Mencari Data di Blog Ini :

Friday, February 12, 2010

Buat Apa Kita Hidup? (1 of 4)

Beragam pertanyaan diajukan tentang hidup. Pertanyaan ini tetap saja ada, hanya dari orang yang berbeda atau penanya adalah generasi baru yang belum pernah menerima pengajaran tentangnya.

“Kita hidup untuk bekerja ataukah bekerja untuk hidup?”

“Kita makan untuk hidup ataukah kita hidup untuk makan? Senyampang masih hidup, kita harus pernah mencicipi makanan dan minuman beraneka ragam dari berbagai daerah atau negara. Tidak perlu menanyakan halal atau haram, yang penting kita sudah pernah merasakannya. Begitukah?”

“Kita menggeluti dunia seni untuk hidup, hidup untuk seni, ataukah seni untuk seni?”

Para ulama sudah menjelaskan dengan sangat gamblang dan itu pun berulang kali, “Kita hidup untuk mengabdi kepada Allah, beribadah kepada-Nya.” Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti seluas-luasnya, tak terbatas pada ibadah mahdhah (ibadah murni atau ritual). Dengan demikian, bekerja, belajar, berorganisasi atau apa pun bisa diniatkan—sekali lagi diniatkan—sebagai ibadah semata-mata untuk-Nya. Lebih lanjut, para ulama menjelaskan bahwa tujuan hidup ini adalah untuk hidup lagi, yaitu hidup sesungguhnya—hidup kekal abadi di surga nanti.

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱْلإِنْسَ إِلاّ لِيَعْـبُدُوْنِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(QS adz-Dzâriyât [51] : 56)

Dari ayat tersebut, Al-Qur’an menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Qur’an memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.

Banyak ulama mengartikan hidup makhluk sebagai Mâ bihî al-hissu wal-harakah, yakni sesuatu yang menjadikannya merasa/mengetahui dan bergerak. Yang tidak memiliki pengetahuan, tidak merasa, tidak juga dapat bergerak/menggerakkan dirinya sendiri, maka ia tidaklah dianggap hidup yang sesungguhnya. Pengetahuan atau kesadaran adalah menyadari dirinya sendiri. Semakin banyak pengetahuan dan kesadaran, serta semakin peka perasaan, maka semakin tinggi kualitas hidup. Oleh karena itu, hidup bertingkat-tingkat.

Hidup bagi manusia hendaknya tidak hanya terbatas pada hari ini atau sepanjang usia di dunia saja, tetapi harus melampaui generasinya, bahkan melampaui batas usia manusia di dunia ini. Memang, manusia tidak dapat hidup langgeng dan abadi sebagaimana Allah. Manusia juga tidak mampu melampaui batas usianya di dunia, tetapi ia dapat melanggengkan hidupnya dengan keharuman nama—khususnya setelah kematiannya—serta pada karya-karyanya yang bermanfaat, sehingga dinikmati manusia sepanjang masa.

Kelanggengan hidup manusia juga diraih melalui kekekalan hasil karya-karyanya itu di akhirat kelak, dalam bentuk ganjaran Ilahi, yakni surga nan abadi. Bagi orang kafir, tidak ada satu karya pun yang dapat langgeng sehingga mereka tidak akan menikmati kekekalan.

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS al-Furqân [25] : 23)

Al-Qur’an menilai ada orang-orang yang walaupun masih dapat menarik dan menghembuskan nafas, masih berfungsi otak dan beredar darahnya, tetapi dinilai sebagai orang mati, karena tidak mendengar dan memperkenankan panggilan Allah dan rasul-Nya.

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. (QS an-Naml [27] : 80)

Ada juga yang telah berhenti denyut jantungnya, telah terkubur jasadnya, tetapi mereka masih dinilai hidup oleh Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah yang artinya:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS al-Baqarah [2] : 154)

Apa yang akan terjadi bila nasihat ini benar-benar disadari oleh setiap orang? Apa yang akan kita saksikan bila setiap manusia mempraktekkan bahwa hidup ini untuk mengabdi kepada-Nya? Apa yang akan dilakukan oleh setiap insan jika semuanya ingin agar bisa benar-benar hidup dan tetap hidup dalam kematiannya?

Di setiap pertandingan olah raga, tidak akan pernah terjadi kekisruhan, kerusuhan dan pertengkaran. Setiap orang berniat bahwa olah raga yang dilakukan adalah untuk menjaga tubuh, karunia dan titipan dari Allah, agar tetap sehat, sehingga bisa senantiasa menjalankan perintah-perintah-Nya. Setiap orang berniat bahwa pertandingan adalah ajang silaturrahim. Dengannya, kita menambah eratnya persaudaraan dan kasih sayang. Semua itu demi mengabdikan diri kepada Yang Maha Memberi Perintah, Allah SWT.

Di setiap kejuaraan, tidak akan ada upaya-upaya yang tidak baik. Semua orang berlomba-lomba menampilkan yang terbaik dengan cara-cara yang baik (fastabiqul khayrât). Semua orang sadar bahwa tujuan utama mereka bukanlah meraih kemenangan, piala, trofi ataupun bonus berupa rumah, kendaraan atau uang. Semua orang berlomba dengan tujuan melaksanakan ibadah, semata-mata untuk Sang Pencipta, Allah SWT.

Di setiap organisasi, baik keagamaan, kemasyarakatan, kemahasiswaan, perusahaan, pemerintah, faksi/partai politik, atau apa pun—tidak akan ada gontok-gontokan, propaganda negatif, mendekat ke atasan/pimpinan agar aman, saling menonjolkan diri untuk sebuah kesombongan, saling menjatuhkan, saling jegal, saling sikut atau saling gasak-gesek-gosok. Semua orang bekerja sama dengan baik, indah, ramah, santun dan anggun. Setiap orang menundukkan hati dan jiwa, menyerahkan segalanya di hadapan Sang Penguasa Alam, Allah SWT.

Dalam urusan makan, setiap orang akan otomatis memilih dan memilah mana makanan yang halal—mana yang tidak dan mana yang baik (thayyib) bagi dirinya (termasuk kesehatannya)—mana yang tidak. Semuanya demi beribadah kepada Yang Memiliki Kehidupan, Allah SWT.

Pada setiap hobi, kreativitas maupun pekerjaan, setiap insan akan berlomba-lomba untuk meraih yang terbaik, yang paling bermanfaat bagi kemanusiaan serta bernilai ibadah tinggi.

Mengapa rasanya hal-hal di atas masih jauh dari kenyataan? Jauh panggang dari api? Atau diplesetkan menjadi “Jauh panggang dari sate”? Bukankah nasihat tentang buat apa kita hidup sudah sering disampaikan dalam setiap ceramah atau pengajian?


Daftar Pustaka :
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


Tulisan ini berlanjut ke : Buat Apa Kita Hidup? (2 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment