c. Kekuasaan dan Keturunan
Kekuasaan atau jabatan sering membuat kita lupa diri. Fasilitas, hak yang besar serta penghormatan dari orang lain membuat kita terlena, bahkan meskipun penghormatan itu dilakukan karena terpaksa, bukan karena benar-benar hormat atas kepemimpinan kita. Kita lebih layak disebut pimpinan karena surat keputusan, bukan pemimpin karena kemampuan. Sebaliknya, kewajiban besar yang diembankan pada kita malah kita abaikan. Lebih parah lagi, setelah tidak menjabat pun, kebanyakan kita tetap merasa bahwa kita adalah orang penting. Padahal, waktu telah berganti, status telah berubah.
Memiliki banyak murid, pendukung dan pengikut juga bisa membuat diri kita sombong. Walaupun kita tidak punya jabatan formal, namun secara informal kita mempunyai jabatan, yang pengaruhnya bahkan mengalahkan pemegang jabatan formal. Bila tidak hati-hati, kita bisa tergelincir untuk merasa diri lebih hebat dari orang lain.
Abu Darda’ menasihatkan, “Seseorang akan terus jauh dari Allah selama ia meminta orang lain untuk berjalan di belakangnya.”
Abdurrahman bin Auf ketika berjalan bersama budaknya tidak dapat dibedakan mana tuan dan mana budak, karena pakaian yang mereka pakai dan posisi berjalannya sama. Suatu hari murid-murid Hasan al-Bashri berjalan di belakangnya, lalu Abdurrahman bin Auf marah dan berkata, “Apa yang membuat hati seorang manusia menginginkan seperti ini (berjalan di depan)?”
Sebuah nasihat sarat makna termaktub dalam peribahasa, “Melonjak bagai abu penumbuk” yang artinya suatu kesombongan akan terlihat dari cara berjalan seseorang.
Ibnu Wahab bercerita bahwa suatu hari ia duduk di sebelah Abdul Aziz bin Abi Rawad, dan pahanya menyentuh paha Abdul Aziz. Lalu Ibnu Wahab merasa tidak enak (karena menyentuh seorang penguasa), maka ia pun menggeser duduknya. Ketika Abdul Aziz melihat apa yang dilakukan Ibnu Wahab, ia menarik Ibnu Wahab sambil berkata,
“Apa yang kamu lakukan kepadaku? Apakah kamu ingin memperlakukan aku seperti orang-orang memperlakukan penguasa tiran?”
Begitulah, Abdul Aziz tidak ingin diperlakukan istimewa. Ia ingin semua orang bersikap biasa terhadapnya, walaupun ia seorang penguasa.
Abdullah bin Umar ketika menjamu orang berpenyakit kusta, belang dan penyakit-penyakit menjijikkan lainnya, ia meminta mereka untuk makan bersama di meja makannya.
Dikisahkan suatu ketika seseorang datang kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat itu lampunya mati. Tamu itu berkata,
“Aku saja yang membetulkan lampunya.”
“Bukanlah seorang yang mulia apabila ia menjadikan tamunya seperti pembantu,” jawab Umar.
“Kalau begitu, aku akan panggilkan pembantu untuk membetulkannya.”
“Jangan, dia baru saja tidur.”
Kemudian Umar bin Abdul Aziz mengambil minyak dan menuangkannya ke lampu itu. Ia memperbaikinya sendiri.
“Engkau seorang khalifah, apakah pekerjaan seperti ini kau lakukan sendiri?” tanya orang itu.
Umar bin Abdul Aziz pun menjawab,
Umar bin Abdul Aziz pun menjawab,
“Ketika kamu datang, aku adalah Umar. Saat kamu pergi nanti, aku juga tetap Umar. Tidak ada yang kurang dariku (dengan mengerjakan pekerjaan ini). Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang tawadhu‘.”
Abu Ubaidah bin Jarrah ketika menjadi gubernur membawa sendiri ember berisi air ke kamar mandi.
Ali bin Abi Thalib menuturkan, “Orang mulia tidak akan berkurang kemuliaannya ketika membawa sendiri barang miliknya ke rumah.”
Tsabit bin Abi Malik bercerita, “Aku bertemu Abu Hurairah ketika pulang dari pasar. Ia menggendong seikat kayu bakar, sedangkan pada saat itu ia adalah gubernur di Madinah pada masa pemerintahan Marwan bin al-Hakam.”
Ashbaq bin Natabah berkata, “Aku pernah melihat Amirul Mukminin Umar bin Khattab membawa daging di tangan kirinya dan susu di tangan kanannya, masuk ke pasar dan kembali ke rumahnya.”
Urwah bin Zubair mengatakan, “Saya pernah melihat Khalifah Umar bin Khaththab ra. sedang memanggul air. Di atas pundaknya terdapat sebuah ghirbah (tempat air dari kulit). Saya berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, tidak seharusnya Anda melakukan ini.”
“Ketika para utusan (delegasi) datang kepadaku, mereka mendengarkan dan tunduk kepadaku, sehingga kesombongan terkadang muncul dalam diriku. Oleh karena itu, aku harus menghilangkannya,” jawab Umar.
Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya dan membawa ghirbah itu ke ruang dapur seorang wanita dari golongan Anshar, dan menuangkannya ke dalam wadahnya sampai penuh.”
Umar bin Khaththab adalah sosok peronda nomor satu. Sementara orang-orang di ibu kota kekhalifahan terlelap dalam tidur sedang dirinya tidak, orang-orang kenyang sedang dirinya tidak, orang-orang santai sedang dirinya tidak.
Pada suatu malam, ketika menyusuri lorong-lorong kota Madinah, tiba-tiba ia melihat seorang ibu berada di dalam rumahnya bersama beberapa anak kecil yang terus menangis mengelilingi sang ibu. Di sudut lain, tampak sebuah panci berisi air diletakkan di atas perapian.Umar kemudian mendekati pintu dan berkata,
“Wahai hamba Allah, kenapa anak-anak ini menangis?”
“Mereka menangis karena lapar,” sahut wanita itu.
“Lalu, untuk apa panci di atas api itu?”
“Aku mengisinya dengan air. Ini dia. Aku mengalihkan perhatian mereka dengan air itu sampai mereka tertidur. Aku mengelabui mereka supaya mengira di dalam panci itu ada sesuatu yang dimasak.”
Mendengar itu Umar menangis. Ia bergegas mendatangi tempat penyimpanan sedekah (baytul mâl). Ia mengambil sebuah karung, kemudian mengisinya dengan terigu, minyak, mentega, kurma kering, baju dan uang. Ia mengisi karung itu sampai penuh. Ia berkata pada sahayanya,
“Wahai ‘Aslam, angkat karung ini ke atas pundakku!”
“Wahai Amirul Mukminin, aku saja yang mengangkatnya,” kata ‘Aslam.
“Tidak, ini bukan kewajibanmu, wahai ‘Aslam. Sebab, aku yang akan bertanggung jawab di akhirat nanti.”
Umar membawa karung itu dan pergi menuju rumah wanita tersebut. Ia kemudian mengambil panci, mengisinya dengan terigu, sedikit minyak dan kurma kering. Ia mengaduknya, dan meniup api yang ada di bawah panci. ‘Aslam berkata,
“Aku melihat asap keluar dari sela-sela janggut Umar, dan ia memasak makanan itu sampai selesai. Ia lalu menciduknya, dan memberi makan anak-anak itu sampai mereka kenyang.”
Daftar Pustaka :
- Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
- Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (3 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (5 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#
Assalamu'alaikum wr.wb.
ReplyDeleteMas Faisol...baru sekarang ana dapat kunjung dan baca lagi artikel mas .. kebetulan ana dapat award ...tolong di ambil kalo sempat ..dan insya Allah ana sudah kasih jawaban di komentar mas kepada ana dan saya terima banget .....wassalam semoga tali silaturrahmi tetap terjaga ...wassalam
assalamu'alaikum ya akhi faisol ..
ReplyDeletenice blog ^^
i like it . .
oh iya ,, mo tanya ..
akhi ,, kok blognya ga da gadget "followers/pengikut" nya ya ??
sayang bgt akhi ,, pdhal ana mau follow/ikuti blog ini ..
biar bsa tau update dr blog ini akhi ..
sya harap stlah mmbaca comment ini .. akhi bisa mmasang gadget tsb ..
sy ingin bgt follow blog ini ..
and the last i just wanna say thx u ..
nice to know u . .
wa'alaykumus salam wr. wb, saudaraku...
ReplyDeletemohon maaf saya haturkan... secara pribadi saya memang kurang sreg saja kalau blog saya terlihat "rame" (dg gambar2)...
oleh krn itu bila mau follow blog ini, saudara2 kita menambahkan sendiri dari dashboard masing2...
sekali lagi saya haturkan maaf... namun, saya sudah menyediakan RSS Feed, koq...
begitu dulu, saudaraku... senang sekali berkenalan dg sampean....