Seorang pelajar bertanya kepada penulis, “Kalau kita buang angin, kenapa muka yang dibasuh? Kenapa bukan tempat buang angin itu?”
Penulis kaget sekali mendengar pertanyaan ini. Bukan karena apa-apa, tapi pertanyaan tersebut pertanyaan kuno—sudah ada sejak dulu—bahkan sudah saatnya almarhum. Ternyata pertanyaan ini masih segar bugar, bahkan tak pernah menua. Pertanyaan tersebut biasanya dikemukakan oleh para pelajar yang berusaha memahami aturan beragama sesuai akal. Maklum, di usia pelajar hal itu wajar terjadi, setelah sekian lama mengimaninya. Bukankah akal memang diciptakan untuk mengokohkan iman?
Kadang pertanyaan ini diajukan oleh teman-teman dari agama lain. Ceritanya begini. Saat duduk di bangku SMAN 16 Surabaya, penulis dan teman-teman belajar Kristologi dibawah bimbingan seorang pakar Kristologi, KH. Abdullah Wasi‘an. Kristologi adalah ilmu yang mempelajari agama Kristen dari sudut pandang Islam, untuk diketahui kekurangan-kekurangannya. Seperti orang orientalis mempelajari agama Islam dari sudut pandang mereka, untuk dicari kelemahan-kelemahannya.
Sebenarnya, tujuan belajar Kristologi adalah untuk membentengi diri, supaya tidak mudah diprovokasi atau diajak memeluk agama lain. Namun, ada juga teman-teman yang usil, malah digunakan untuk berdialog dengan rekan-rekan Nasrani. Maklumlah, kalau seseorang baru belajar bela diri, biasanya centil banget. Sebagai hasilnya, kadang kami pun harus kalang kabut menjawab berbagai pertanyaan teman-teman Kristen. Rupanya mereka juga mempelajari agama Islam. Yah, itulah masa remaja, masa-masa yang penuh dengan pertanyaan dan gejolak. Mengingatnya, penulis jadi tersenyum sendiri. :-)
Pada waktu itu, jawaban rata-rata dari para ustadz tentang buang angin tapi muka yang dibasuh adalah, “Itu sama saja dengan orang sakit kepala. Kepala yang sakit, tapi yang disuntik bagian lain.” Selesailah pertanyaan dan jawaban. Finish.
Penulis merenungkan lagi jawaban di atas. Setelah dikaji, penulis menyadari bahwa jawaban itu ternyata lemah dari sisi logika dan ilmiah. Kalau tentang suntik-menyuntik, para dokter dan pakar kesehatan akan bisa menjelaskan dengan detail dan gamblang. Nah, bagaimana kalau para ustadz diminta menjelaskan hubungan ilmiah antara buang angin dengan membasuh muka? Tentu tidak akan bisa menjawab banyak, bahkan terpojok; laksana sebuah bumerang, senjata makan tuan.
Penulis memikirkan lagi jawaban yang tepat sasaran untuk pertanyaan pelajar tersebut. Ternyata, dari sudut pandang logika, penulis menemukan bahwa justru pertanyaannya yang kurang tepat. Jadi, kalau dipaksa untuk tetap menjawab, maka jawabannya akan rapuh, tidak punya alasan dan bukti empiris kuat.
Penulis kaget sekali mendengar pertanyaan ini. Bukan karena apa-apa, tapi pertanyaan tersebut pertanyaan kuno—sudah ada sejak dulu—bahkan sudah saatnya almarhum. Ternyata pertanyaan ini masih segar bugar, bahkan tak pernah menua. Pertanyaan tersebut biasanya dikemukakan oleh para pelajar yang berusaha memahami aturan beragama sesuai akal. Maklum, di usia pelajar hal itu wajar terjadi, setelah sekian lama mengimaninya. Bukankah akal memang diciptakan untuk mengokohkan iman?
Kadang pertanyaan ini diajukan oleh teman-teman dari agama lain. Ceritanya begini. Saat duduk di bangku SMAN 16 Surabaya, penulis dan teman-teman belajar Kristologi dibawah bimbingan seorang pakar Kristologi, KH. Abdullah Wasi‘an. Kristologi adalah ilmu yang mempelajari agama Kristen dari sudut pandang Islam, untuk diketahui kekurangan-kekurangannya. Seperti orang orientalis mempelajari agama Islam dari sudut pandang mereka, untuk dicari kelemahan-kelemahannya.
Sebenarnya, tujuan belajar Kristologi adalah untuk membentengi diri, supaya tidak mudah diprovokasi atau diajak memeluk agama lain. Namun, ada juga teman-teman yang usil, malah digunakan untuk berdialog dengan rekan-rekan Nasrani. Maklumlah, kalau seseorang baru belajar bela diri, biasanya centil banget. Sebagai hasilnya, kadang kami pun harus kalang kabut menjawab berbagai pertanyaan teman-teman Kristen. Rupanya mereka juga mempelajari agama Islam. Yah, itulah masa remaja, masa-masa yang penuh dengan pertanyaan dan gejolak. Mengingatnya, penulis jadi tersenyum sendiri. :-)
Pada waktu itu, jawaban rata-rata dari para ustadz tentang buang angin tapi muka yang dibasuh adalah, “Itu sama saja dengan orang sakit kepala. Kepala yang sakit, tapi yang disuntik bagian lain.” Selesailah pertanyaan dan jawaban. Finish.
Penulis merenungkan lagi jawaban di atas. Setelah dikaji, penulis menyadari bahwa jawaban itu ternyata lemah dari sisi logika dan ilmiah. Kalau tentang suntik-menyuntik, para dokter dan pakar kesehatan akan bisa menjelaskan dengan detail dan gamblang. Nah, bagaimana kalau para ustadz diminta menjelaskan hubungan ilmiah antara buang angin dengan membasuh muka? Tentu tidak akan bisa menjawab banyak, bahkan terpojok; laksana sebuah bumerang, senjata makan tuan.
Penulis memikirkan lagi jawaban yang tepat sasaran untuk pertanyaan pelajar tersebut. Ternyata, dari sudut pandang logika, penulis menemukan bahwa justru pertanyaannya yang kurang tepat. Jadi, kalau dipaksa untuk tetap menjawab, maka jawabannya akan rapuh, tidak punya alasan dan bukti empiris kuat.
Selama penulis mengaji, penulis tidak pernah menemukan satu pun dalil atau fatwa ulama zaman dulu maupun kontemporer yang mengharuskan membasuh wajah setelah buang angin. Misalnya saja dalil itu berbunyi :
مَنْ كاَنَ لَهُ ضُرَاطٌ أَوْ فُسَاءٌ فَلْيَغْسِلْ وَجْـهَهُ
Siapa buang angin, baik berbunyi maupun tidak, maka dia harus membasuh muka.
Apakah dalil seperti itu pernah diajarkan kepada kita? Tidak, kan? Perlu penulis jelaskan bahwa dalil di atas dibuat dengan menggunakan ciri khas anak pesantren. Dalil tidak harus sesuai dengan ejaan bahasa Arab yang benar (boleh menggunakan bahasa Arab-Araban), namun tetap diusahakan dalam qaidah nahwu-sharaf (tata bahasa Arab). Hal ini termasuk bagian dari guyonan ala pesantren. :-)
Dengan demikian, sudah nyata bahwa pertanyaan “Kalau kita buang angin, kenapa muka yang dibasuh?” tidak jelas arahnya dan terbukti sangat lemah muatannya.
Jika memang seperti itu, bagaimana pertanyaan yang tepat? Pertanyaan yang valid adalah, “Kalau kita buang angin, mengapa diharuskan berwudhu lagi ketika akan shalat? Apakah tidak cukup dengan membasuh atau membersihkan bagian buang angin itu saja?” Jadi, sudut pandangnya bukanlah buang angin, tapi batalnya wudhu sebab buang angin. Wudhu menjadi sentral pertanyaan, sedangkan buang angin menjadi salah satu bagiannya. Bukankah ada hal lain yang membatalkan wudhu?
Berwudhu tidak bisa disamakan dengan membasuh muka. Wudhu mempunyai syarat dan rukun. Adapun membasuh muka tidak ada aturannya, sehingga tidak mengenal istilah sah atau tidak. Pernahkah kita mendengar hukum “Hal-hal yang membatalkan membasuh muka”? Atau peraturan “Membasuh muka (di luar wudhu) dikatakan sah apabila dilakukan satu kali, dan sunnah sebanyak tiga kali basuhan”? Mendengarnya saja sudah menggelikan, apalagi bila benar-benar dibuat fatwa ulama tentangnya. Apa kata dunia? :-)
Buang angin tidak termasuk najis, karena itu tidak perlu membasuh bagian buang angin. Bukankah sungguh merepotkan bila setiap buang angin kita harus membasuhnya? Buang angin termasuk hadats kecil yang membatalkan wudhu. Semua ulama sepakat, tidak ada perbedaan pendapat. Allah berfirman :
Apakah dalil seperti itu pernah diajarkan kepada kita? Tidak, kan? Perlu penulis jelaskan bahwa dalil di atas dibuat dengan menggunakan ciri khas anak pesantren. Dalil tidak harus sesuai dengan ejaan bahasa Arab yang benar (boleh menggunakan bahasa Arab-Araban), namun tetap diusahakan dalam qaidah nahwu-sharaf (tata bahasa Arab). Hal ini termasuk bagian dari guyonan ala pesantren. :-)
Dengan demikian, sudah nyata bahwa pertanyaan “Kalau kita buang angin, kenapa muka yang dibasuh?” tidak jelas arahnya dan terbukti sangat lemah muatannya.
Jika memang seperti itu, bagaimana pertanyaan yang tepat? Pertanyaan yang valid adalah, “Kalau kita buang angin, mengapa diharuskan berwudhu lagi ketika akan shalat? Apakah tidak cukup dengan membasuh atau membersihkan bagian buang angin itu saja?” Jadi, sudut pandangnya bukanlah buang angin, tapi batalnya wudhu sebab buang angin. Wudhu menjadi sentral pertanyaan, sedangkan buang angin menjadi salah satu bagiannya. Bukankah ada hal lain yang membatalkan wudhu?
Berwudhu tidak bisa disamakan dengan membasuh muka. Wudhu mempunyai syarat dan rukun. Adapun membasuh muka tidak ada aturannya, sehingga tidak mengenal istilah sah atau tidak. Pernahkah kita mendengar hukum “Hal-hal yang membatalkan membasuh muka”? Atau peraturan “Membasuh muka (di luar wudhu) dikatakan sah apabila dilakukan satu kali, dan sunnah sebanyak tiga kali basuhan”? Mendengarnya saja sudah menggelikan, apalagi bila benar-benar dibuat fatwa ulama tentangnya. Apa kata dunia? :-)
Buang angin tidak termasuk najis, karena itu tidak perlu membasuh bagian buang angin. Bukankah sungguh merepotkan bila setiap buang angin kita harus membasuhnya? Buang angin termasuk hadats kecil yang membatalkan wudhu. Semua ulama sepakat, tidak ada perbedaan pendapat. Allah berfirman :
أَوْ جَاۤءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ ٱلْغَـاۤئِطِ
atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air. (QS an-Nisâ’ [4] : 43)
Tulisan ini berlanjut ke:"Buang Angin,Kok Muka Yg Dibasuh?!(2 of 4)" #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
AssalamualaikumWrWb. Wahh,, sungguh ribet sekali seandainya ada dalil kuat yang menyuruh untuk membasuh di tempat buang angin :-). akan tetapi saya bertanya diluar seputar ini ya pak! saya pernah mendengar ada hadits yang berbunyi "Ketika Rasulullah sedang makan, dan saat usai makan, sisa-sisa makanan yang ada di jari-jemarinya itu dihabiskan sampai bersih ". Apa itu benar pak? Andaikata benar, jika ditinjau di kehidupan sekarang pastilah penilaian orang menganggap kita bahwa...(Ya seperti itulah)hehe,, Contohnya saat kita berada di warung untuk makan :-). Nah, paling tidak ini hampir hampir mirip dengan apa yang bapak tulis. Nagpunten Sanget lo pak! Semoga Curahan Rahmat Allah senantiasa diberikan kepada panjenengan dan keluarga. Amin
ReplyDeletewa'alaykumus salam wr. wb, saudaraku jk supriono yg sangat kritis...
ReplyDeleteu/ semua doa sampean, amin... doa yg sama juga terhatur u/ sampean dan keluarga, amin...
saudaraku,
adat memang bermacam-macam... u/ table manner (aturan cara makan di meja makan) bangsa kita memang mengikuti Eropa (krn dulu dijajah Belanda)...
coba sampean perhatikan cara orang Jepang makan... mereka makan pake sumpit dan mangkuk yg berisi nasi didekatkan ke mulut... cara ini menurut orang Eropa sangat tdk sopan, tp bg orang Jepang sah-sah saja...
ada lg adat yg lebih "aneh"... kakak saya punya teman dari maluku... ternyata di tempat kelahirannya, buang angin dg suara sekeras apa pun tdk masalah... justru sendawa (gelegeken) malah tidak sopan... aneh, kan...?
u/ kasus yg sampean tanyakan, pernah ada seorang ustadz makan di rumah makan & beliau berpakaian ala ustadz (pake sarung, baju takwa & kopyah haji)... beliau makan pake tangan (krn tdk berkuah), lalu selesai makan beliau membersihkan jari dg memasukkan ke mulut...
ternyata, gak ada yg mengatakan tdk sopan... justru ada yg bertanya, knp spt itu? ust. tsb menjelaskan hikmah di balik cara tsb... selain itu ajaran agama, dg melakukan itu bs merasakan kenikmatan hingga tetes terakhir :-), juga katanya ada penelitian medis bhw terdapat enzim di celah-celah jari yg membantu pencernaan (tp saya belum nanya dokter ttg hal ini)...
jd saudaraku,
sebenarnya semua tergantung cara kita menjelaskan... juga tergantung bgmn orang2 di sekitar kita memandang diri kita... contoh kasus ustadz tsb, orang2 tdk ada yg berprasangka buruk dg menilai tdk sopan dll... justru orang2 berprasangka baik thd yg dilakukan ustadz tsb...
jd, bila semua umat Islam melakukan itu, saya kira adat (konvensi) juga akan berubah... justru yg tdk melakukan akan dikira aneh...
begitu dulu, saudaraku... semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin...
Aslkum...
ReplyDeleteWah blognya bagus juga...
akhirnya ane termotivasi untuk mengupgrade blog ane..
Semangaat...!!!!
www.jundi4.blogspot.com
Assalamu'alaykum war wab.
ReplyDeletePak Faisol, apa khabar?
Semoga Bapak dan keluarga senantiasa dalam kesehatan dan keberkahan.
Blog yang luar biasa! Kita bisa 'nyantri' tanpa harus ke pondok. Terima kasih yang dalam atas upaya yang mulia ini.
Oh ya, bagi Pak Faisol dan rekan-rekan pengunjung yang ingin berbagi sudut pandang, saya mengundang Anda untuk berkunjung ke web page syarifniskala.com. Setelah menjamu bersama wordpress sekitar 2 tahun saya telah mengalihkan blog dari syarifniskala.wordpress.com ke syarifniskala.com.
Perubahan ini, semata-mata untuk pelayanan yang lebih baik.
Terima kasih yang dalam.
Salam super
Syarif Niskala
syarifniskala.com
wa'alaykumus salam wr. wb, Pak Syarif Niskala yg baik...
ReplyDeletealhamdulillah saya sekeluarga baik2 selalu... semoga Bapak dan keluarga juga demikian dan senantiasa dalam curahan rahmat Allah, amin...
insya Allah, saya segera berkunjung, Pak...
salam super
asslkm cak isol...
ReplyDeletebest explaining... memang kita wudlu habis kentut bukannya membersihkan kentutnya itu... tetapi ya mengenai batalnya wudlu itu sendiri...
seperti ketika pak guru memberi nilai tidak lulus seorang siswa karena dia jarang masuk... siswa tersebut harus mengikuti ulang pelajaran pak guru... dia harus mengulang bukan karena jarang masuknya itu... tetapi, memang si siswa harus mengulang karena tidak memenuhi syarat untuk lulus...
hehehe, mohon maaf jika logikaku keliru...
asslmkm...
Mohon ijin untuk saya bagikan kepada teman2 REMAIS
ReplyDeletesing jenenge wudhu kui sing diresiki yo batine, ora awake
ReplyDelete