Mencari Data di Blog Ini :

Friday, January 14, 2011

Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (5 of 9)

2. Menyebut-nyebut semua amalnya yang baik dan telah lalu, sedang dia tidak tahu, amalnya itu diterima atau ditolak.


Untuk nasihat ini, kita harus menganggap bahwa kita tidak pernah beramal sama sekali. Dengannya, kita akan terdorong untuk selalu berbuat baik. Mengingat amal ibadah yang pernah kita kerjakan tidak ada sisi baiknya. Kalaupun misalnya ada, maka nilainya sedikit bahkan limit mendekati nol. Hal ini berbeda dengan nasihat pertama yang memang bersifat kondisional.


Ibnu Juraij menasihatkan, “Apabila kamu telah mengerjakan perbuatan baik, janganlah kamu katakan telah mengerjakannya.”


“Saya tidak pernah menganggap baik pada amal ibadah saya,” kata Abu Sulaiman, “saya cukup dengan berbuat saja.”


Basyar bin Manshur, salah seorang ahli ibadah yang selalu melakukan dzikir dan mengingat kehidupan akhirat, suatu hari melakukan shalat yang sangat lama. Di belakangnya ada seseorang yang melihat dan mengagumi ibadahnya. Setelah selesai shalat orang itu pun memujinya. Bashar bin Manshur berkata kepadanya,


“Janganlah kamu kagum atas apa yang telah aku lakukan, karena Iblis telah beribadah bersama-sama malaikat dalam waktu yang sangat lama, akan tetapi sekarang ia menjadi makhluk yang paling dilaknat.”


Di kitab “Tanbîh al-Ghâfilîn” terdapat sebuah kisah dimana Shalih meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Ziyad. Dia berkata, “Ketika Nabi Musa as. sedang duduk, tiba-tiba datang Iblis memakai topi yang berwarna macam-macam. Tatkala sudah dekat dengan Nabi Musa as., Iblis membuka topinya. Nabi Musa as. bertanya,


“Siapakah kamu?”


“Aku Iblis.”


“Mengapa kamu datang kemari?”


“Untuk memberi salam kepadamu karena kedudukanmu di sisi Allah.”


“Topi yang engkau pakai dan digunakan untuk apa?”


“Untuk mencuri dan menawan hati anak Adam.”


“Hai, Iblis. Ceritakanlah kepadaku, perbuatan apa yang jika dilakukan oleh anak Adam, maka kamu dapat menguasainya.”


Menuruti permintaan Nabi Musa as., Iblis pun menjawab,


إِذَا أَعْجَـبَتْهُ نَفْسُهُ وَاسْـتَكْثَرَ عَمَلَهُ وَنَسِيَ ذَنْبَهُ إِسْتَحْوَذْتُ عَلَيْهِ

“Jika ia ‘ujub (berbangga diri), dan telah merasa banyak amalnya, dan lupa dosanya. Maka di situ aku berkuasa padanya.”

3. Melihat orang di atasnya dalam urusan dunia


Rasulullah saw. bersabda:


اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْـفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَلاَّ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

Lihatlah orang yang lebih rendah (kenikmatannya) darimu dan janganlah melihat kepada yang lebih banyak (kenikmatannya) darimu agar kamu tidak mencela nikmat yang Allah anugerahkan kepadamu. (HR Muslim dan Tirmidzi)


إِذَا نَظَرَ أَحَدَكُمْ إِلَى مَنْ فَضَّلَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخُلُقِ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْـفَلَ مِنْهُ

Sekiranya salah seorang dari kalian melihat seorang yang diberi kelebihan oleh Allah dalam harta dan kesehatan tubuhnya, maka hendaklah ia segera melihat orang yang lebih rendah darinya. (HR Bukhari dan Muslim)


مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلَ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ أُصْـبَعَهُ فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti salah seorang kalian memasukkan jarinya di laut, kemudian perhatikanlah apa yang tersisa pada jarinya ketika ia angkat.
(HR Muslim dan Tirmidzi)


Maksud dari nasihat ini yaitu agar kita tidak iri dengan kemewahan yang dinikmati orang lain. Berbeda halnya, jika kita iri karena orang lain banyak sedekahnya. Itu artinya kita hasud dalam kebaikan, dan itu diperbolehkan.


لاَحَسَدَ إِلاَّ فىِ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَبُشُّهَا فىِ النَّاسِ وَيُعَلِّمُهَا وَرَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فىِ الْحَقِّ

Tidak (boleh) ada kedengkian kecuali pada dua hal. Pertama, orang yang dikaruniai Allah ilmu pengetahuan kemudian ia menyebarluaskan dan mengajarkan kepada orang lain. Kedua, orang yang dikaruniai Allah harta kemudian ia menafkahkannya dalam kebenaran. (HR Bukhari dan Muslim)


Namun, janganlah kita berkata, “Enak sekali tetangga saya, karena kekayaannya, mereka bisa sedekah setiap hari. Sedangkan saya, dengan kondisi seperti ini, saya tidak bisa sedekah, walaupun sedikit. Jangankan buat sedekah, buat kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan. Kalau saja saya sekaya dia, pastilah saya akan sedekah setiap hari lebih banyak daripada dia.”


Perkataan seperti ini sangat tidak dianjurkan. Kita mensyaratkan adanya sesuatu yang tidak ada supaya kita bisa beramal. Jika sedekah sedikit saja tidak bisa kita lakukan dengan berbagai alasan, bagaimana mungkin kita akan sedekah banyak walaupun harta melimpah? Bukankah itu berarti kita tidak mensyukuri nikmat yang sedikit? Jika kita tidak bisa mensyukuri nikmat kecil, apa kita bisa mensyukuri nikmat besar? Seandainya Allah benar-benar melimpahkan kekayaan kepada kita, akankah kita akan menepati janji?


Mujahid—seorang ahli tafsir murid Ibnu Abbas ra.—bercerita tentang asbâbun nuzûl (sebab turunnya) ayat Al-Qur’an surah at-Taubah [97]: 75. Dua orang lelaki keluar dari kerumunan orang dan berhasrat, “Apabila Allah memberikan rejeki kepada kami, maka kami akan bersedekah.” Ketika mereka diberikan rejeki yang berlimpah, mereka melupakan janjinya dan bersifat pelit. Dengan peristiwa ini, turunlah ayat yang artinya:


Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.”


Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).
(QS at-Taubah [97]: 75-76)

Marilah kita ingat lagi bahwa di sisi Allah, bukan besarnya uang yang dinilai, tapi beratnya usaha yang dilakukan. Bisa saja sedekah kita Rp 1.000,- nilainya sama dengan Rp 1.000.000,- dari seorang jutawan, di sisi Allah; karena bagi kita, sedekah seribu rupiah seberat sedekah sejuta rupiah bagi orang kaya, karena kondisi kita yang pas-pasan.


سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ

Satu dirham mengalahkan seratus ribu dirham.
(HR an-Nasa’i dan Ibnu Hibban)

4. Melihat orang dibawahnya dalam urusan agama (ibadah)


Kalau kita selalu melihat amal ibadah orang yang kita rasa lebih rendah dari kita, tentu kita akan menyesal kemudian. Pertama karena sifat ‘ujub yang termasuk penyakit hati dan bisa meluluhlantakkan pahala. Kedua karena kita tidak akan termotivasi lagi untuk lebih baik dalam mengabdi kepada Allah Yang Menciptakan kita.


Hasan al-Bashri berkata, “Siapa menyaingimu dalam masalah agama, maka saingilah dia. Namun siapa menyaingimu dalam masalah dunia, hempaskanlah dunia ke lehernya.”

Daftar Pustaka:

  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu

Tulisan ini lanjutan dari : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (4 of 9)
Tulisan ini berlanjut ke : Cukup Masuk Surga Tingkat Terendah? (6 of 9)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

0 comments:

Post a Comment