Mencari Data di Blog Ini :

Friday, June 4, 2010

Menghayati Ayat-Ayat Al-Qur’an (1 of 2)

Allah SWT berfirman:


أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلىٰ قُلُوْبٍ أَقْـفَالهُـَا

Maka apakah mereka tidak tadabbur (memperhatikan dan merenungkan) Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (QS Muhammad [47]: 24)


Al-Qur’an akan dapat berfungsi dengan baik jika dalam membacanya disertai dengan adab-adab batin dalam perenungan, khusyu‘ dan penuh penghayatan.


Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan ada sepuluh amalan batin dalam membaca Al-Qur’an, yaitu:

  1. Memahami keagungan dan ketinggian firman, karunia dan kasih sayang Allah kepada makhluk dengan turunnya Al-Qur’an dari ‘Arsy kemuliaan-Nya, sampai ke derajat pemahaman makhluk-Nya.

  2. Mengagungkan Dzat yang berfirman, yaitu Allah.

    Ketika mulai membaca Al-Qur’an, hendaknya kita menghadirkan keagungan Allah di dalam hati, mengetahui bahwa yang kita baca bukanlah perkataan manusia, juga mengatahui bahwa membaca kalâm Allah sangat penting.

    Mengagungkan firman berarti mengagungkan Dzat yang berfirman. Keagungan Dzat yang berfirman tidak akan hadir di dalam hati kita selagi kita tidak memikirkan sifat-sifat, perbuatan dan kemuliaan-Nya.

    Kita menghadirkan dalam pikiran tentang ‘Arsy, langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya; baik jin, manusia, binatang dan pepohonan; kemudian kita mengetahui bahwa Pencipta, Penguasa, Pemberi rejeki seluruh makhluk adalah Allah, Tuhan Yang Esa.

    Kita juga berpikir bahwa semua makhluk berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, terombang-ambing antara rahmat dan siksa-Nya. Jika Allah memberi nikmat, maka hal itu karena kebaikan-Nya; dan jika membalas kejahatan manusia, maka hal itu karena keadilan-Nya.

    Dengan memikirkan hal-hal seperti ini, pengagungan (ta‘zhîm) Dzat yang berfirman dan pengagungan firman-Nya akan hadir di dalam hati.

  3. Kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa.

    Sebagian ulama terdahulu (salaf), jika membaca suatu ayat tetapi hatinya tidak bersamanya, maka ia mengulangi bacaan itu.

  4. Tadabbur, yaitu memperhatikan dan merenungi makna-makna Al-Qur’an.

    Disunnahkan membaca Al-Qur’an secara tartil (perlahan-lahan), karena tartil secara lahiriah dapat membantu tadabbur dengan batin. Karena rasa ta‘zhîm (pengagungan) yang sudah tinggi, Ali bin Abi Thalib kw. sampai berkata, “Tidak ada kebaikan pada ibadah tanpa pemahaman di dalamnya, dan tidak ada kebaikan pada bacaan tanpa tadabbur di dalamnya.”

    Diceritakan dari Sulaiman ad-Darani, “Sesungguhnya aku tertambat membaca satu ayat selama empat atau lima malam. Seandainya aku tidak memutuskan perenungannya, niscaya aku tidak dapat beralih kepada ayat lainnya.”

  5. Tafahhum, yaitu mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat.

    Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat Allah, berbagai perbuatan-Nya (menciptakan langit, bumi dan semuanya), ihwal para nabi, ihwal orang-orang yang mendustakan para nabi dan bagaimana mereka dibalas, serta beragam perintah dan larangan-Nya, juga surga dan neraka.

    Hendaknya kita merenungkan makna-makna berbagai sifat ini agar dapat menyingkap rahasianya, karena di dalamnya terdapat banyak makna terpendam. Kita sudah seharusnya berkeinginan keras untuk mendapatkan pemahaman tersebut.

    “Untuk mengantarkanmu mengetahui rahasia ayat-ayat Al-Qur’an, tidaklah cukup engkau membacanya empat kali sehari,” pesan Al-Maududi.

    Ibnu Mas‘ud berpesan, “Siapa menghendaki ilmu orang-orang terdahulu dan kemudian, hendaknya ia mendalami Al-Qur’an. Ilmu Al-Qur’an adalah yang paling agung di bawah nama-nama dan sifat-sifat Allah.

  6. Menghindari hambatan-hambatan pemahaman yang membuat kita tidak bisa menyaksikan keajaiban rahasia Al-Qur’an.

    Contoh yang menghambat pemahaman yaitu terus-menerus melakukan dosa, bersifat angkuh, atau terjangkit penyakit hawa nafsu kepada dunia yang diperturutkan. Semua itu merupakan penyebab timbulnya kegelapan dan karat pada hati. Ia seperti debu yang menumpuk pada sebuah cermin sehingga menghalangi munculnya kebenaran secara jernih. Oleh karena itu, Allah mensyaratkan inabah (kembali/bertaubat) untuk bisa mendapatkan pemahaman dan pelajaran.

    Dan tiadalah mendapatkan pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah) (QS al-Mu’min [40]: 13)

  7. Takhshîsh, yaitu menyadari bahwa diri kitalah sasaran pembicaraan (khithâb) yang ada di dalam Al-Qur’an.

    Apabila kita membaca suatu perintah atau larangan, maka kita pahami bahwa diri kitalah yang diperintahkan dan dilarang. Begitu pula jika kita membaca janji dan ancaman. Apabila kita membaca kisah orang-orang terdahulu dan para nabi, maka kita mengetahui bahwa kisah-kisah itu tidak dimaksudkan sebagai bahan cerita semata, melainkan untuk diambil pelajarannya dan bekal-bekal yang diperlukan.

    Muhammad bin Ka‘ab al-Qurazhi berkata, “Siapa yang Al-Qur’an telah sampai kepadanya, maka seakan-akan ia diajak bicara oleh Allah.”

    Sebagian ulama berpesan, “Al-Qur’an adalah surah-surah yang datang dari Tuhan kita dengan segala janji-Nya. Kita menadabburinya dalam shalat, merenungkannya di tempat-tempat sepi, dan melaksanakannya dalam berbagai bentuk ketaatan.”

    “Apakah tanaman Al-Qur’an di dalam hati kalian, wahai ahli Al-Qur’an? Sesungguhnya Al-Qur’an adalah penyubur bagi orang mukmin, sebagaimana air hujan menjadi penyubur tanah,” ungkap Malik bin Dinar.

    Berikut ini contoh takhshîsh dalam membaca Al-Qur’an. Misalkan kita sedang membaca ayat,

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 183)

    Dengan menyadari bahwa kitalah sasaran (khithâb) perintah ini, maka seolah-olah Allah memerintahkan kita,

    “Hai faisol, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

    Dengan takhshîsh seperti ini, akan tampak sekali perbedaan efek pada diri kita, dibandingkan tidak melakukan takhshish. Kalau tidak kita lakukan, maka kita hanya seperti membaca sebuah berita atau narasi, sehingga sulit sekali membekas di dalam dada.


Daftar Pustaka :

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Membumikan’ Al-Qur’an”, Penerbit Mizan, Cetakan XXX : Dzulhijjah 1427H/Januari 2007
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006


Tulisan ini berlanjut ke : Menghayati Ayat-Ayat Al-Qur’an (2 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

3 comments: