Semasa mahasiswa, penulis pernah bertanya, “Di hadits yang mengajarkan agar kita berkata baik serta memuliakan tamu dan tetangga, mengapa lafazhnya ditujukan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir? Mengapa bukan iman kepada Allah dan rasul-Nya?”
Di buku “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian. Keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir atau hari kebangkitan (yawm al-Ba‘ts). Hal ini karena keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan, sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kebangkitan; karena kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan di hari kemudian nanti. Allah berfirman yang terjemahnya:
Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS al-Baqarah [2]: 8)
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS at-Taubah [9]: 18)
Hadits Nabi juga menghubungkan antara iman kepada Allah dengan hari akhir, sebagaimana pertanyaan penulis. Rasulullah Muhammad saw. bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ ِليَصْـمُتْ. وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَـيْفَهُ
Siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam. Siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklan ia menghormati tamunya. (HR Bukhari dan Muslim)
Banyak orang yang mengingkari hari kebangkitan. Tentang keadaan mereka, Allah berfirman yang artinya:
Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?”
(QS al-Isrâ’ [17]: 49)
Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.”
(QS al-An‘âm [6]: 29)
(QS al-An‘âm [6]: 29)
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh, “Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati.”
(QS an-Nahl [16]: 38)
M. Quraish Shihab menguraikan berneka ragam cara Al-Qur’an menyanggah pandangan keliru itu, sekali secara langsung dan di kali yang lain tidak langsung. Allah berfirman yang terjemahnya:
Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata, “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang Kiamat itu!,” sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu.
(QS al-An‘âm [6]: 31)
Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS al-‘Ankabût [29]: 23)
Ayat-ayat tersebut tidak secara langsung menuding si pengingkar, tetapi kandungannya sedemikian jelas dan tegas menyentuh setiap pengingkar. Abdul Karim al-Khatib dalam bukunya “Qadhiyat al-Uluhiyyah bayna al-Falsafah wad-Dîn”, mengibaratkan gaya bahasa demikian dengan keadaan satu kelompok yang berbicara tentang pembunuhan.
Ketika itu tampil seseorang yang menguraikan kekejaman pembunuh dan akibat-akibat yang akan dialaminya. Ketika menguraikan hal tersebut, si pembunuh ikut hadir mendengarkan ucapan-ucapan tadi. Tentu saja, pelaku pembunuhan dalam hal ini akan merasa bahwa pembicaraan pada hakikatnya ditujukan kepadanya, walaupun dari segi redaksi tidak demikian. Namun justru karena itu, hal ini malah bisa membawa pengaruh ke dalam jiwanya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan rasa takut atau penyesalan yang mengantarkannya kepada kesadaran dan pengakuan.
Dampak psikologis ini tentu akan berbeda bila sejak semula pembicara menuding si pelaku kejahatan secara langsung. Kemungkinan besar ia malah akan menyangkal. Jadi, dalam gaya demikian, redaksi-redaksi Al-Qur’an tidak lagi mengarah kepada akal manusia, tetapi lebih banyak diarahkan kepada jiwanya dengan menggunakan bahasa “hati”. Subhânallâh, betapa indahnya ungkapan Al-Qur’an.
Seperti diketahui, bahasa hati tidak (selalu) membutuhkan argumentasi-argumentasi logis. Karena itu, uraian-uraian Al-Qur’an dalam berbagai masalah tidak selalu disertai bukti argumentatif. Namun, hal ini bukan berarti ayat-ayat lain yang menguraikan hari kebangkitan tidak menggunakan argumentasi sebagai bahasa untuk akal.
Daftar Pustaka:
- M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX: Muharram 1428H/ Februari 2007
Tulisan ini berlanjut ke : Hari Kebangkitan (2 of 4)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
0 comments:
Post a Comment