Untuk menambah semangat meraih surga level yang lebih tinggi, perlu diketahui bahwa hari akhir disebut juga yawm at-Taghâbun (Hari ditampakkan kesalahan-kesalahan).
(Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan (untuk dihisab), itulah hari (waktu itu) ditampakkan kesalahan-kesalahan. Dan siapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal shaleh niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar. (QS at-Taghâbun [64]: 9)
Ada juga yang menerangkan bahwa Yawm at-Taghâbun berarti hari yang nampak segala sesuatu yang berbeda dengan yang pernah terlintas di dalam benak pikiran seseorang. Allah berfirman yang terjemahnya:
Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
(QS as-Sajdah [32]: 17)
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya. (QS Qâf [50]: 35)
Orang mukmin yang tidak beramal lebih dari apa yang telah dilakukan di dunia (padahal ketika itu ia bisa meningkatkan amalnya) menyesal dan merugi, sebab ia tidak memberi penilaian yang benar terhadap kehidupan akhirat dan baru mengetahui hakikatnya ketika itu terjadi. Ia menyesal, seandainya saja ia berbuat lebih baik ketika di dunia, niscaya akan mendapatkan surga yang lebih tinggi derajatnya. Demikian pula orang kafir, ia menyesal dalam hal yang sama, sebab tidak memiliki amal sama sekali.
Mungkin kita akan bertanya, “Bukankah para ulama menjelaskan bahwa kita masuk surga karena rahmat Allah, bukan karena amal kita? Lalu, di manakah peran amal kebaikan yang telah kita lakukan?”
Ya. Kita masuk surga bukan semata-mata karena amal ibadah kita. Kita bisa masuk surga karena rahmat Allah. Ada dua pendapat yang menjelaskan tentang hubungan amal dan rahmat Allah. Pendapat pertama mengatakan bahwa amal perbuatan yang dilakukan oleh hamba dapat terlaksana berkat rahmat Allah, maka amal perbuatannya itu pada hakikatnya kembali kepada rahmat Allah. Pendapat kedua meyatakan bahwa kedudukan dan derajat di surga ditentukan oleh amal perbuatan, sedang memasuki surga atas rahmat Allah. Wallâhu a‘lam.
Berikut ini penulis sajikan lagi kisah yang sering kita dengar dari para ulama bahwa kita masuk surga karena rahmat dari Allah, bukan hanya karena amal kita.
Para ahli sirah dan sejarawan menuturkan, pada zaman dahulu tersebutlah seorang ahli ibadah dari Bani Israil yang mengasingkan diri di pulau terpencil untuk beribadah kepada Allah. Tidak ada kawan yang mengganggu, wanita yang mengusik, juga tetangga yang menyakiti atau menggunjing. Dia hanya beribadah dari pagi hingga petang. Buah delima menjadi makanan dan sumber air dingin sebagai minumannya.
500 (lima ratus) tahun beribadah, kemudian sang ajal pun tiba. Di hari Perhitungan (yawm al-Hisâb), Allah bertanya, “Wahai hamba-Ku, apakah engkau menginginkan surga dengan amal perbuatanmu atau dengan rahmat-Ku?”
“Aku ingin masuk surga dengan amal perbuatanku,” jawab hamba ahli ibadah itu.
Maka Allah memerintahkan malaikat untuk menghitung nikmat-nikmat yang telah diberikan padanya. Malaikat mendapati bahwa seluruh amal perbuatan hamba itu tidak lebih berharga dari satu nikmat yang diterimanya dari Allah yaitu nikmat penglihatan. Dengan hasil perhitungan tersebut, maka Allah memerintahkan malaikat untuk memasukkannya ke neraka.
Hamba itu berdoa dan memohon dengan penuh rasa tunduk. Oleh sebab itu, Allah mengasihinya dan memasukkannya ke surga. Dengan demikian, si hamba mengetahui bahwa surga didapat berkat rahmat Allah, bukan semata-mata karena amal ibadahnya. Rasululllah bersabda:
Tidak seorang pun dari kalian bisa masuk surga hanya karena amal perbuatannya.
Para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga demikian, ya Rasulullah?”
وَلاَ أَنَا إلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَفَضْلٍ
“Ya, terkecuali jika Allah menyelimuti aku dengan rahmat dan keutamaan-Nya.” (HR Ahmad dan Muslim)
Tentang kenikmatan sesungguhnya dari surga dijelaskan oleh Rasulullah di hadits lain. Diriwayatkan dari Sahal bin Sa‘ad ra., bahwa dia pernah menyaksikan dalam suatu majelis dimana Nabi saw. menceritakan surga hingga akhirnya bersabda,
“Di surga (kenikmatannya) belum pernah dilihat mata, didengar oleh telinga dan terbetik di dalam hati (atau dihayalkan oleh pikiran).”
(HR Bukhari)
Sebagai renungan, sebuah puisi ‘Aidh al-Qarni mengajak kita untuk kembali ke tempat asal kita, tempat ayah dan ibu pertama kita, Nabi Adam as. dan Siti Hawa bermukim pada awalnya, yaitu surga. Marilah kita pulang ke rumah setelah mengembara di dunia yang fana ini. Semoga Allah senantiasa menjaga kita di dunia ini, mengampuni semua kesalahan kita dan mencurahkan rahmat-Nya, sehingga kita bisa bersama-sama dengan Rasulullah Muhammad saw. di akhirat kelak, amin.
Tidaklah akan ada tempat tinggal
Di kehidupan sesudah mati akan dihuni seseorang
Lebih indah dari rumah yang dibangunnya semasa hidup
Jika ia membangunnya dengan kebajikan
Maka tempat tinggalnya kelak akan baik
Namun jika ia membangunnya dengan kejahatan, sia-sialah ia
Marilah kembali ke surga-surga ‘Adn
Karna di sanalah sesungguhnya tempat asalmu
Dan di sana tempat berteduh
Namun musuh menawan kita
Akankah kita terbebas dan kembali ke kampung halaman?
Sebagai penutup, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah sebagaimana doa yang dipanjatkan junjungan kita, Rasulullah Muhammad saw., walaupun hadits ini dinilai dhaif.
اِِجْـعَلْ خَيْـرَ عُمُـرِيْ آخِـرَهُ
اللَّـهُمَّ
اِجْـعَلْ خَـوَاتِيْمَ عَمَلِيْ رِضْـوَانَكَ
اللَّـهُمَّ
اِجْـعَلْ خَيْـرَ أَيَّامِيْ يَـوْمَ أَلْقَـاكَ
Ya Allah,
Jadikanlah kebaikan itu pada penghujung umur hamba
Ya Allah,
Jadikanlah kesudahan amal hamba adalah ridha-Mu
Ya Allah,
Jadikanlah hari terbaik bagi hamba adalah ketika hamba menemui-Mu
(HR Ibnu Sunni dan Thabrani)
Daftar Pustaka:
- Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
- Salim Bahreisy, “Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi)”, PT Alma‘arif
- Sayyid M. Nuh, Dr, “Penyebab Gagalnya Dakwah (Âfâtun ‘Alâ ath-Tharîq) – Jilid 1 dan 2”, Gema Insani Press
- Sumardi, “Metafisika Akhirat – Tafsir Tematik Ayat-Ayat Akhirat Dalam Al-Qur’an dengan Pendekatan Kefilsafatan”, Makalah, Badan Penerbitan Pesantren Ulumul Qur’an Surabaya, 2007
Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (8 of 9)
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
owh seru ceritanya kka ! lam kenal ajah kka !
ReplyDeleteWAW..!!! Bener - bener nikmat surga itu..:)
ReplyDeleteKalau bisa dapat dua surga (dunia + akhirat)..hmmm..
Makasih mas tulisannya..:)
Semoga Allah memberi nikmat kesehatan dan kebahagiaan buat mas dan keluarga..
Wassalam..