Mencari Data di Blog Ini :

Friday, May 15, 2009

Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (11 of 12)

‘Ifrit berhasil menggoda Barshisha. Barshisha tak lagi malu untuk menatap wajah ayu sang putri. Dia begitu mengagumi lukisan indah di depan matanya. Tatapan mata pun beradu. Mata memang bisa menyampaikan beribu-ribu pesan. Ia bisa memutuskan, bisa pula menyatukan. Ia bisa menebar janji maupun ancaman. Ia bisa mengusir atau menerima pertemanan. Ia bisa memerintah, dan ia pun bisa melarang. Ia bisa menebar tawa maupun derita. Ia memberi jawaban di satu saat, sedang di saat lain ia mengajukan pertanyaan. Ia bisa menolak maupun memberi. Dan, ia masih bisa banyak lagi.

Bagi Barshisha, mata sang putri bagai magnet yang menarik-narik jantungnya. Jantung yang memang tugasnya untuk berdetak, ternyata berdegup dengan sangat kencang setiap kali berdekatan dengan sang putri. Darah berdesir dibuatnya. Hati pun berguncang seolah diterjang angin daya. Lama-kelamaan, terjadilah apa yang sudah terjadi. Sang putri hamil tanpa ikatan nikah yang suci. Na‘ûdzubillâh min dzâlik.

Ia yang suka menuruti nafsu birahi
Janganlah kaudekati
Karna kala bencana terjadi
Tak ada yang menolong menghampiri
Jangan kaudekatkan kayu bakar
Pada api yang berkobar-kobar
Jika nekat kaulakukan, apalagi dengan sadar
Asap kan mengepul, udara kan terbakar
(gubahan Ibnu Hazm al-Andalusi)

Ibarat pemanah ulung, panah kedua ‘Ifrit tepat pada sasaran. Umpama mahasiswa, dia lulus ujian tahap kedua dengan predikat jayyid jiddan (sangat baik) bahkan mumtâz atau cumlaude. Dengan menjelma menjadi manusia, ‘Ifrit mendatangi Barshisha, lalu bertanya dengan nada penuh tuduhan dan ancaman.

“Wahai Barshisha, apa yang telah engkau lakukan?” tanya ‘Ifrit ketus.

“A..aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Barshisha gugup. Dia kaget sekali mendengar pertanyaan yang terasa aneh namun penuh tuduhan tersebut.

“Alaaaahhh… Kamu jangan berlagak tidak tahu!”

“Be..bee..betul. Aku tidak tahu apa maksudmu.”

“Aku sudah tahu semuanya!”

Mendengar kalimat itu terucap, jantung Barshisha berdebar keras. Dalam hatinya, dia kuatir jika ‘Ifrit benar-benar mengetahui perbuatan terkutuk yang telah ia lakukan. Barshisha diam tak menjawab.

“Tugasmu kan menyembuhkan sang putri. Kenapa sekarang engkau tambah lagi penderitaanya? Mengapa kau menghamilinya? Apa kamu tidak tahu bahwa kejadian ini akan membuat raja murka?” tanya ‘Ifrit bertubi-tubi. Namun, itu bukanlah pertanyaan yang butuh jawaban. Jawaban pertanyaan itu sudah tersurat dengan jelas.

Laksana lari estafet, pertanyaan demi pertanyaan berlari sambung-menyambung dari bibir ‘Ifrit. Ibarat anak panah, busur telah melepaskan sekian banyak anak panah yang melesat cepat mengenai sasaran dengan tepat. Barshisha diam seribu bahasa. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tubuhnya gemetar mendengar rentetan pertanyaan tanpa ada yang sanggup ia jawab. Kalimat demi kalimat ia rasakan bagai peluru diberondongkan dari senapan AK-47 ke arah tubuhnya. Peluh dingin membasahi wajahnya. Badannya pun menjadi lemas seketika. ‘Ifrit memang agitator ulung.

Melihat kondisi psikologis musuh jatuh serendah-rendahnya, ‘Ifrit pun berhasil memenangkan psy war (perang urat saraf) antara dia dan Barshisha. ‘Ifrit seolah sudah mencuci bersih otak Barshisha.

“Jika engkau tidak ingin dihukum gantung oleh raja, bunuh saja putri itu. Lalu kuburlah ia di samping tempat ibadahmu. Jika nanti semua orang bertanya, jawablah bahwa sang putri meninggal dengan tenang karena kehendak Allah. Niscaya engkau akan selamat dari tiang gantungan,” kata ‘Ifrit dengan suara begitu meyakinkan, laksana seorang konsultan ternama seantero jagad.

Seperti robot yang tidak menggunakan artificial intelligence (kecerdasan buatan), Barshisha melaksanakan semua yang disarankan ‘Ifrit. Baginya, itulah nasihat terbijak yang ia dengar kala selimut kegelapan membungkus erat pikirannya.

Hari berikutnya, datanglah utusan kerajaan untuk menengok kondisi sang putri. Dengan sikap setenang mungkin, Barshisha menjawab bahwa sang putri telah meninggal sesuai takdir Allah. Hanya kepasrahan yang bisa dilakukan oleh rombongan dari istana. Mereka pamit pulang hendak mengabarkan berita duka kepada keluarga kerajaan.

Di tengah jalan, ‘Ifrit mencegat mereka. Mereka diberi tahu bahwa Barshisha telah membuat kebohongan besar. ‘Ifrit menceritakan detail kejadiannya, dan yang pasti dia tidak bercerita tentang ide-idenya. Semua tuduhan mengarah ke Barshisha. Para utusan kerajaan pun bermuram durja. Mereka marah bukan kepalang. Diputuskan sebagian pasukan kembali ke rumah Barshisha dan sebagian lagi menjemput keluarga istana.

Setelah raja dan semua pengawal kerajaan tiba di rumah Barshisha, kuburan sang putri dibongkar. Tabib istana melakukan pengecekan mayat (semacam otopsi di dunia kedokteran modern). Setelah beberapa saat, sang tabib berhasil mengungkap kedustaan Barshisha. Barshisha akhirnya dibawa ke istana untuk diadili.


*******#######*******

Seperti peribahasa “Kotor dicuci, berabu dijentik”, perbuatan jahat harus diberi hukuman setimpal. Proses pengadilan pun digelar. Barshisha duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Ia bukanlah pembohong ulung, sehingga semua argumentasinya bisa dipatahkan dengan mudah, ibarat ranting pohon yang patah terinjak kaki anak kecil. Dengan dakwaan primer pembunuhan berencana, juga dikenai dakwaan subsider—tentang pembunuhan yang disertai perbuatan untuk mempersiapkan dan mempermudah pelaksanaan—Barshisha akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung.

Disaksikan oleh rakyat kerajaan, di atas panggung tempat ditancapkannya tiang gantungan, Barshisha tampak lemah tak berdaya. Wajah yang biasanya dihiasi dengan senyum ramah, kini kusut bagaikan benang ruwet. Pikirannya begitu kalut. Sesaat sebelum prosesi hukuman gantung dimulai, ‘Ifrit mendekati Barshisha. Ia berkata,

“Hai Barshisha, aku penasihat raja. Aku bisa menyelamatkanmu dari tiang gantungan ini. Tapi ada syaratnya. Kamu harus bersujud kepadaku sebagaimana kamu sujud kepada Allah.”

”Iya, iya... Aku mau. Aku tidak ingin mati sekarang. Namun, dengan kondisiku yang terikat dengan leher terlilit tali seperti ini, bagaimana aku bisa bersujud kepadamu?,” ujar Barshisha segera. Entah apa yang ada di benaknya, ternyata ia mengiyakan permintaan ‘Ifrit.

Bibir ‘Ifrit menyungging sebuah senyum kemenangan. Ia melanjutkan sarannya,

“Baiklah. Mengingat kondisimu, kamu cukup memberi isyarat dengan menganggukkan kepala. Itu sudah membuktikan bahwa kamu menyembah aku.”

Barshisha memang sudah kehilangan akal sehatnya. Ia menganggukkan kepala sebagai isyarat sujud kepada ‘Ifrit. Sudah sepatutnya bagi setan, ‘Ifrit pun ingkar janji. Hukuman gantung dilaksanakan. Barshisha mati dalam keadaan sû’ul khâtimah. Na‘ûdzubillâh. Peperangan telah usai, ‘Ifrit memenangkannya secara mutlak.

Dengan bibir menyeringai bak harimau menunjukkan kekuasaannya, ‘Ifrit berkata, “Sekarang aku sudah bebas. Aku tidak ada urusan lagi denganmu.”

(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu,” maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”
(QS al-Hasyr [59] : 16)

Sesungguhnya berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS Ibrahim [14] : 22)

Wallâhu a‘lamu hâkadzâ. Na‘ûdzu billâhi min ghurûri asy-syaithâni wa makrihi.


Daftar Pustaka :
  • Aditya Bagus Pratama, “5079 Peribahasa Indonesia”, Pustaka Media, Cetakan II, 2004
  • Asrori al-Maghilaghi, Kyai, “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, “Di Bawah Naungan Cinta (Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007

Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (10 of 12)
Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (12 of 12)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

5 comments:

  1. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
    Alkisah yg benar2 menyentuh dan pantaslah disimak oleh semua umat tentang bahayanya godaan syetan pun juga tentang bahayanya gempuran dari bujuk rayu ifrit. Semoga kita semua terhindar dari rayuan iblis laknatullah beserta dedengkotnya.
    Untuk Bpk Faisol dan Keluarga, Semoga Allah merahmati panjenengan semua. amin

    ReplyDelete
  2. Wa‘alaykumus salâm wa rahmatullâhi wa barakâtuh, saudaraku joko supriono yg baik,

    terima kasih saya haturkan atas kunjungan sampean ke gubug saya...

    u/ semua doa sampean, amin... doa yg sama terhatur u/ sampean & keluarga, amin...

    ReplyDelete
  3. alhamdulillah,

    i had the opportunity to read a few of your posts.. so glad i did..

    :)

    ReplyDelete
  4. saudariku inas yg baik,

    terima kasih saya haturkan atas kunjungan sampean ke gubug saya... semoga blog ini bisa jadi ilmu yg bermanfaat & Multi Level Pahala bagi kita semua, amin...

    ReplyDelete
  5. sukron kasir, atas perantara beritanya...

    ReplyDelete