Terkadang kita berdalih, “Walau sedikit, yang
penting kan ikhlas!” Entah apa maksud kita berkata seperti itu, apa sebagai
penegasan bahwa kita memang sangat ikhlas ataukah cuma pembelaan diri karena
ada orang menyindir kita.
Sejatinya, ikhlas tidak membutuhkan penegasan
lisan, misalnya dengan ucapan,
“Saya ikhlas banget kok!”
“Bener, saya lakukan ini dari hati yang paling
dalam!”
“Suwer, ngga ada udang di balik batu!”
“Sungguh, saya tak mengharap imbalan apa pun!”
“Saya tulus setulus-tulusnya!”
Semua ungkapan/ucapan di atas sama sekali tidak
membuktikan keikhlasan kita.
Indah nian mawar merekah
Harum semerbak menggoda indra
Kalau memang niat sedekah
Jangan lagi hal itu dikata
Ikhlas itu antara kita dan Allah.
Ikhlas mengandung pengertian kita melupakan
amal baik yang telah kita lakukan.
Ikhlas berarti tak ada perbedaan antara pujian
dan makian.
Kalau kita masih bersilat lidah menjawab
sindiran orang karena kita sedekah atau beramal sedikit, bisa jadi hal itu
justru menunjukkan ketidakikhlasan kita. Kita masih terpengaruh adanya sindiran
atau cacian.
Seharusnya, apa pun kata orang, tak perlu
ditanggapi. Kita sedekah karena Allah, bukan untuk menyenangkan orang lain, agar
terpandang di mata masyarakat, mendapat pujian, menghindari sindiran atau yang
lain.
Timbul pertanyaan yang lazim dikemukakan,
“Lebih baik mana, sedekah banyak tapi tidak ikhlas ataukah sedikit tapi
ikhlas?”
Ada jawaban guyonan, “Banyak dan ikhlas lebih
baik lagi.” J Tapi bukan ini jawaban yang
diinginkan.
Mari kita ingat lagi hakikat hidup ini. Hidup
ini antara kita dan Allah, antara hamba (‘âbid) dan Yang Disembah (Ma‘bûd). Allah memerintahkan kita agar ikhlas dalam
pengabdian kepada-Nya.
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan
yang demikian itulah agama yang lurus. (QS
al-Bayyinah [98]: 5)
Penulis kitab Bahjatun
Nâzhirîn–syarah Riyadhush Shalihin–Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaly menguraikan:
اْلإِخْلاَصُ هُوَ أَنْ يُرَادَ بِاْلعَمَلِ
وَجْهَ اللهِ تَعَالىَ لاَ غَيْرَهُ، وَذَلِكَ أَحَدُ شُرُوْطِ قَبُوْلِ اْلعَمَلِ
Ikhlas
itu melaksanakan amal semata-mata mencari ridha Allah, bukan lainnya. Ikhlas
termasuk salah satu syarat diterimanya amal.
Di kamus Lisânul ‘Arab karya Ibnu Manzhur dijelaskan:
وَاْلإِخْلاَصُ فِي الطَّاعَةِ
تَرْكُ الرِّيَاءِ
Ikhlas dalam ketaatan yaitu meninggalkan riya’
Ikhlas adalah ruh amal, karena itu harus terbebas
dari penyakit-penyakit amal, yaitu riya’ & sum‘ah. Riya’ berasal dari kata “ra’a”, yaitu menampakkan
amal shaleh agar dilihat orang lain supaya mendapat penghargaan atau kedudukan.
Adapun sum‘ah berasal dari kata “sami‘a”, artinya menceritakan amal shaleh agar didengar
orang lain supaya dipuji.
Dengan demikian ikhlas harus diutamakan,
bukan banyaknya uang sedekah. Tentu hal ini berbeda dengan zakat yang memang
sudah ada prosentase perhitungannya.
Mungkin kita akan berargumen, “Misal kampung
kita sedang membangun masjid. Kalau setiap orang berprinsip yang penting ikhlas,
kapan dong selesainya? Yang penting masjid jadi dulu, masalah ikhlas atau
tidak, itu urusan masing-masing.”
Mari kita kaji
lagi tentang ikhlas.
Dzun Nun al-Mishri menerangkan, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan
seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang
amal perbuatannya, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya—bahkan di kampung akhirat nanti.”
Ibnu
Juraij menasihatkan, “Apabila kamu telah mengerjakan perbuatan baik, janganlah
kamu katakan telah mengerjakannya.”
“Saya tidak pernah menganggap baik pada amal ibadah
saya,” kata Abu Sulaiman, “saya cukup dengan berbuat saja.”
Ada pula sebagian ustadz yang menjelaskan bahwa
ikhlas mirip seperti buang hajat. Adakah selesai buang hajat kita merasa
menyesal? Senantiasa menyebut di setiap waktu atau saat berjumpa orang bahwa
kita telah buang hajat? Tentu kita akan segera melupakan dan tak pernah
mengingat-ingat lagi.
Dengan demikian,
ikhlas berarti melupakan bahwa diri pernah beramal. Hal ini yang akan menjadi energi
positif untuk terus beramal. Keikhlasan akan membimbing kita untuk malu kepada
Allah kalau punya uang berlebih tapi sedikit sedekah.
Daftar Pustaka
Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Riyâdhush Shâlihîn”
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh,
“Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah
fî ‘Ilmi
at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula
1419
Achmad Faisol, “Muhâsabah
(Introspeksi Diri)—Apakah Implementasi Keberagamaan
(Islam) Kita Ada yang Kurang?!”, Ebook, April 2011/ Jumadal
Ula 1432 H
Salim
bin ‘Id
al-Hilaly, asy-Syaikh, “Bahjatun Nâzhirîn fî Syarhi Riyâdhish Shâlihîn”
Software:
Maktabah
Syamilah al-Ishdâr
ats-Tsâlits
0 comments:
Post a Comment