Mencari Data di Blog Ini :

Friday, November 27, 2009

Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (1 of 3)

Penulis pernah ditanya dengan nada yang kurang enak didengar, “Nama Anda kan Islami. Nah, menurut Anda, orang yang rajin shalat dibandingkan yang tidak, kalau bekerja lebih bagus mana?”


Kembali ke prinsip dasar, kita harus menjaga diri kita lebih dahulu. Jadi, janganlah kita menyalahkan orang lain atas kesalahpahaman atau kurangnya pengertian mereka. Ternyata, di perusahaan, memang ada orang yang rajin shalat tapi malas bekerja. Bahkan, dengan alasan melaksanakan ibadah, kerja jadi tidak produktif. Mereka memperpanjang dzikir, baca Al-Qur’an dan shalat sunnah dengan mengambil waktu jam kerja, sehingga perusahaan dirugikan. Apalagi ketika puasa Ramadhan, banyak yang bermalas-malas bahkan tidur ketika waktunya bekerja. Alasannya, ada nasihat bahwa tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.


Sebenarnya, waktu untuk ibadah telah disediakan oleh perusahaan. Semua itu atas dasar kesepakatan bersama, tidak saling merugikan (win-win solution). Kesepakatan itulah yang harus ditaati.


Kalau kita mengerjakan amalan sunnah ketika seharusnya kita bekerja, sehingga perusahaan dirugikan; itu berarti kita telah berbuat zhalim, menempatkan sesuatu tidak pada semestinya. Jika kita ingin melakukan amalan-amalan nafilah seperti itu dengan sebebas-bebasnya, maka janganlah bekerja di perusahaan. Semestinya kita berwira usaha, menjadi seorang entrepreneur. Dengannya, kita bisa melaksanakan ibadah seperti yang kita inginkan, tanpa menzhalimi orang lain.


Abul Laits as-Samarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda,


مَنْ كَانَتْ ِلأَخِيْهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ مِنْ عِرْضٍ اَوْمَالٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ يَوْمَ لاَدِيْنَارَ وَلاَدِرْهَمَ فَإِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَاِلحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عَمَلٌ أُخِذَ مِنْ سَـيِّئَاتِهِ فَحُمِلَتْ عَلَيْهِ

“Siapa yang merasa berbuat zhalim terhadap saudaranya berupa kehormatan atau harta, hendaklah meminta halalnya sekarang juga, sebelum dituntut pada hari yang tidak ada dinar atau dirham (uang emas atau perak). Maka jika ia mempunyai amal shaleh, diambil menurut kadar kezhalimannya. Bila tidak mempunyai amal shaleh, maka diambilkan dari kejahatan orang itu (yang dizhalimi) untuk dipikulkan kepadanya.”


Larangan zhalim terhadap manusia ditegaskan lagi dengan sabda Rasulullah asw. :


اِتَّقُـوْا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيـَامَةِ

Takutlah kamu untuk berbuat zhalim, karena perbuatan zhalim itu merupakan kegelapan di hari Kiamat. (HR Muslim dan Ahmad)


لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

Sungguh pasti semua hak akan dikembalikan pada yang berhak pada hari Kiamat, hingga kambing yang tidak bertanduk diberi hak (kesempatan) membalas pada kambing yang bertanduk. (HR Muslim)


Diriwayatkan dari Said bin Zaid ra bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda,


مَنْ ظَلَمَ مِنَ اْلأَرْضِ شَـيْئًا طُوِّّقَهُ مِنْ سَـبْعِ أَرْضِيْنَ

“Siapa pun yang merampas tanah milik orang lain secara zhalim, maka lehernya akan ditelikung (dililit) dengan tujuh (lapis) bumi (pada hari Kiamat).” (HR Bukhari)


Ja‘far bin Muhammad berkata, “Orang hina adalah orang yang melakukan kezhaliman.”

Berbuat zhalim terhadap orang lain termasuk perbuatan mungkar. Lupakah kita bahwa shalat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar? Apakah itu tidak berarti bahwa shalat kita ada yang kurang? Marilah kita bersama-sama introspeksi diri. Allah SWT berfirman :


إِنَّ ٱلصَّلـٰوةَ تَنْهٰى عَنِ ٱلْفَحْشَـۤاءِ وَٱلمْنُـْكَرِ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (QS al-‘Ankabût [29] : 45)


Daftar Pustaka :

  • Salim Bahreisy, “Tarjamah Tanbihul Ghafilin (karya Syaikh Abul Laits as-Samarqandi) – Peringatan Bagi Yang Lupa – Jilid 1 dan 2”, PT Bina Ilmu


Tulisan ini berlanjut ke : Shalat Rajin Tapi Malas Bekerja (2 of 3)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#

Friday, November 20, 2009

Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (2 of 2)

Oleh karena blog ini membahas tentang introspeksi diri (muhâsabah), maka kita anggap saja bencana yang menimpa kita sebagai peringatan dari Allah. Peringatan Allah mempunyai maksud agar kita menyadari kekeliruan dan kekurangan kita, sehingga kita segera memenuhi kewajiban kita.


Kalau terjadi gempa dan kita tidak siap sehingga terkena dampaknya, itu berarti bahwa Allah mengingatkan kita untuk selalu meningkatkan ilmu dan kewaspadaan. Marilah kita ingat lagi sabda Nabi saw. bahwa menuntut ilmu hukumnya wajib, dan harus dicari mulai buaian ibu sampai ke liang lahat. Juga agar kita senantiasa taat kepada-Nya, sehingga jika sewaktu-waktu kita dipanggil oleh-Nya, maka kita sudah mempersiapkan diri. Bukankah kita adalah milik Allah? Tidakkah itu berarti bahwa Allah berhak mengambil nyawa kita tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Bukankah sudah kita ketahui bersama bahwa banyak orang meninggal tanpa adanya tanda bahwa orang itu akan meninggal, seperti sakit keras yang tidak sembuh-sembuh? Bukankah banyak terjadi kecelakaan di jalan raya yang mengakibatkan korban meninggal seketika? Itulah peringatan Allah agar kita senantiasa menambah wawasan, ilmu, pengalaman, kehati-hatian dan ibadah kepada-Nya.

Jika terjadi banjir dan penyebabnya adalah penggundulan hutan atau berkurangnya daerah resapan air serta penyaluran air yang kurang tepat, itu artinya kita dingatkan oleh Allah agar bersahabat dengan alam. Kita diingatkan Allah bahwa kita adalah khalifah di muka bumi ini. Berikut ini penjelasan M. Qurais Shihab tentang prinsip kekhalifahan.

Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesama dan manusia dengan alam.

Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Kekhalifahan mengharuskan kita menjadi manusia yang bertanggung jawab, sehingga tidak melakukan tindak perusakan. Dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri kita sendiri. Jika ini kita abaikan, maka akan tampaklah kerusakan di bumi yang kita diami ini.

ظَهَرَ ٱلْفَسَـادُ ِفى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَـبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاِس لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ ٱلَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (QS ar-Rûm [30]: 41)

Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah dan menjadi milik-Nya. Keyakinan ini mengantarkan kita untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Allah yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa semua itu tidak boleh diperlakukan secara aniaya.

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS al-An‘âm [6]: 38)

Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan kita kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangan kita, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan.

“Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfaatannya.” Demikianlah kandungan penjelasan Nabi saw. tentang firman Allah:
ثُمَّ لَتُسْـئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيْمِ
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS at-Takâtsur [102]: 8)

Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Allah) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.

مَا خَلَقْنَا ٱلسَّمٰوٰتِ وَٱْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَاۤ إِلاَّ بِٱلْحَقِّ وَأَجَلٍ مُّسَمًّى
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. (QS al-Ahqâf [46]: 3)

Firman Allah tersebut mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, bangsa dan jenisnya saja (sesama manusia); melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Kita tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam merupakan dewa-dewa yang memusuhi manusia, sehingga harus ditaklukkan.

Menurut Al-Qur’an, yang menundukkan alam adalah Allah. Kita tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat anugerah Allah kepada kita.

سُبْحٰنَ ٱلَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ ُ مُقْرِنِيْنَ
Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. (QS az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, berarti kita tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga kita harus bersahabat dengan alam.

Al-Qur’an menekankan agar kita meneladani Nabi Muhammad saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Rasulullah bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama” memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.

Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan.

Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS an-Nahl [16]: 14)

Dan Dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. (QS al-Jâtsiyah [45]: 13)

Ini menunjukkan bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Kita dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, kita tidak boleh merendahkan diri terhadap segala sesuatu yang telah ditundukkan Allah untuk kita, berapa pun harga benda-benda itu. Kita tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingan kita sendiri. Dalam hal ini, kita dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa kita boleh meraih apa pun asalkan yang kita raih serta cara meraihnya tdak mengorbankan kepentingan di akhirat kelak.

Marilah kita perhatikan lagi masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ ar-Rasyidin. Masa itu adalah bagian paling gemilang dari sejarah kita. Masa itu adalah tahi lalat indah di dahi zaman, mutiara putih di mahkota kehidupan, dan bulan purnama yang menyinari seluruh permukaan bumi. Semua itu terjadi karena pada masa itu, perintah Allah ditaati dan semua perbuatan serta perkataan seseorang sesuai dengan aturan-aturan Allah. Mereka mempunyai budi pekerti yang luhur sebagaimana suri teladan mulia, Rasulullah Muhammad saw.
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنُ
Budi pekerti Nabi saw. adalah Al-Qur’an. (HR Ahmad)
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْـلاَقِ
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhalak yang mulia. (HR Malik)
مَامِنْ شَيْئٍ أَثْقَلُ فِي ِميْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُـلُقِ
Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari Kiamat, melebihi akhlak yang luhur. (HR Tirmidzi)

Agar dalam bimbingan-Nya selalu, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah:
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى دِيْنِكَ بِدُنْيَايَ وَعَلَى آخِرَتِي بِتَقْوَايَ وَوَفِّقْنِي لِتَهْذِيْبِ أَخْلاَقِ نَفْسِي وَتَلْطِيْفِ كَثَافَتِهَا
Ya Allah, bantulah hamba dalam hal agama dengan dunia hamba, bantu pula hamba menyangkut kehidupan akhirat dengan ketakwaan hamba, anugerahi pula hamba kemampuan untuk meluhurkan akhlak dan memperhalus budi hamba, amin.

Daftar Pustaka:
  • Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual – ESQ (Emotional Spiritual Quotient)”, Penerbit Arga, Cetakan Kedua puluh sembilan : September 2006
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
Tulisan ini lanjutan dari: Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (1 of 2)

#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

Friday, November 13, 2009

Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (1 of 2)

Pertanyaan ini seringkali diajukan oleh peserta seminar, tanya-jawab keislaman dan pengajian. Secara tersirat seolah-olah dikatakan bahwa harusnya kalau kita shalat, maka tidak akan ada bencana. Apakah memang seperti itu?


Perlu kita ingat lagi, bahwa sesuatu yang menimpa kita adakalanya adalah ujian, peringatan atau azab (hukuman). Nah, bencana yang menimpa kita termasuk yang mana?

Peraturan dasar untuk sebuah introspeksi adalah ketika kita menilai orang lain, kita harus berbaik sangka. Bencana yang menimpa orang lain harus kita anggap sebagai ujian. Sebaliknya, saat kita menilai diri sendiri, maka anggaplah diri ini banyak kekurangannya. Bencana yang menimpa kita harus kita pikir sebagai peringatan dari Allah.

Hanya saja, terkadang bahkan seringkali kita tidak mau menerima pernyataan bahwa yang menimpa kita adalah peringatan apalagi azab dari Allah. Kalau ada sebuah daerah tertimpa bencana, kita cenderung mengatakan bahwa itu karena kesalahan dan dosa mereka, sehingga Allah memberi peringatan bahkan azab kepada mereka. Dan, keadaan sebaliknya berlaku untuk kita.

Kita merasa diri sudah bertakwa, menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kita merasa diri sudah baik dan benar, sehingga bila ada bencana yang menimpa kita, kita yakin itu adalah ujian, bukan peringatan atau hukuman.

Kita merasa bahwa tidak seharusnya kita menerima bencana itu, karena kita sudah rajin shalat.

Kita merasa bahwa orang lainlah yang terkena bencana, dan kita ikut menerima imbasnya. Kita mengibaratkan ada seekor semut yang menggigit seseorang, lalu orang itu membunuh semua semut yang ada di dalam lubang. Semut yang tidak menggigit ikut menderita karena terkena dampak perbuatan semut lainnya.

Kita merasa bencana itu tidak ditujukan oleh Allah untuk kita. Kita ikut terkena bencana karena kita satu wilayah dengan orang-orang yang berbuat zhalim dan maksiat.

Nastahgfirullâh al-‘Azhîm. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun (Al-Ghaffâr) atas perasaan bahwa kita adalah orang baik dan benar, yang tidak mungkin mendapat peringatan apalagi azab. Marilah kita mohon ampunan Allah atas perasaan bahwa kita tidak seharusnya menerima bencana karena kita merasa telah bertakwa, menjalankan shalat—baik yang wajib maupun nawafil, sedekah, zakat, puasa (wajib dan sunnah) serta menunaikan ibadah haji dan umrah.

Ibnu Qatadah menasihatkan, “Janganlah kamu menuntut idlal (kenikmatan) karena amal perbuatanmu.”

Idlal al-‘amal adalah perasaan bahwa diri kita memiliki kedudukan yang sangat mulia di sisi Allah karena ibadah yang dilakukan. Dengannya, kita merasa berhak mendapat kenikmatan dari Allah dan tidak menerima segala perkara yang tidak disukai menimpa diri kita.

Seorang dokter mengatakan bahwa “merasa” itu menguatirkan. Seseorang yang merasa diri sehat, kemungkinan bisa terjangkit banyak penyakit, misalnya darah tinggi, kolesterol, asam urat, liver dan lainnya. Begitu pula jika seseorang merasa diri baik dan benar, bisa jadi di dalam dirinya justru banyak sekali pintu-pintu yang sudah dimasuki dan dihuni oleh setan dan kawan-kawannya.

Sudah kita bahas di posting " Benarkah Kita Hamba Allah? (2 of 2)" bahwa orang beriman akan mendapat ujian dari Allah. Jadi, tidak masuk akal kalau kita mengatakan bahwa jika kita rajin shalat, maka kita tidak mungkin mendapat bencana. Jika memang kita orang beriman, maka bencana itulah ujian kita.

Ibnu Athaillah menasihatkan, “Sebenarnya kesusahan dari bencana yang menimpamu akan menjadi ringan, apabila kamu sudah mengetahui bahwa Allah Ta‘ala sedang mengujimu. Sebab Dialah yang sedang mencoba kamu melalui qadar-Nya. Dia juga yang telah mengarahkan kamu untuk mengadakan pilihan yang paling baik.”

Apabila kita memahami bahwasanya suatu cobaan dari Allah diterima dengan ridha hati dan dipahami pula sebagai anugerah, maka kita akan menerimanya tidak dengan hati sedih, bahkan akan menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah memberi cobaan kepada para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah membenci, akan tetapi Allah Ta‘ala menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu. Demikian pula, Allah memberi kesempatan kepada para hamba untuk berikhtiar sepenuh hati, agar segala yang menimpanya mendapatkan jalan keluar dengan pertolongan dan ijin Allah. Allah juga mengingatkan kita tentang hakikat sebuah permasalahan dalam firman-Nya:

وَعَسٰىۤ أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّـكُمْ وَعَسٰىۤ أَنْ تُحِبُّوْا شَيْـئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّـكُمْ وَٱللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 216)


Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Orang yang selalu mendapat taufiq dari Allah SWT ialah mereka yang terpelihara ibadahnya, dan terjaga imannya di saat menghadapi ujian dan cobaan dari-Nya. Orang yang selalu menjaga ibadahnya dengan mengendalikan kehendak hawa nafsunya, maka imannya pun akan terpelihara, dan jiwanya akan menjadi tenang menghadapi setiap ujian dari Allah Ta‘ala.”

Seorang ulama menerangkan, “Seorang hamba hendaklah dapat merasakan pemberian Allah sebagai anugerah. Dengan demikian ia pun harus dapat merasakan cobaan dari Allah sebagai anugerah kasih sayang dari-Nya. Hikmah seorang hamba dalam keadaan kesusahan atau sedang tertimpa bencana adalah ia akan bertambah dekat kepada Allah. Dengan dekatnya si hamba kepada-Nya, maka akan berlimpahlah kasih sayang kepada si hamba. Itulah anugerah yang tiada taranya. Orang yang keimanannya tebal akan menerima setiap bencana selain sebagai ujian atas keimanan, juga meyakini bahwa Allah menunjukkan kasih sayang dan rahmat-Nya. Hal itu sebagai bukti bahwa Allah adalah Rabb (Pengasuh atau Pendidik) alam semesta dan seluruh makhluk-Nya.”

M. Quraish Shihab menjelaskan, “Nalar tak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika ia memandang sesuatu secara mikro, dinilainya buruk, jahat dan tidak adil. Akan tetapi, jika dipandangnya secara makro dan menyeluruh, justru ia merupakan unsur keindahan, kebaikan dan keadilan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi lalat di wajah seorang wanita, ia akan terlihat buruk? Sebaliknya, bila wajah dipandang secara menyeluruh, maka tahi lalat tadi justru menjadi unsur utama kecantikannya.”

“Bukankah jika kita hanya melihat bagaimana kaki seseorang dipotong, kita akan menilainya kejam? Tetapi bila kita mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan oleh seorang dokter yang mengamputasi pasiennya untuk menyelamatkan nyawa sang pasien, maka kita berterima kasih dan memujinya. Karena itu jangan memandang kebijaksanaan Allah secara mikro. Jikalau pun kita tidak mampu memandangnya secara makro, maka yakinilah bahwa ada himah di balik itu,” lanjut M. Quraish Shihab.


Daftar Pustaka:


  • Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, asy-Syaikh, “Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi at-Tashawwuf)”, Pustaka Amani, Cetakan I : September 1998/Jumadil Ula 1419
  • Djamal’uddin Ahmad Al Buny, “Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam (karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim Ibnu Athaillah)”, Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan ketiga : 2000
  • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007

  • Tulisan ini berlanjut ke: Banyak Orang Shalat, Mengapa Masih Ada Bencana? (2 of 2)

    #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

    Friday, November 6, 2009

    Mendustakan Nikmat?!

    M. Quraish Shihab menerangkan bahwa nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai “segala sesuatu yang berlebih dari modal.” Lalu, adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal? Jawabnya, “Tidak.” Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah Allah?


    هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِيْنٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُوْرًا

    Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
    (QS al-Insân [76]: 1)


    كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْياَكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ


    Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
    (QS al-Baqarah [2]: 28)


    Semua nikmat berasal dari Allah, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Memberi Nikmat (Al-Mun‘im).

    وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

    Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
    (QS an-Nahl [16]: 53)

    Dengan semua nikmat yang telah dianugerahkan Allah, kita ditanya oleh-Nya,

    فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

    “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
    (QS ar-Rahmân [55]: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77)

    Para ulama menganalisis jumlah pengulangan ayat (31x) dan mengelompokkannya:
    • Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat dalam kehidupan di dunia, antara lain nikmat pengajaran Al-Qur’an, pengajaran berekspresi, langit, bumi, matahari, lautan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
    • Tujuh pertanyaan berkaitan dengan ancaman siksa neraka di akhirat nanti. Perlu diingat bahwa ancaman adalah bagian dari pemeliharaan dan pendidikan, serta merupakan salah satu nikmat Allah.
    • Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat yang diperoleh di surga pertama.
    • Delapan pertanyaan berhubungan dengan nikmat di surga kedua.
    Dari hasil tersebut, para ulama menyusun semacam “rumus”, yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang disebutkan dalam rangkaian delapan pertanyaan pertama—syukur seperti makna yang dikemukakan di atas—maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka yang disebut dalam ancaman dalam tujuh pertanyaan berikutnya. Sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik surga (kenikmatan duniawi) maupun kenikmatan ukhrawi.

    Dengan demikian, repetisi pertanyaan di 31 ayat tersebut adalah renungan, nasihat dan peringatan bagi kita.

    Namun, kiranya jarang sekali bahkan mungkin tak ada di antara kita yang merasa diri telah mendustakan nikmat yang telah dianugerahkan Allah.

    Bisa juga terjadi, kita sudah merasa dan mengakui telah mendustakan nikmat Allah, namun hanya berupa tulisan dan perkataan, tak ada langkah kongkret yang kita lakukan 'tuk memperbaiki diri. Entah mengapa! Kondisi kita persis seperti sindiran umum, “Kalau cuma ngomong, anak TK pun bisa. Buktikan dong!”
    Mari kita perhatikan salah satu nikmat Allah, yaitu jantung. Detak jantung ditimbulkan oleh jantung itu sendiri, bukan bersandar kepada bagian tubuh lainnya. Itu kenapa, ketika kita tidur pun—saat banyak organ tubuh lainnya beristirahat—jantung tetap berdetak.

    Untuk lebih memahami kehebatan anugerah Allah, mari kita buat jantung buatan. Dengan demikian, bila ada seseorang rusak jantungnya, cukup diganti dengan jantung buatan ini. Ada dua kelemahan jantung buatan ini, yaitu:
    • Bagaimana agar jantung tersebut terus berdetak? Disuplai saja dengan baterei seperti hand phone. Jika baterei habis, harus di-charge. Jika saat ini banyak terdapat hot spot, dengan jantung buatan ini harus ada charger spot di mana-mana. Bisa juga menggunakan sensor elektronik untuk mengontrol detak jantung dan juga aliran darah yang mengalir ke dalamnya, sebagaimana penemuan ilmuwan Perancis. Dengan konsep ini pun, sensor harus tetap diperhatikan sensitivitasnya.
    • Jika hendak mendekati orang yang kita segani/cintai, degup jantung cenderung tetap; tak berubah. Tak ada rasa deg-degan, darah berdesir dan sejenisnya.
    Subhanallâh. Betapa besar nikmat Allah kepada kita. Lantas, apa yang telah kita lakukan sebagai bukti bahwa kita tidak mendustakan nikmat jantung tersebut? Mari merenung sejenak!
    . . . . . . .
    . . . . . . .
    . . . . . . .

    Di Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dijelaskan bahwa آلاء bisa pula dimaknai “kekuasaan”. Berikut ini penjelasan di tafsir tersebut:
    حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد في قوله: ( فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ) قال: الآلاء: القدرة، فبأيّ آلائه تكذّب خلقكم كذا وكذا، فبأيّ قُدرة الله تكذّبان أيها الثَّقَلان، الجنّ والإنس.

    Jadi, Allah mengajukan pertanyaan kepada kita, “Maka, kekuasaan Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
    Adakah kita hendak mengingkari kekuasaan Allah?
    Adakah kita hendak melupakan kekuasaan Allah?
    Adakah kita hendak mengabaikan kekuasaan Allah?
    Adakah kita hendak meremehkan kekuasaan Allah?

    Jika kita menjawab “Tidak,” mari periksa lagi apa saja yang kita kerjakan setiap hari. Benarkah jawaban kita sesuai dengan kenyataan? Mari kita rinci tiap 15 menit. Mengapa 15 menit? Karena kalau rentang waktu melebar, biasanya terlihat kegiatan kita padat sekali. Oleh karena itu, 15 menit adalah rentang waktu yang lebih fair dalam menilai kesibukan kita sehari-hari.

    Mari kita catat, sedang apakah kita saat pukul:
    • 07:00 – 07:15
    • 07:15 – 07:30
    • 07:30 – 07:45
    • 07:45 – 08:00
    • dan seterusnya sampai dengan pukul 07:00 hari berikutnya

    Daftar Pustaka:

    • Maktabah Syamilah al-Ishdâr ats-Tsâniy


    • M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an – Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007


    • http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1835872-mengapa-jantung-terus-berdetak/


    • #Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#