Tentang keikhlasan, ada yang mengajukan
pertanyaan, “Bila kita sedekah dengan tujuan agar gaji kita naik, dagangan
laris, lulus ujian atau kepentingan duniawi lainnya, apa itu disebut ikhlas?”
Prinsipnya, kita beramal atau ibadah lainnya,
misalnya shalat Dhuha atau shalat Hajat semata-mata karena Allah. Setelah itu,
kita berdoa dengan wasilah amal kita tadi agar Allah mengabulkan hajat kita di
dunia ini.
Di kitab Riyadhush Shalihin terdapat hadits
ke-12 Bab “Ikhlas dan Niat” tentang doa dengan wasilah amal shaleh. Berikut ini
redaksi (matan) hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim tersebut:
وعن أبي عبدِ الرّحْمٰنِ عبدِ
اللهِ بنِ عُمَرَ بنِ الخطابِ رضيَ اللهُ عنهما قَالَ: سمعتُ رسولَ الله - صلى الله
عليه وسلم - يقول: انْطَلَقَ ثَلاثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمَبِيْتُ إِلى غَارٍ فَدَخلُوهُ، فانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ
مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الغَارَ، فَقالُوا: إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ
هذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أنْ تَدْعُوا اللهَ بصَالِحِ أعْمَالِكُمْ.
قَالَ
رجلٌ مِنْهُمْ: اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوانِ شَيْخَانِ كَبيرانِ، وكُنْتُ لا أَغْبِقُ
قَبْلَهُمَا أهْلاً ولاَ مالاً، فَنَأَى بِي طَلَبُ الشَّجَرِ يَوْماً فلم أُرِحْ عَلَيْهمَا
حَتَّى نَامَا، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُما نَائِمَيْنِ، فَكَرِهْتُ
أنْ أُوقِظَهُمَا وَأَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أهْلاً أَوْ مالاً، فَلَبِثْتُ - والْقَدَحُ
عَلَى يَدِي - أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُما حَتَّى بَرِقَ الفَجْرُ والصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ
عِنْدَ قَدَمِيَّ، فاسْتَيْقَظَا فَشَرِبا غَبُوقَهُما. اللَّهُمَّ إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ
ذلِكَ ابِتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هذِهِ الصَّخْرَةِ،
فانْفَرَجَتْ شَيْئاً لا يَسْتَطيعُونَ الخُروجَ مِنْهُ.
قَالَ الآخَرُ: اللَّهُمَّ
إنَّهُ كانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ، كَانَتْ أَحَبَّ النّاسِ إلَيَّ - وفي رواية: كُنْتُ
أُحِبُّها كأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النساءَ - فأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسِهَا
فامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلَمَّتْ بها سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءتْنِي فَأَعْطَيْتُهَا
عِشْرِينَ وَمِائَةَ دينَارٍ عَلَى أنْ تُخَلِّيَ بَيْني وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفعَلَتْ،
حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا - وفي رواية: فَلَمَّا قَعَدْتُ بَينَ رِجْلَيْهَا،
قالتْ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفُضَّ الخَاتَمَ إلاّ بِحَقِّهِ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا
وَهيَ أَحَبُّ النَّاسِ إليَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُها. اللَّهُمَّ
إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابْتِغاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فيهِ ، فانْفَرَجَتِ
الصَّخْرَةُ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا.
وَقَالَ الثَّالِثُ: اللَّهُمَّ
اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ وأَعْطَيْتُهُمْ أجْرَهُمْ غيرَ رَجُلٍ واحدٍ تَرَكَ الَّذِي
لَهُ وَذَهبَ، فَثَمَّرْتُ أجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنهُ الأمْوَالُ، فَجَاءنِي بَعدَ
حِينٍ، فَقالَ: يَا عبدَ اللهِ، أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي، فَقُلْتُ: كُلُّ مَا تَرَى
مِنْ أَجْرِكَ: مِنَ الإبِلِ وَالبَقَرِ والْغَنَمِ والرَّقيقِ، فقالَ: يَا عبدَ اللهِ،
لاَ تَسْتَهْزِئْ بِيْ! فَقُلْتُ: لاَ أسْتَهْزِئ بِكَ، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فاسْتَاقَهُ
فَلَمْ يَتْرُكْ مِنهُ شَيئاً. الَّلهُمَّ إنْ كُنتُ فَعَلْتُ ذلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ
فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحنُ فِيهِ، فانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا
يَمْشُونَ
Dari Abu
Abdurrahman Abdullah bin Umar ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda:
“Dulu, ada
tiga orang sebelum kalian yang berjalan hingga akhirnya mereka mendapatkan
sebuah gua yang dapat mereka manfaatkan untuk menginap. Kemudian mereka
mamasuki gua tersebut. Tiba-tiba ada sebuah batu besar yang menggelinding dari
atas bukit dan menutupi pintu gua sehingga mereka tidak dapat keluar. Kemudian
mereka berkata,
‘Sesungguhnya
tidak ada yang dapat menyelamatkan dari batu besar ini kecuali jika kalian
berdoa kepada Allah dengan berbagai amal shaleh kalian.’
Lalu ada
salah seorang di antara mereka berdoa,
‘Ya Allah,
sesungguhnya aku mempunyai orang tua yang sudah lanjut usia. Aku terbiasa tidak
memberi minum susu pada keluarga dan sahaya sebelum menyuguhkan kepada beliau
berdua. Pada suatu hari aku terlambat pulang mencari kayu dan ketika aku kembali
menemuinya, beliau berdua telah tidur. Lalu aku memerah susu untuk beliau
berdua, dan aku mendapatkan beliau berdua masih terlelap tidur. Aku enggan
membangunkan beliau berdua dan (enggan) memerah susu untuk keluarga atau sahaya
sebelum aku memberikannya untuk kedua orang tua hamba. Dengan mangkuk yang
masih berada di tangan hamba, hamba masih terus menunggu beliau berdua
terbangun hingga terbit fajar. Adapun anak-anak hamba merengek di kedua kai
hamba. Setelah beliau berdua bangun, hamba meminumkan susu kepada mereka. Ya
Allah, jika hamba melakukan hal tersebut karena mengharap ridha-Mu, maka
berikanlah jalan keluar kepada kami dari batu besar yang menutupi ini.’
Maka batu itu pun bergeser
sedikit, namun mereka belum bisa keluar dari gua. Kemudian yang lain berdoa,
‘Ya Allah, sesungguhnya paman hamba mempunyai
seorang anak perempuan yang sangat hamba cintai (Dalam sebuah riwayat
disebutkan, ‘Hamba mencintainya seperti lazimnya laki-laki mencintai wanita.’).
Hamba bermaksud mencampurinya tapi ia selalu menolak. Setelah beberapa tahun
berlalu, ia mendapat kesulitan sehingga memaksanya datang kepada hamba. Hamba
memberinya seratus dua puluh dinar dan setelah itu ia akan membiarkan diri
hamba berbuat apa saja terhadapnya. Maka hamba pun melakukan apa yang menjadi
kehendak hamba, hingga ketika hamba hendak mencampurinya (dalam riwayat lain
disebutkan, ‘Ketika hamba duduk di antara kedua kakinya), ia berkata,
‘Bertakwalah kepada Allah, janganlah engkau memecah cincin kecuali dengan haq.’
Maka hamba pun berpaling darinya, padahal ia adalah orang yang paling hamba
cintai. Hamba pun meninggalkan emas yang telah hamba berikan kepadanya. Ya
Allah, jika hamba melakukan hal itu karena mengharap ridha-Mu, maka berikanlah
jalan keluar bagi kami dari keadaan yang kami alami ini.’
Maka batu besar itu pun
bergeser, namun mereka tetap belum dapat keluar dari tempat itu. Kemudian orang
ketiga berdoa,
‘Ya Allah, hamba
mempekerjakan beberapa orang dan hamba telah memberikan upah masing-masing
kecuali satu orang saja tersisa. Ia meninggalkan bagiannya kemudian pergi.
Kemudian hamba mengembahkan upahnya hingga dari upah itu berkembang menjadi
harta benda yang banyak. Setelah beberapa lama, ia mendatangi hamba seraya
berkata, ‘Hai hamba Allah, berikanlah upahku.’ Hamba katakan, ‘Semua yang
engkau saksikan ini upahmu, baik berupa unta, sapi, kambing maupun
budak-budak.’ Lalu ia berkata, ‘Hai hamba Allah, janganlah engkau
memperolok-olokku.’ ‘Aku sama sekali tidak memperolok-olokmu,’ sahut hamba.
Kemudian ia mengambil dan membawa semuanya tanpa menyisakan sedikit pun. Ya
Allah, jika hamba melakukan hal tersebut karena mengharap ridha-Mu, maka
berikanlah jalan keluar kepada kami dari tempat ini.’
Maka batu besar itu pun akhirnya bergeser, sehingga mereka semua dapat
keluar dengan berjalan kaki.” (Muttafaq ‘alayh)
Karena uraian seperti ini sering kita dengar,
maka ada kalanya kita berucap, “Saya beribadah semata-mata demi menggapai ridha
Allah, bukan takut neraka ataupun ingin masuk surga.” Kita berkata demikian padahal ibadah yang kita
lakukan termasuk kategori kurang semangat. Mengaji ala kadarnya, shalat sunnah
tidak rutin, sedekah secukupnya dan ibadah-ibadah lain pun jauh dari yang
dilakukan para ulama.
Memang, karena kita belum pernah disiksa di neraka atau menikmati
fasilitas surga, maka surga dan neraka seolah-olah abstrak, sehingga mudah
sekali kita berkata tak takut neraka atau tak mengharap surga kala beribadah.
Untuk mengetahui apa benar kita tak takut neraka, mari kita jawab contoh
pertanyaan ini, “Apa setiap hari kita shalat Dhuha minimal empat rakaat? Baca
Al-Qur’an minimal satu juz? Bila belum, bagaimana bila ada penguasa yang akan
menghukum cambuk kita seribu kali bila kita tidak shalat Dhuha empat rakaat dan
baca Al-Qur’an satu juz setiap hari?”
Apakah dengan ancaman hukuman cambuk tersebut kita jadi rajin beribadah?
Jika ya, berarti kita sangat takut masuk neraka, hanya saja karena kita belum
pernah disiksa, maka dengan mudahnya kita berkata bahwa kita ibadah bukan
karena takut neraka.
Lantas benarkah kita ibadah bukan mengharap surga? Jika ya, apa kita
meraih setinggi-tingginya setiap ibadah yang kita lakukan? Untuk mengetahuinya,
mari kita jawab contoh pertanyaan ini, “Apa setiap hari kita istiqamah shalat
Dhuha delapan rakaat? shalat Tahajud delapan rakaat? Shalat witir tiga rakaat?
Baca Al-Qur’an sepuluh juz? Shalat sunnah rawatib baik yang mu’akkad
maupun ghayru mu’akkad?”
Bila belum, mengapa? Bagaimana bila ada seorang triliuner lagi dermawan
yang akan memberi hadiah sebuah mobil mewah keluaran terbaru serta uang tunai
Rp 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah) bila kita dalam satu bulan saja
melaksanakan jenis-jenis ibadah di atas? Apa kita mau dalam sebulan itu setiap
hari shalat Tahajud, shalat Dhuha, shalat Witir, baca Al-Qur’an dan permintaan
lainnya?
Jika ya, berarti kita ibadah sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan.
Kalau mendapat mobil dan uang saja membuat kita semangat dalam beribadah,
bagaimana bisa kita mengatakan beribadah tak mengharap surga? Sungguh,
pernyataan kita jauh panggang dari sate!
KH. Asrori al-Ishaqi rahimahullâh—pendiri Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah memberi
nasihat yang intinya bahwa surga
dan neraka memang kelihatan masih jauh. Itu kenapa kita lebih takut miskin
daripada neraka. Kita lebih senang dapat rumah dan banyak uang daripada surga.
Daftar Pustaka
Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Misbahus Surur,
“Dahsyatnya Shalat Tasbih”, Qultum Media, 2009
Salim Bahreisy,
“Tarjamah Riadhus Shalihin I dan II (karya Syaikh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
an-Nawawi)”, PT Alma‘arif
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment