Mencari Data di Blog Ini :

Friday, October 2, 2009

Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (1 of 5)

Apabila kita masih bersatus pelajar atau mahasiswa, kita akan seringkali menerima nasihat dari orang yang lebih tua khususnya orang tua kita. Salah satu nasihat yang sering kita dengar adalah, “Hati-hati, jangan salah pergaulan. Jangan sampai terjerumus ke noda hitam, pergaulan bebas atau pemakaian narkoba.”


Mungkin kita akan mengomel bila menerima nasihat seperti itu, “Saya sudah besar, Pak. Saya sudah dewasa, bisa menjaga diri sendiri. Bapak jangan terus menasihati seperti itu. Itu artinya Bapak tidak percaya pada saya.”

Jika kita adalah orang yang sudah berumur, apalagi sudah lanjut usia, biasanya kita malah menolak mentah-mentah bila ada nasihat yang dialamatkan pada kita. Kita akan berkata, “Saya ini sudah berumur, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Saya sudah sangat mengerti antara benar dan salah, baik dan buruk. Tidak selayaknya saya dinasihati. Saya lebih bisa menjaga diri saya dibandingkan orang lain menjaga diri mereka masing-masing. Apalagi dibandingkan orang yang lebih muda dari saya, saya lebih tahu pahit getirnya hidup. Justru sayalah yang pantas menasihati orang lain, bukan sebaliknya.”

Memang, dalam hidup ini kita seringkali hanya memandang hal-hal yang tampak. Kita sering melupakan bahwa hawa nafsu mempunyai kecenderungan ke arah ketidakbaikan, kecuali nafsu yang mendapat rahmat dari Allah. Kita juga sering mengabaikan peranan setan dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil, kita selalu merasa bisa menjaga diri sendiri karena kepandaian, kecerdasan, ilmu dan pengalaman kita. Benarkah kita menjaga diri sendiri dari setan? Apakah bukan Allah yang menjaga kita? Lalu, buat apa kita membaca ta‘awwudz untuk memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk? Apakah itu hanya sekadar ikut-ikutan saja? Atau sebuah ritual tanpa makna? Mari kita perhatikan cerita pengantar berikut ini untuk memahami yang akan kita bahas.

Di dunia persilatan, tersebutlah seorang pendekar, Si Tangan Seribu—murid tertua Begawan Senomaya. Ia dijuluki demikan karena mempunyai pukulan mega dahsyat, yaitu Sasra Baja. Yang terkena pukulan ini, laksana diserang seribu tangan; sedahsyat ditimpa seribu gunung runtuh bersamaan. Ia juga menguasai tendangan secepat halilintar dengan julukan Tendangan Tanpa Bayangan.

Suatu hari datanglah seorang pendekar hendak “mengadu ke ujung penjahit,” menjajal kemampuan masing-masing pihak. Pendekar ini mempunyai julukan Jaka Geledek. Ia menguasai dua jurus pilih tanding, yaitu Rengkah Gunung dan Naga Angkasa. Rengkah Gunung adalah ilmu langka yang hampir punah. Hanya pewaris Panembahan Sokadarma yang memilikinya. Dengan ilmu itu, sekali pukul, sasaran akan serasa dihantam ombak raksasa yang sangat hebat, setara dengan tsunami. Adapun Naga Angkasa merupakan gabungan gerakan tangan dan tendangan kaki yang menari-nari dengan indahnya di angkasa raya. Bila ilmu ini dipraktekkan, pemiliknya seolah bisa terbang selincah rajawali, namun dengan serangan segarang naga.

Singkat cerita, mereka berdua bertarung untuk menentukan siapa pendekar sejati, tokoh yang paling dihormati dunia persilatan. Semacam kejuaraan nasional antar pendekar, namun tak resmi. Rengkah Gunung bertemu Sasra Baja. Ketika kedua ilmu itu beradu, benturan dahsyat pun tak terelakkan, bagai mendengar suara ratusan meriam ditembakkan secara serentak. Namun, tak ada yang jatuh. Keduanya hanya terhuyung beberapa saat, setelah itu mereka sudah berdiri dengan kuda-kuda kokoh. Ternyata penguasaan ilmu masing-masing sudah sempurna.

Begitu juga tatkala Si Tangan Seribu melancarkan tendangan yang sudah terkenal seantero jagad persilatan, Tendangan Tanpa Bayangan. Sebelumnya, tak ada satu pendekar pun bisa menghindar darinya. Tendangan ini benar-benar melebihi kecepatan suara, bahkan secara hiperbolik bisa dikatakan setara dengan kecepatan kilat. Namun, Jaka Geledek bukanlah pendekar ingusan. Naga Angkasa, salah satu dari dua ilmu tertinggi yang dia warisi dari gurunya adalah jurus tanpa tanding. Dengan kecepatan naga terbang, Jaka Geledek bisa menghindar dengan cantik dari tendangan Si Tangan Seribu. Mereka pun menari-nari di udara, bak dua ekor elang sedang berlatih bersama. Lama sekali pertarungan itu terjadi, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan mengembangkan senyum tanda kemenangan.

Mendadak pertarungan terhenti. Si Tangan Seribu meloncat mundur tujuh langkah. Betapa kaget Jaka Geledek melihat ancang-ancang yang dilakukan lawan tandingnya. Dengan duduk bersila khidmat, Si Tangan Seribu mengatur nafasnya dengan pernafasan segitiga sama kaki dan berkonsentrasi penuh. Jaka Geledek merasa di atas angin. Ia berencana menyerang Si Tangan Seribu saat itu juga. Namun, keberuntungan seolah tak berpihak padanya. Ketika dia melayangkan pukulan Rengkah Gunung ke arah lawan tarungnya, Si Tangan Seribu seolah lenyap ditelan angin, tak tampak mata. Dia benar-benar menghilang.

Tiba-tiba sebuah pukulan dahsyat menghantam dada Jaka Geledek, membuatnya terhuyung-huyung beberapa depa ke belakang. Pukulan demi pukulan diterimanya tanpa tahu siapa pelakunya. Sebagai selingan, kadang-kadang dia juga harus menerima dengan pasrah sebuah tendangan yang terasa seperti dihujani puluhan anak panah. Tak tahu harus berbuat apa, Jaka Geledek pun memukul dan menendang sekenanya. Si Tangan Seribu benar-benar tak kasat mata. Dengan ilmu menghilangnya, ia sangat leluasa melancarkan serangan tanpa perlawanan.

Walaupun cerita tersebut tidak penulis lanjutkan, penulis yakin kita sepakat tentang siapa yang akan memenangkan pertandingan perebutan gelar juara ini. Kita pasti akan menjagokan Si Tangan Seribu, karena dengan kesaktian sepadan, dia memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu menghilang, yang membuat lawan tandingnya tak tahu lagi keberadaannya.

Setan, hakikatnya adalah setiap perbuatan mungkar. Setan bisa dari golongan manusia maupun jin.

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS al-An‘âm [6] : 112)

Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
Raja manusia.
Sembahan manusia.
Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
dari (golongan) jin dan manusia.”
(QS an-Nâs [114] : 1-6)


Daftar Pustaka :

  • Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004

Tulisan ini berlanjut ke : Kita Yang Menjaga Diri Sendiri dari Setan? (2 of 5)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment