f. Tawadhu‘
Dalam kitab “Al-Hikam”, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Athaillah as-Sakandary menjelaskan :
مَنْ أَثْبَتَ لِنَفْسِـهِ تَوَاضُعًا فَهُوَ الْمُتَكَـبِّرُ حَقًّا، إِذْ لَيْسَ التَّوَاضُعُ إِلاَّ عَنْ رِفْعَةٍ فَمَتَى أَثْبَتَ لِنَفْسِكَ رِفْعَةً فَأَنْتَ الْمُتَكَـبِّرُ حَقًّا
Siapa merasa dirinya tawadhu‘, maka dia benar-benar telah takabbur (sombong). Sebab tiadalah ia merasa tawadhu‘ kalau bukan karena sifat tinggi darinya. Oleh karena itu kapan saja engkau merasa dirimu tinggi, maka sungguh engkau telah takabbur.
Kadang karena ingin tawadhu‘, kita berlaku berlebihan sehingga menjalani hidup terlalu bersahaja padahal kita mampu. Misalnya tidak mau ikut serta menyumbangkan pemikiran dan pendapat yang kita miliki kepada orang lain, selalu menolak kepercayaan, tanggung jawab serta amanah yang diberikan kepada kita, padahal kita memiliki kemampuan untuk melaksanakan itu semua. Setan akan menggoda dan membisiki kita bahwa sikap itulah bentuk keunggulan kita yang tidak dimiliki orang lain. Kita adalah orang mulia karena mampu bersikap tawadhu‘ seperti itu.
Mâsyâ Allah. Setan memang tak pernah lelah untuk menggelincirkan kita. Walaupun kita sudah rendah hati, justru sifat itu sendiri yang dijadikan senjata oleh setan untuk membuat diri kita sombong. Merasa diri tawadhu‘ termasuk sifat angkuh (kibr). Apalagi jika sifat ini dipamerkan kepada orang lain, maka jadilah perbuatan ini riya’.
Sebenarnya tawadhu‘ itu hanyalah sifat terpuji yang tersimpan dalam hazanah kalbu seorang hamba Allah. Ia tidak menunjukkan sifat-sifatnya itu. Ia hanya meneladani akhlak Rasulullah saw. Ia sendiri tidak merasa memiliki sifat tersebut, karena yang ia gunakan dan tiru adalah sifat Rasulullah.
“Hakikat tawadhu‘ adalah tawadhu‘-nya seseorang karena melihat keagungan Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada yang dapat mengeluarkan engkau dari sifat angkuh, kecuali engkau memperhatikan sifat-sifat Allah,” pesan Ibnu Athaillah.
Kekuasaan Allah adalah sifat yang ada pada-Nya. Allah-lah Yang Maha Kuasa (Al-Qâdir). Selama kita tidak memperhatikan sifat-sifat kemuliaan yang ada pada-Nya, selama itu pula kita merasa lebih dari manusia lainnya, dan dengan sifat itu kita telah takabbur.
Abu Bakar Dalf asy-Syibli berkata, “Siapa yang merasa diri berharga, maka ia tidak bertawadhu‘ (tidak ada bagian dalam tawadhu‘).”
Abu Sulaiman ad-Darany berpesan, “Seorang hamba tidak dapat bertawadhu‘ kepada Allah hingga mengetahui kedudukan dirinya (maksudnya dia tahu kedudukan dirinya di hadapan Allah).”
Bahkan, seorang ulama ahli hikmah menasihatkan, “Selama seseorang merasa ada yang lebih jahat dari dirinya, maka ia sombong.”
Tawadhu‘ adalah sifat dan watak yang harus dimiliki oleh setiap muslim karena termasuk bagian dari akhlak terpuji (akhlâqul mahmûdah).
Supaya senantiasa dalam ketundukan pada-Nya, marilah kita bersama-sama memohon kepada Allah :
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِاسْمِكَ الطُّهْرَ الطَّاهِرِ وَبِعَظَمَتِكَ وَكِبْرِيَائِكَ الَّذِى إِذَا طُلِبَتْ بِهَا الْحَسَنَاتِ نِيْلَتْ وَإِذَا دُرِئَتْ بِهَا السَّـيِّئاَتِ حِيْلَتْ. اللَّهُمَّ اصْرِفْ عَناَّ السُّوْءَ وَأَلْقِ عَلَيْنَا مِنْ زِيْنَتِكَ وَنُعُوْتِ رُبُوْبِيَّـتِكَ مَا تَقْهَرُ بِهَا الْقُلُوْبَ وَتَذِلُّ بِهَا النُّفُوْسَ وَتَقِرُّ بِهَا اْلأَبْصَارَ وَتَلِذُّ بِهَا اْلأَفْكَارَ وَتَخْضَعُ بِهَا كُلَّ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ. يَا اللهُ يَا مُتَكَبِّرُ يَا قَهَّارُ
Ya Allah, sesungguhnya kami mohon kepada-Mu, dengan nama-Mu yang suci, serta keagungan dan kebesaran-Mu yang bila dimohonkan kebijakan dengannya diperoleh kebijakan itu. Bila ditolak keburukan dengan menyebutnya terjauhkan dari keburukan itu. Ya Allah, hindarkanlah kami dari segala keburukan, campakkanlah ke dalam jiwa kami keindahan-Mu serta sifat-sifat-Mu yang terpuji, agar tunduk dengannya semua kalbu, serta luluh semua jiwa, sejuk karenanya semua mata, dan tenang semua pikiran, lagi tunduk semua yang angkuh dan pembangkang. Ya Allah, Yang Memiliki Kebesaran dan Maha Perkasa, amin.
Daftar Pustaka :
- Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
- Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
- Muhammad bin Ibrahim Ibnu ‘Ibad, asy-Syaikh, “Syarah al-Hikam”
Tulisan ini lanjutan dari : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (11 of 12)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#
Good blog, ngajar dimana?
ReplyDeletesaudaraku Swasasi yg baik,
ReplyDeleteterima kasih saya haturkan atas kunjungan sampean ke gubug saya...
saya mengajar di Inixindo Surabaya, Graha Pena Lt. 10 suite 1005 Jl. A. Yani 88 Sby... selain itu jg jd dosen luar biasa u/ kelas sore di Jurusan Teknik Informatika-Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya...
begitu dulu, saudaraku...