b. Ilmu
Ilmu yang kita miliki bisa menjadi fitnah, membuat diri kita menyombongkan diri di hadapan manusia, meremehkan mereka, seolah tidak ada orang berilmu seperti kita.
Kita akan berkata, “Sudah sewajarnya kalau saya memandang diri lebih tinggi dari orang lain. Saya sudah lulus pendidikan S1, S2, S3 bahkan Profesor. Saya seorang pakar, juga memperoleh banyak gelar profesional—CCIE, MCT, SCNA, SCJP, RHCE dan masih banyak lagi. Siapa yang lebih tinggi ilmunya dibandingkan saya?”
Bagi kita yang pernah menjadi santri di pesantren, bisa jadi kalimatnya seperti ini, “Saya sudah mondok di pesantren hampir 25 tahun. Saya pantas menyandang gelar al-‘Âlim, al-Fahmu (orang yang paham akan banyak hal), bahkan al-‘Allâmah (orang yang sangat tinggi ilmunya). Bagi mereka yang baru mondok 6 tahun masih dikategorikan anak TK. Mereka belajar agama baru pada tahap kulit, belum sampai kepada isi.”
Jika kita mengenyam pendidikan di luar negeri, mungkin dengan angkuhnya kita akan berucap, “Tidak ada orang secerdas saya. Saya ini paling rasional. Apa itu ulama-ulama zaman dulu, mereka orang-orang kuno, primitif dan tak layak lagi pemikirannya dipakai. Kitabnya saja kitab kuning, itu kan artinya kitab bulukan, lebih pantas dimakan rayap. Kita harus menggunakan metode baru yang lebih sistematis, ilmiah, aktual, intelek dan modern.”
Apakah sah kalau kita melakukan hal seperti itu? Tidakkah kita sadari bahwa di atas langit ada langit? Tidak mengertikah kita bahwa ilmu yang kita kuasai kita tidak sampai 1% dari keseluruhan disiplin ilmu yang saat ini sudah diketahui? Apalagi jikalau kita juga menghitung ilmu-ilmu yang masih dalam penelitian atau belum ditemukan, bisakah mencapai 0,1%-nya?
Bukankah tidak ada seorang dokter pun yang menguasai seluruh ilmu kedokteran? Setiap dokter punya spesialisasi sendiri-sendiri, misalnya spesialis tulang, penyakit dalam, anak, mata, kulit dan kelamin, neuro immunolog serta masih banyak lagi. Di bidang Teknologi Informasi juga masih dipilah-pilah, ada system administrator, network administrator, database administrator, programmer (2-Tier dan 3-Tier), desain grafis dan teknisi. Santri-santri di pondok pesantren pun terbagi-bagi, ada yang menekuni fiqh, bahasa dan sastra, tafsir, hadits dan sebagainya. Disiplin ilmu yang lain juga punya spesialisasi seperti itu.
Bila kita mengaku modern dan anti orang-orang lama, di manakah kita ketika para guru sekolah mengajarkan tentang Albert Einstein, Alessandro Volta, Alexander Fleming, Archimedes, Aristoteles, Daniel Bernoulli, James Clerk Maxwell, James Prescott Joule, James Watt, Michael Faraday, Michelangelo, Nicolaus Copernicus, Plato, Sir Isaac Newton, Socrates dan masih banyak lagi orang-orang seperti mereka yang notabene kuno menurut kita? Mengapa saat ini teori-teori kuno tersebut masih dipelajari bahkan digunakan? Lalu mengapa kita menolak mentah-mentah kitab-kitab yang disusun ulama-ulama zaman dulu? Masihkah kita merasa ilmu kita begitu tinggi dan hebat sehingga berhak merendahkan yang lain? Seorang penyair pernah berkata :
Ilmu yang kita miliki bisa menjadi fitnah, membuat diri kita menyombongkan diri di hadapan manusia, meremehkan mereka, seolah tidak ada orang berilmu seperti kita.
Kita akan berkata, “Sudah sewajarnya kalau saya memandang diri lebih tinggi dari orang lain. Saya sudah lulus pendidikan S1, S2, S3 bahkan Profesor. Saya seorang pakar, juga memperoleh banyak gelar profesional—CCIE, MCT, SCNA, SCJP, RHCE dan masih banyak lagi. Siapa yang lebih tinggi ilmunya dibandingkan saya?”
Bagi kita yang pernah menjadi santri di pesantren, bisa jadi kalimatnya seperti ini, “Saya sudah mondok di pesantren hampir 25 tahun. Saya pantas menyandang gelar al-‘Âlim, al-Fahmu (orang yang paham akan banyak hal), bahkan al-‘Allâmah (orang yang sangat tinggi ilmunya). Bagi mereka yang baru mondok 6 tahun masih dikategorikan anak TK. Mereka belajar agama baru pada tahap kulit, belum sampai kepada isi.”
Jika kita mengenyam pendidikan di luar negeri, mungkin dengan angkuhnya kita akan berucap, “Tidak ada orang secerdas saya. Saya ini paling rasional. Apa itu ulama-ulama zaman dulu, mereka orang-orang kuno, primitif dan tak layak lagi pemikirannya dipakai. Kitabnya saja kitab kuning, itu kan artinya kitab bulukan, lebih pantas dimakan rayap. Kita harus menggunakan metode baru yang lebih sistematis, ilmiah, aktual, intelek dan modern.”
Apakah sah kalau kita melakukan hal seperti itu? Tidakkah kita sadari bahwa di atas langit ada langit? Tidak mengertikah kita bahwa ilmu yang kita kuasai kita tidak sampai 1% dari keseluruhan disiplin ilmu yang saat ini sudah diketahui? Apalagi jikalau kita juga menghitung ilmu-ilmu yang masih dalam penelitian atau belum ditemukan, bisakah mencapai 0,1%-nya?
Bukankah tidak ada seorang dokter pun yang menguasai seluruh ilmu kedokteran? Setiap dokter punya spesialisasi sendiri-sendiri, misalnya spesialis tulang, penyakit dalam, anak, mata, kulit dan kelamin, neuro immunolog serta masih banyak lagi. Di bidang Teknologi Informasi juga masih dipilah-pilah, ada system administrator, network administrator, database administrator, programmer (2-Tier dan 3-Tier), desain grafis dan teknisi. Santri-santri di pondok pesantren pun terbagi-bagi, ada yang menekuni fiqh, bahasa dan sastra, tafsir, hadits dan sebagainya. Disiplin ilmu yang lain juga punya spesialisasi seperti itu.
Bila kita mengaku modern dan anti orang-orang lama, di manakah kita ketika para guru sekolah mengajarkan tentang Albert Einstein, Alessandro Volta, Alexander Fleming, Archimedes, Aristoteles, Daniel Bernoulli, James Clerk Maxwell, James Prescott Joule, James Watt, Michael Faraday, Michelangelo, Nicolaus Copernicus, Plato, Sir Isaac Newton, Socrates dan masih banyak lagi orang-orang seperti mereka yang notabene kuno menurut kita? Mengapa saat ini teori-teori kuno tersebut masih dipelajari bahkan digunakan? Lalu mengapa kita menolak mentah-mentah kitab-kitab yang disusun ulama-ulama zaman dulu? Masihkah kita merasa ilmu kita begitu tinggi dan hebat sehingga berhak merendahkan yang lain? Seorang penyair pernah berkata :
Katakan pada orang yang mengaku memiliki ilmu melimpah
Kau tahu satu hal namun banyak hal yang tidak kau ketahui
Barangkali kita akan berargumen, “Tapi kan, saya membandingkan diri saya dengan sesama manusia, bukan dengan Allah. Tidak ada orang yang berilmu seperti saya.”
Memang betul kita membandingkannya orang lain, tapi sekali lagi, sifat sombong hanya berhak disandang oleh Allah Yang Maha Mengetahui (Al-‘Alîm) serta Maha Luas Rahmat dan Ilmunya (Al-Wâsi‘).
Iblis (la‘natullâh ‘alayh) saja terusir dari sorga karena kesombongannya. Siapa sebenarnya Iblis? Ibnu Abbas ra. mengatakan, “Iblis adalah makhluk paling berilmu, tetapi ilmunya tidak bermanfaat, bahkan membuatnya pongah, sombong dan berbangga diri.”
Dalam beberapa riwayat, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dan ahli tafsir lainnya, konon Iblis adalah raja di langit dunia. Dia diberi wewenang di sana. Oleh sebab kekuasaannya, Iblis enggan bersujud ketika Allah berfirman kepada para malaikat untuk bersujud. Penolakan Iblis untuk bersujud merupakan bentuk keangkuhan. Kalimat-kalimat yang diucapkannya adalah awal dari nestapa, laknat dan penderitaan.
Lupakah kita bahwa kita bisa saja lupa semua yang telah dipelajari bila terkena penyakit, misalnya amnesia? Atau mengalami kecelakaan sehingga gegar otak? Bisa juga tekanan darah naik sehingga terserang stroke? Na‘ûdzubillâh.
Umar bin Khaththab ra. memberi nasihat, “Jangan pelajari suatu ilmu karena tiga tujuan dan jangan pula meninggalkan ilmu karena tiga tujuan. Yakni, jangan pelajari ilmu dengan tujuan untuk berdebat, membanggakan diri dan pamer. Jangan tinggalkan ilmu (tidak mau belajar) karena malu mempelajarinya, merasa cukup berilmu dan pasrah karena kebodohan.”
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Athaillah berpesan, “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memancarkan cahaya di dalam dada dan menyingkap katup hati.” Ilmu harus dapat membentuk diri orang yang berilmu dengan akhlak dan jiwa mulia, serta dapat membentuk anggota masyarakat sesuai dengan tuntunan Ilahi.
Hakikat ilmu adalah yang membawa seseorang mengenal Tuhannya dan timbulnya rasa takut (khasy-yah) kepada Allah. Yang dimaksud rasa takut adalah mengamalkan ilmu yang dianugerahkan Allah untuk menghambakan diri kepada-Nya sebagai ciri-ciri orang berilmu. Ilmu menjadi pendorong dan penguat jiwa untuk makin dekat kepada Allah, melebihi orang yang tidak berilmu.
Kalbu adalah wadah ilmu pengetahuan. Membersihkan kalbu merupakan hal yang sangat dianjurkan guna memperoleh pengetahuan yang jernih. Al-Ghazali menjelaskan, “Kalau kita membayangkan suatu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai dari atas ke dalam kolam itu. Bisa juga dengan menggali tanah sehingga muncul mata air. Air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu jauh lebih jernih daripada air sungai yang mengalir dari atas. Kolam seumpama kalbu, air ibarat pengetahuan, sedangkan sungai laksana panca indera dan eksperimen.”
Ulama-ulama salaf, walaupun sangat dalam ilmunya, tetaplah rendah hati. Seseorang bertanya kepada Imam Malik tentang 40 (empat puluh) macam persoalan, tapi beliau hanya menjawab 8 (delapan) buah di antaranya dan diam dalam 32 (tiga puluh dua) masalah yang tersisa. Semua itu demi kehati-hatian, agar tidak salah dalam berfatwa.
Si penanya sampai berkata, “Engkau sungguh mengherankan, wahai Malik. Sedemikian inikah ilmu yang kau miliki? Kami bersusah payah datang mengendarai unta dari Irak dan kamu mengatakan tidak tahu!”
Imam Malik menjawab, “Pergilah kepada orang-orang dan katakan pada mereka, ‘Malik bin Anas tidak tahu apa-apa!’ ”
Imam Malik mengingatkan, “Ilmu itu bukan sekadar kepandaian atau banyak meriwayatkan hadits Nabi saw, akan tetapi ia merupakan nur yang bercahaya dalam hati. Manfaat ilmu akan mendekatkan manusia kepada Allah serta menjauhkannya dari kesombongan.”
Itulah Imam Malik, padahal Imam Syafi‘i pernah menyatakan, “Jika disebut ulama, maka Imam Malik-lah bintangnya.” Khalifah Abu Ja‘far al-Manshur berkata, “Di antara keajaiban dunia adalah otak Imam Malik.” Imam Malik memiliki keistimewaan dibandingkan ulama lain dari segi pengetahuan tentang sunnah Nabi saw. dan kecerdasan akal.
Daftar Pustaka :
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Lâ Tahzan – Jangan Bersedih”, Qisthi Press, Cetakan Ketiga puluh enam : Januari 2007
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
- M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
- Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (1 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (3 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#
Assalamu'alaikum pak Faisol......Semoga Anda sehat dan Sejahtera selalu
ReplyDeleteSaya mohon Ijin Ngopy ya....mulai dari part 1
mampir lagi ke tempatku ya Pak
wa'alaykumus salam wr. wb, saudaraku surya yg baik...
ReplyDeletemonggo... semoga bs menjadi ilmu yg bermanfaat & Multi Level Pahala (MLP) bg kita semua, amin...
insya Allah saya akan segera mampir setelah kerjaan selesai, saudaraku...