Berikut ini kasus terakhir yang benar-benar menguji logika kita, karena logika kita akan dibandingkan dengan logika anak kecil. Sehebat apakah logika kita dibandingkan anak kecil? Bila kita kalah, tidakkah itu berarti bahwa logika kita bukanlah segala-galanya?
Suatu hari, sebuah toko furniture mengirim perabotan rumah ke seorang pelanggan. Termasuk dalam daftar kiriman adalah sebuah almari besar dan mahal. Semuanya dikirim dengan sebuah truk. Setelah jalan beberapa lama, truk itu harus lewat di bawah sebuah viaduk (semacam jembatan layang/fly over). Ternyata, ketika sampai di tengah viaduk, truk tiba-tiba berhenti. Bagian atas almari tertahan oleh viaduk. Kalau terus maju, maka almari itu akan rusak. Begitu juga bila dimundurkan. Almari itu dicoba untuk dimiringkan (supaya posisinya berubah menjadi tidur), ke kiri, ke kanan, ke manapun, ternyata tidak bisa. Hingga beberapa jam, kondisi itu tak kunjung teratasi. Kemacetan pun tak terelakkan.
Nah, bagaimana logika kita menyelesaikan masalah ini? Bagaimana supaya almari tadi tidak rusak, karena harganya sangat mahal? Bisakah kita? Mari kita merenung sejenak, sebelum melihat jawabannya.
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Setelah semua usaha tidak berhasil, ternyata ada seorang bocah lelaki kecil melintas naik sepeda mininya. Ia punya pengalaman yang mirip dengan yang dialami truk itu. Dengan polosnya ia mendekati sang sopir truk sambil berkata, “Ban truknya dikempesin saja, Om. Nanti kan almarinya tidak lagi tertahan, terus truknya didorong.” Duhai saudaraku, apakah logika kita menemukan solusi yang lebih hebat daripada logika anak kecil ini?
Iman jauh melampaui logika. Sahabat Abu Bakar ra. mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa Rasulullah diperjalankan oleh Allah menuju Masjid al-Aqsha (Isra’), padahal waktu itu logika manusia tidak mungkin membenarkannya. Namun, imanlah yang membuat Abu Bakar ra. meyakininya. Berabad-abad kemudian, barulah para ilmuwan menemukan pesawat atau roket yang bisa membuat orang pindah dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh dalam waktu singkat. Bukankah itu berarti logika tertinggal berabad-abad dibandingkan iman? Layakkah kita mengatakan logika lebih hebat daripada iman?
Mungkin kita akan berkilah, “Kalau saya mempelajari Al-Qur’an dimulai dari iman, maka pasti benar semua dong. Padahal saya bermaksud untuk menilainya dengan tidak memihak.”
Baiklah kalau begitu. Para ilmuwan Fisika Quantum sudah menemukan “Hukum Tarik-Menarik (The Law of Attraction)”. Bila yang ada di pikiran kita positif, maka energi positif dari diri kita akan menarik semua energi positif yang ada di alam semesta. Begitu juga sebaliknya, bila energi negatif keluar dari mikrokosmos tubuh kita, maka makrokosmos juga mengirimkan energi negatif ke kita, karena kitalah yang meminta dan menariknya.
Bukankah sudah kita pahami bahwa tidak ada yang disebut tidak memihak? Semua tergantung pikiran kita. Kalau kita berpikiran baik, maka kita akan menemukan hal-hal baik. Jika pikiran kita dipenuhi oleh ketidakbaikan, maka kejelekan dan keburukanlah yang akan kita dapat. Itu semua ilmiah dan masuk akal. Sebagai contoh, seorang penjahat akan selalu curiga terhadap orang lain. Namun, orang baik tidak akan curiga, hanya waspada. Bukankah sudah jelas perbedaannya antara curiga dan waspada?
Contoh lain, sikap terhadap seorang teman. Cobalah berniat dan tetapkan pada pikiran kita bahwa kita akan mencari semua kekurangan dan kelemahan teman kita, sekecil apa pun. Kalau itu kita setting, pastilah kita akan menemukan banyak sekali kekurangan dan kelemahan teman kita, bahkan sampai hal-hal yang sangat kecil, yang diabaikan oleh orang lain. Namun, jika kita biasa-biasa saja tentang teman kita, maka kesalahan-kesalahan yang sangat kecil tidak akan nampak, karena kita sudah memerintahkan pikiran kita bahwa itu bukanlah sebuah masalah. Itu manusiawi dan wajar.
Intinya, jika kita mencari kebenaran, sah-sah saja kita mempunyai pendapat yang didasarkan pada logika, karena akal memang tercipta untuk mengokohkan iman. Namun, jika kita hanya ingin mencari pembenaran, maka akan tertutuplah kebenaran dari diri kita. Hal ini sudah terbukti, baik secara nash, yaitu bahwa Allah sesuai prasangka hamba-Nya maupun secara ilmiah.
Kalau kita memang benar-benar mencari kebenaran, itu akan terlihat dari sikap kita. Kita akan dengan senang hati dan rendah hati menerima ilmu dari orang lain. Kita cenderung untuk bertanya, bukan membantah apalagi “membantai” nasihat orang lain. Tujuan kita berdiskusi bukanlah untuk membenarkan pendapat, tapi mendapatkan ilmu sebanyak mungkin. Bila suatu saat kita berdialog dengan seseorang, namun orang itu kurang cakap, maka kita tidak mempermasalahkannya. Ilmu orang itu kita serap sebanyak mungkin. Kita tidak berdiskusi dengannya untuk membuktikan bahwa pendapat kitalah yang benar, valid dan uptodate. Kita mencari ilmu dengan membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu. Dengan demikian, kita akan memungut ilmu dan hikmah di mana pun berada, walaupun berasal dari anak kecil. Itulah ciri-ciri jika kita memang mencari kebenaran, bukan pembenaran.
Jika kita mencari kebenaran, maka iman harus tertanam di dalam dada. Sekarang, marilah kita pelajari bersama-sama tentang Al-Qur’an, untuk kemudian kita hayati dan amalkan dalam keseharian.
Al-Qur’an adalah wahyu suci yang terjaga dari segala yang berbau imajinasi dan ilusi, sehingga tidak mengandung kesia-siaan.
A-Qur’an adalah kitab yang isinya dinukil melalui cara yang benar-benar meyakinkan, diceritakan secara jujur, dan adil dalam keputusan.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an adalah garis-garis besar haluan umat yang abadi, kebanggaan sekaligus kemuliaan bagi umat Islam.
Al-Qur’an adalah kitab abadi yang telah memerdekakan umat dari kesesatan menuju hidayah, membuka mata hati, memberi pelajaran dan menegakkan kepala.
Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Ilahi yang menjadi air kehidupan bagi ruhani manusia, juga rahmat yang tiada ada taranya bagi alam semesta.
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah, yang isinya mencakup semua pokok syariat yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya.
Al-Qur’an adalah kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan terpelihara.
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar, bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda.
Al-Qur’an adalah kitab yang tidak ada satu keraguan pun di dalamnya, sebagaimana tercantum dalam sebuah ayat:
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 2)
Daftar Pustaka :
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
- M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007
Tulisan ini lanjutan dari :Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (1 of 8)
Tulisan ini berlanjut ke : Meragukan Al-Qur’an? Na‘ûdzubillâh (3 of 8)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
uraian yg mengagumkan,, trims infonya, salam kenal,, http://jundurrohman.blogspot.com/
ReplyDelete