Entah dari mana
asalnya sehingga muncul istilah baru, yaitu “Muslim Keturunan” dan “Muslim
Pencarian”. “Muslim Keturunan” artinya otomatis beragama Islam sejak lahir
karena orang tua beragama Islam. Adapun “Muslim Pencarian” maksudnya waktu
lahir di KK tertulis non muslim, setelah dewasa mencari jati diri dan keyakinan
diri, lalu meyakini Islam sebagai agama yang benar, kemudian masuk Islam.
Ada yang berkata bahwa
“Muslim Pencarian” lebih rajin mendalami ajaran agama dibandingkan “Muslim
Keturunan”. Diutarakan bahwa di negara yang mayoritas penduduknya muslim
seperti Indonesia, terbukti banyak yang belum memahami ajaran agama secara
mendalam, sedangkan muallaf lebih giat mengaji.
Benarkah tesis ini? Kesimpulan seperti ini tidaklah benar. Mengapa? Sekian
banyak ulama yang karyanya sering kita pelajari terlahir dari orang tua muslim.
Lantas, bagaimana dengan kasus yang diajukan di atas?
Sebuah
kelaziman, bila di sebuah negara mayoritas penduduk beragama X, maka orang yang
kurang memahami ajaran agama X jadi terlihat banyak. Bahkan, orang yang bermasalah,
misalnya dengan hukum juga lebih banyak yang beragama X, dibandingkan pemeluk
agama lain. Ini sebuah kewajaran dan termaklumi.
Secara mudah, prosentasi
sama menghasilkan angka berbeda. Misal jumlah penduduk muslim 100.000.000 orang,
sedangkan non muslim 10.000.000. Andaikata disebut 10% saja penduduk muslim
kurang rajin beribadah, jumlahnya sama dengan keseluruhan penduduk non muslim,
yaitu 10.000.000 orang.
Jadi, tidak bisa
dikatakan jumlah penduduk muslim yang kurang beribadah jauh lebih banyak
daripada jumlah penduduk non muslim yang kurang rajin beribadah. Kuantitas asal
tetap harus dipertimbangkan.
Hal yang sama berlaku
untuk semua bidang. Untuk kasus yang diajukan, karena jumlah orang yang
terlahir dari keluarga muslim jauh lebih banyak, maka secara hitungan angka
tentu jumlah yang kurang rajin mendalami ajaran agama terlihat banyak.
Apa pun alasannya, dikotomi
“Muslim Keturunan” dan “Muslim Pencarian” seharusnya tak perlu terjadi. Menjadi
muslim adalah karunia tak terhingga.
Menuntut ilmu ke sekolah
Demi menggapai angan-angan
Syukurilah anugerah hidayah
Janganlah kita pertentangkan
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ
فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Sesungguhnya orang-orang
yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan
diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia
menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang
pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong. (QS Âli ‘Imrân [3]: 91)
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ
لِيَفْتَدُوا بِهِ مِنْ عَذَابِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَا تُقُبِّلَ مِنْهُمْ وَلَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang
kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai
yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari
kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka
beroleh azab yang pedih. (QS al-Mâidah [5]: 36)
Atas dasar ayat-ayat tersebut, Prof. Dr. HM Roem
Rowi—guru besar ilmu Al-Qur’an
IAIN Sunan Ampel Surabaya—menerangkan bahwa keimanan tidak bisa dibeli dengan
apapun, misalnya ditukar dengan emas sepenuh bumi, ditambah lagi emas sepenuh
bumi dan apa pun.
Sayangnya, kita cenderung kurang
menjaga keimanan, misalnya malas mengaji, kurang tekun dalam ibadah-ibadah
sunnah dan hal-hal lain demi mempertahankan dan meningkatkan stabilitas
keimanan. Entah mengapa!
Misal kita punya emas, baik
berbentuk perhiasan maupun batangan total seberat 10 ton (10.000 kg atau 10.000.000
gram). Wow! Bisa kita hitung sendiri bila 1 gram seharga Rp 400.000,- saja,
maka yang kita miliki sejumlah Rp 4.000.000.000.000,- (4 triliun rupiah).
Bayangkan!
Apa yang akan kita lakukan
terhadap emas tersebut?
Apa akan kita biarkan saja?
Apa
kita akan cuek bebek terhadap apa pun yang akan, sedang dan telah
terjadi pada emas kita?
Apa kita akan membiarkan bila
emas tersebut ada yang hilang sedikit dengan dalih toh hanya sedikit? Dan itu
kita biarkan terus-menerus?
Apa kita akan enggan
berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan emas kita?
Memang, kita lebih tertarik
pada sesuatu yang tampak terlihat mata.
Memang, kita lebih menyukai
sesuatu yang terjadi saat ini.
Memang, kita lebih
bersemangat bila sesuatu itu bisa untuk membeli apa pun yang kita inginkan di
dunia ini.
Namun, janganlah kita
lupakan bahwa hidup ini bukan untuk mati. Hidup ini untuk hidup lagi yang
langgeng, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita di kehidupan saat
ini.
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى
dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu
dari permulaan. (QS adh-Dhuhâ [93]: 4)
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Sedang kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS
al-A‘lâ [87]:
17)
Daftar Pustaka
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
memang benar...
ReplyDeleteYa allah yang membolak balikan hati manusia. Teguhkan imanku di jalanmu ya allah.
ReplyDeleteCukupkan aku dengan pengetahuanku atasmu
Jangan kau ragukan hati ku ya allah.
Sesungguhnya hamba tak ingin menjadi umat kafir maupun munafiq
Amin ya allah
Alhamdulillah, saya islam. Semoga sampai kapanpun saya masih islam.
ReplyDelete