkurang? Toh, sang ibu tidak lagi merasakan kesakitan yang sangat, seperti perjuangan antara hidup dan mati.”

Sebaiknya kita ingat lagi bahwa hidup ini antara kita dengan Allah, antara hamba dengan sang Pemilik Kehidupan. Allah telah memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua, dan hadits Rasulullah telah menjelaskan bahwa nama ibu disebut tiga kali dibandingkan sang ayah. Dengan demikian, apa pun perkembangan ilmu dan teknologi, hal itu tidak mengubah kewajiban kita untuk berbakti kepada kedua orang tua, baik mengurangi apalagi menghapusnya. Bukankah sebelum terapi itu ditemukan, sudah ada operasi cesar yang notabene tidak sesakit seperti melahirkan normal?

Barangkali kita akan bertanya, “Kalau memang hidup ini antara kita dengan Allah, apakah kita tidak wajib menaati orang tua jika Allah memerintahkan demikian?”

Ya. Allah telah memerintahkan kita untuk tidak taat kepada orang tua apabila orang tua kita memerintahkan untuk bermaksiat kepada-Nya. Tentunya tetap dengan cara yang baik dan santun. Dan, itu berlaku bukan hanya kepada orang tua, tapi kepada siapa pun.

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فىِ مَعْصِـيَةِ الْخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khâliq (Allah).

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ummu Sa‘d berkata kepada anaknya, “Bukankah Allah menyuruh engkau berbuat baik kepada ibu-bapakmu? Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga mati, atau engkau kufur (kepada Muhammad).” Maka turunlah ayat yang artinya:


Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(QS al-‘Ankabût [29]: 8)

Perlu kita ingat lagi, janganlah kita durhaka kepada orang tua. Berikut ini sebuah syair dari seseorang yang disakiti anaknya. Orang itu mengadu kepada Rasulullah, lalu Rasulullah bertanya, “Apakah engkau akan membacakan syair tentang anakmu?” Hal ini karena orang Arab terbiasa menghilangkan duka dengan syair. Orang itu berkata,

Aku memberimu makan saat engkau masih bayi
dan aku penuhi kebutuhanmu saat engkau remaja
Engkau makan dengan apa yang kubawakan untukmu dan minum
Jika malam datang membawa penyakit aku terjaga
Hanya bisa mengeluh dan bergelimpangan oleh sakitmu
Rasanya diriku yang menderita, bukan kamu
Oleh derita itu, dan air mataku meleleh
Saat engkau menginjak usia dan batas yang
Aku bisa menaruh padamu harap
Engkau jadikan balasan untukku sikapmu yang kasar dan kejam
Seolah engkau yang memberi dan menganugerahi
Andaikata dirimu, jika engkau tak menjunjung tinggi hak orang tuamu
Maka engkau telah berbuat seperti tetangga dekatmu melakukannya
(HR Thabrani)

Ketika berbicara tentang bakti kepada ibu-bapak, Al-Qur’an menggunakan kata penghubung bi, misalnya wa bi al-wâlidayni ihsânâ (QS al-Baqarah [2]: 83). Sebenarnya, bahasa membenarkan penggunaan li yang berarti “untuk” dan ilâ yang berarti “kepada” sebagai penghubung kata ihsân di atas.

Menurut pakar-pakar bahasa, kata ilâ mengandung makna “jarak”, sedang Allah tidak menghendaki adanya jarak walau sedikit dalam hubungan antara anak dan orang tuanya. Anak harus selalu mendekat dan merasa dekat kepada ibu-bapaknya, bahkan kalau bisa ia melekat kepadanya. Oleh karena itu digunakan kata bi yang mengandung arti ilshâq, yakni kelekatan. Itu pula sebabnya tidak dipilih kata penghubung li yang mengandung makna peruntukan itu.


Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • Mohammad Sholeh, Dr., “Terapi Salat Tahajud – Menyembuhkan Berbagai Penyakit”, Hikmah Populer, Cetakan I : Maret 2006/Safar 1427
  • Mohammad Sholeh, Prof., “Pelatihan Sholat Khusyuk”, Makalah, April 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
  • Qamaruddin Shaleh dan A. Dahlan, Kyai, “Asbâbun Nuzûl (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an) – Edisi Kedua”, Penerbit Diponegoro, Cetakan Ke-10 : 2001
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Al-lu’lu’ wal-Marjân (karya Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi) – Himpunan Hadits Shahih Yang Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu
  • Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabîdî, asy-Syaikh, “Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Al-Tajrîd as-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi‘ as-Shahîh)”, Penerbit Mizan, Cetakan III : Dzulhijjah 1419/April 1999
Tulisan ini lanjutan dari : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (1 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Membaca Doa Tapi Tidak Berdoa (3 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

1 comment:

  1. nice post
    terima kasih
    bisa jadi bahan pembelajaran yg baik...

    ReplyDelete